Assalamu'alaykum...

Selamat Datang.... ^_^

Senin, 13 Mei 2013

Trust Vs Privacy



Ketika membangun suatu hubungan yang kemudian diperkuat dengan sebuah komitmen, kita pasti tak pernah lepas dengan dua hal : kepercayaan dan privacy. Baru saja mampir ke blog http://edratna.wordpress.com dan membaca postingan tentang Perlukah Privacy Masing-Masing Pasangan?
Jadi tergelitik untuk ikut mengulas bahasan tersebut. hehehehe

Kalau menurut saya sih, suatu hubungan itu harus ada landasan kepercayaan. Akan sangat tidak sehat sekali jika suatu hubungan tidak dilandasi dengan kepercayaan (ini kalimatnya berlebihan...hehehe). Yang ada capek karena masing-masing jadi curigaan. Lalu, privacy perlukah? Menurut saya perlu, untuk beberapa hal, misalnya pekerjaan. Sebagai contoh, suami adalah seorang pebisnis dan istri adalah seorang guru seni. Jika dengan perbedaan background dan mereka memaksakan diri untuk mencampuri urusan masing-masing pasangan bukankah malah berujung runyam? Tapi untuk hal-hal yang umum sih, ga perlu sampai privacy yang berlebihan.

Bagaimana dengan handphone, hutang dan rekening pasangan? Kalau menurut saya sih, ga masalah untuk buka-bukaan. Tapi juga ga ada larangan untuk menjaganya sebagai privacy, tergantung pribadi masing-masing sih. Selama ini sering muncul tuntutan untuk buka-bukaan karena tidak sedikit yang menyalahgunakan privacy yang diberikan oleh pasangan. Kasus perselingkuhan tak jarang berawal dari pesan singkat (SMS), Blackberry Messanger (BBM), e-mail, dan jejaring sosial yang akhir-akhir ini sedang marak. Mungkin kita masih belum lupa dengan kasus perselingkuhan pentolan CIA belum lama ini yang terungkap melalui e-mail.

Jadi, kalau saya dimnta untuk menilai perlu dan tidaknya privacy dalam suatu hubungan, maka akan saya kembalikan lagi jawabannya sesuai dengan pribadi masing-masing. Kalau memang seseorang itu tidak memiliki background macam-macam (seperti selingkuh, khianat, dll) ya ga masalah untuk memberikan 100% kepercayaan. Begitu juga sebaliknya, jika memang kita punya background kelam di masa lalu, ya jangan marah kalau dicurigai mulu, mending buka-bukaan, tunjukkan kalau memang kita sudah berubah. Toh, menurut saya, ga ada yang perlu ditakutkan dan dikhawatirkan dari aksi buka-bukaan baik akun, e-mail, hp dll selama nothing wrong. Ya, kalau ga salah mengapa harus takut, gitu lho. :)

Intinya, adanya privacy atau mau buka-bukaan sama pasangan, yang penting jangan terlalu mengintervensi pasangan untuk hal-hal yang bukan bidang kita, terutama kerjaan yang kita tidak tahu cara kerjanya. Kalau misalnya menemukan sesuatu yang mengarah ke hal yang tidak pada tempatnya, ya bicarakan dengan pasangan, ingatkan dia tentang komitmen dan bangun ulang kepercayaannya.

Gitu aja sih. Kayaknya emang ga bakat jadi psikolog ya, jadi ga pinter mengutarakan saran atau solusi dalam bahasa yang lebih enak lagi untuk dinkmati....hehehehe.... Maafkan segala kekurangan. :)

Kemana Perginya Cinta?



Ish.... gara-gara postingan sebelumnya kayaknya hari ini jadi sedikit tersulut semangat untuk banyak share tentang cinta deh. hehehehe......

Kali ini saya akan sedikit bercerita tentang sebuah kisah yang pernah dishare oleh seorang teman di twitter beberapa waktu lalu (lupa siapa yang nge-tweet kala itu tapi kisahnya sih masih diingat...hehehe). Teman saya tersebut sedang berada di ruang tunggu menunggu panggilan untuk boarding saat seorang ibu menghampirinya dan menanyakan sesuatu. Teman saya memberikan penjelasan atas pertanyaan ibu tersebut. Kebetulan saat itu jadwal penerbangan teman saya tersebut masih cukup lama dan si ibu tersebut pun demikian sehingga semakin banyak yang mereka obrolkan.

Iseng teman saya bertanya, "Ibu pergi sendirian? Tidak bersama keluarga kah?"

Dan tanpa diduga, jawaban ibu itu pun mengalir. Ibu tersebut mengatakan bahwa dia sengaja pergi sendiri untuk menjemput kebahagiaan. Teman saya mengernyitkan dahi, terkejut sekaligus penasaran dengan jawaban ibu tersebut, tapi merasa tak enak hati untuk bertanya lebih lanjut. Namun, di luar dugaan, si ibu sepertinya menangkap sinyal-sinyal tanya dari ekspresi teman saya, tanpa diminta si ibu itu pun mulai bercerita.

Beberapa waktu lalu, anak bungsunya baru saja menikah. Si ibu pun mengumpulkan seluruh anak-anaknya dan menyampaikan sebuah keputusan yang membuat semua anak-anaknya terkejut. Si ibu berkata, "sekarang selesai sudah tugasku untuk mendidik dan membesarkan kalian. Meski ikatan kita tak akan pernah terputus, tetapi kalian kini telah memiliki keluarga sendiri. Dan untuk itu, ibu sangat bahagia. Jadi, ijinkan ibu untuk ikut merasakan kebahagiaan itu bersama kalian. Ijinkan ibu untuk berpisah dengan ayah kalian."

Anak-anaknya menangis mendengar keputusan si ibu. Beberapa bahkan berusaha untuk mengubah keputusan si ibu. Namun, tekad si ibu telah bulat. Ia tak lagi terpengaruh dengan semua bujuk anak-anaknya.

"Selama ini, ibu telah melupakan dan membuang hati ibu agar tetap tegar bersama kalian. Agar ibu tetap kuat dan tegar untuk terus mendidik, merawat dan menjaga kalian dengan penuh kasih sayang. Ibu sudah mengesampingkan hati dan perasaan ibu sendiri. Tapi sungguh, bukan karena merawat dan mendidik kalianlah kebahagiaan ibu terpinggirkan melainkan karena sikap ayah kalian. Ibu sudah berulang kali mendapati ayah kalian berselingkuh, baik yang sembunyi-sembunyi kemudian ibu mengetahuinya sampai terang-terangan di depan mata ibu. Selama ini ibu bertahan karena ibu tidak ingin kalian bersedih dan tumbuh dalam keadaan broken home. Dan ibu tidak ingin kalian menilai bahwa sebuah pernikahan itu sangat menakutkan dan penuh luka. Untuk itulah, selama ini ibu bertahan dan menunjukkan di depan kalian bagaimana bahagianya ibu menikah dengan ayah kalian. Tapi untuk kali ini, maafkan ibu karena ibu tak sekuat dulu. Ibu merasa tugas ibu sudah selesai. Kalian telah memiliki keluarga sendiri dan tentu do'a ibu selalu untuk kalian semua agar bahagia sampai maut menjemput. Ibu selalu berdo'a agar kalian tak perlu mengalami dan merasakan apa yang ibu rasakan selama ini. Untuk itu, ijinkan kali ini ibu mengambil kembali hati ibu dan ijinkan ibu untuk melangkah kembali menjemput bahagia."

Anak-anak semakin tergugu mendengar cerita ibu mereka. Tanpa mereka tahu dan tanpa mereka sadari, ibu yang selama ini mereka kenal begitu ceria dan tegar ternyata menyimpan seluruh lukanya.

"Ibu hanya meminta kalian untuk mengijinkan ibu berpisah dari ayah kalian. Ibu tidak ingin kalian membenci ayah kalian karena sampai kapan pun, dia akan tetap menjadi ayah kalian, kakek dari anak-anak kalian. Seburuk-buruk ayah kalian, kalian tetaplah darah dagingnya. Untuk itu, jangan pernah membencinya," pesan si ibu.

Anak-anaknya tak sanggup lagi untuk berkata-kata. Mereka memberikan jawaban melalui diamnya. Mereka menyadari bahwa terlalu egois jika mereka menentang keputusan si ibu meskipun sejujurnya mereka pun tidak ingin kedua orang tuanya berpisah. Akhirnya, dengan berat hati anak-anaknya pun mengijinkan si ibu untuk mewujudkan niatannya.

Saat itu,di ruang tunggu itulah si ibu setelah menyelesaikan semua proses perceraiannya.

Teman saya terharu mendengar kisah si ibu, Meski teman saya tak terlalu setuju dengan keputusan si ibu tentang perceraiannya, tapi menghakimi tanpa kita tahu apa yang sebenarnya terjadi bukankah itu tak bijak? Maka teman saya hanya bisa terdiam dan terus mendengarkan kisah si ibu.
"Jadi apa rencana ibu sekarang? Hendak kemana ibu akan menjemput kebahagiaan?" tanya teman saya.

"Saya akan menemui saudara dan keluarga yang selama ini jarang saya kunjungi. Saya akan membangun dan menghidupkan kembali silaturahmi yang selama ini nyaris mati. Saya pun akan berbagi dengan perempuan-perempuan yang mungkin mengalami hal serupa dengan yang saya alami, atau bahkan lebih kelam dari pengalaman yang pernah saya hadapi. Bahwa kami, para wanita yang tersakiti tak selamanya akan terpuruk. Kami bisa bangkit dan meraih kebahagiaan kembali."

Teman saya hanya bisa berucap dan berdo'a agar perjalanan si ibu dalam menjemput kebahagiaannya tercapai dan semoga kebahagiaan benar-benar akan bersinar dan mewarnai hari-harinya hingga nanti.

Sedih, haru dan pilu rasanya mendengar kisah tersebut. Sekian tahun membina rumah tangga, merajut asa untuk menjemput bahagia namun justru luka tiada henti yang ia temui dan mewarnai harinya. Lalu kemanakah perginya cinta yang dulu membara? KEmanakah perginya rindu yang dulu menggebu? Apakah kini yang ada hanya lisan yang saling membisu, hati yang beku, lidah yang kelu dan mata sayu tak bercahaya seperti dulu?

Jika kita berada di posisi si ibu tersebut, akankah kita sekuat si ibu? Atau kah tidak sanggup menunggu seperti si ibu dan meninggalkan si ayah jauh-jauh hari sebelum itu? Naudzubillah....

Harapannya semoga kita tak mengalami hal sebagaimana yang dialami si ibu tersebut. Semoga kebahagiaan lah yang akan kita temui dari hari ke hari bersama keluarga kita. Aamiin....

Semoga kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran dan kisah di atas. Semoga bermanfaat.

Untuk Siapa Cintamu?



Bicara tentang cinta seakan tak kan habis kata. Selalu muncul bahasan cinta dari berbagai persepsi. Jika pertanyaan di atas ditujukan kepada kita, kira-kira apakah yang akan menjadi jawabannya? Akankah cinta untuk ibu? Ayah? Orang tua? Suami/istri? Anak?
Tidak salah kok jawaban-jawaban tersebut. Tapi akan lebih tepat jika kita tujukan cinta kita kepada Allah Swt. Sehingga tak hanya indah dalam kata melainkan juga lebih bermakna. Kita mencintai ibu kita karena Allah Swt. Kita mencintai ayah kita karena Allah Swt. Kita mencintai pasangan kita (suami/istri) karena Allah Swt. Kita mencintai anak-anak kita pun juga karena Allah Swt. Indah bukan? :)

Terkadang ketika cinta kita terfokus pada makhluk ciptaan-Nya, akan sangat mudah sekali kita merasa kecewa karena satu atau lain hal. Misalnya, kita mencintai orang tua kita tapi suatu ketika orang tua kita menentang satu atau lain hal dari keinginan kita, hati dan perasaan kita timbul kecewa. Ketika kita sayang dan mencintai pasangan kita, lalu ia melakukan kesalahan yang tidak terduga, kita pun kecewa. Demikian juga ketika anak-anak yang kita cintai tiba-tiba berbuat suatu kesalahan, tak jarang kekecawaan itu pun tergurat tegas di wajah kita. Kenapa? Karena kita terlalu berharap kepada sesama makhluk ciptaan-Nya, yang mana sama-sama tak sempurna dan syarat dengan khilaf dan cela.

Namun, hal tersebut mungkin akan berbeda ketika kita sandarkan pengharapan kita hanya pada Allah Swt semata. Dimana cinta kita untuk siapa saja makhluk-Nya tetap kita sandarkan dasar cintanya karena Allah Swt. Sehingga ketika kenyataan tak sesuai pengharapan kita, hati kita tak akan terlalu kecewa dan terluka. Kita akan kembalikan itu kepada Allah Swt dan menyadari bahwa orang yang kita hadapi pun sama seperti halnya kita. Sama-sama makhluk-Nya yang setiap saat memiliki kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk berbuat salah dan khilaf.

Lalu, bagaimana menyikapi hati yang sudah terlanjur kecewa dan terluka? Istighfar-lah. Mohon perlindunganlah kepada Allah Swt dari godaan syaitan yang selalu membisiki hati kita untuk saling membenci, mencela dan menyimpan dendam dalam dada. Mari mencoba untuk sama-sama legowo, mengikhlaskannya dan mencoba untuk tulus memaafkannya. Sehingga kita tak terjebak dalam sakit, luka, kecewa dan dendam yang hanya akan menyakiti diri kita sendiri.
Kalau kata Mas Rangga Umara, pemiliki usaha Pecel Lele Lela, jangan meracuni diri dengan menyimpan luka. Tapi coba lepaskanlah luka itu agar kita lebih mudah dan langkah kita lebih ringan ke depannya. Jangan menyiksa diri dengan kebencian karena trauma masa lalu. Coba buka genggaman itu, lepaskan, buang jauh agar hidup kita lebih bahagia dan bibir kita mudah untuk mengukir senyum cerah gemilang.

Kata Mas Rangga, di luar negeri ada metode menangkap monyet dengan suatu alat yg tidak menyakitinya. Yaitu dengan sebuah toples berleher panjang yang ditanam di dalam tanah. Toples itu makin ke dalam semakin sempit dan di dalamnya terdapat kacang kesukaan monyet-monyet tersebut. Toples jebakan tersebut ditanam di wilayah yang sering dilewati oleh kawanan monyet-monyet. Dan monyet yang tertarik melihat kacang dalam toples jebakan itu serta merta akan memasukkan tangannya untuk mengambil kacang tersebut. Karena menggenggam kacang tersebut, maka tangannya terjepit dalam toples sehingga dengan mudah monyet tersebut dapat ditangkap tanpa melukainya. Mungkin kita akan menertawakan monyet-monyet tersebut. Padahal terkadang secara tidak sadar kita pun mengikuti tingkat laku monyet-monyet itu. Seandainya monyet-monyet itu melepaskan genggamannya maka mereka dapat menarik tangannya keluar dari toples dan tidak tertangkap. Demikian juga dengan halnya manusia, seandainya kita mau melepaskan luka, dendam, sakit hati dan trauma masa lalu, mungkin akan lebih bahagia hati kita. Dan akan lebih mudah bagi kita untuk merasakan dan memaknai apa itu bahagia dan bagaimana itu indahnya tawa.

Tetiba, saya teringat tweetnya Mb Merry Riana, yang mengatakan bahwa cinta itu bukan hanya perasaan senang ketika bersamanya tetapi cinta juga adalah komitmen untuk tetap bersamanya, ketika perasaan senang itu hilang.

Ya, kalau cinta kita dangkal hanya karena manusia dan mencintainya karena apa yang ada padanya, maka rasa cinta itu akan mudah sekali untuk menguap ketika sebab atau alasan cinta itu sirna daripadanya. Namun, jika cinta karena Allah Swt dan niatnya karena ibadah kepada Allah Swt, seharusnya cinta itu membuat kita tetap tegar memegang komitmen dalam menghadapi setiap ujian dan cobaan dari-Nya. Bahwa cinta itu itu tak selamanya indah, tak selalu merah jambu, tapi bisa berwana hijau, merah, putih ataupun kelabu. Cinta tak melulu berbunga dan ceria, tapi kadang perlu warna lain untuk membuat pecintanya menjadi lebih kuat dan bijaksana. Namun, saat cinta itu disandarkan pada Allah Swt dan diniatkan untuk beribadah kepada Allah Swt yang dilandasi keimanan (separuhnya dalam sabar dan separuh lagi dalam syukur) insyaAllah, cinta itu akan membawa kita happily ever after (kayak dongeng aja :p).

Dan, kalau kita penasaran dengan adakah cinta semacam itu? Ada. Lihatlah kisah cinta Ibrahim as dan Siti Hajar, kisah cinta Adam dan Hawa, kisah cinta Rasulullah Saw dan Siti Khadijah, Kisah cinta Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az Zahra, pun ada kisah yang tak kalah melegenda yaitu Yusuf as dan Zulaikha.

Hmm..... Kayaknya sudah terlalu banyak bercerita kemana-mana. Harapannya semoga coretan ini sedikit saja bisa memberi manfaat untuk yang membaca. Aamiin.  

Senin, 06 Mei 2013

Wanita Pemimpin Di Rumah Suaminya

Assalamu'alaykum....
Selamat pagi... ^-^

Senin pagi orang cenderung menikmati waktu mereka bermacet-macet ria menuju tempat kerja, khususnya di Jakarta ini. Nah, untuk menemani yang mungkin masih terjebak macet di jalan, pagi ini aku akan sedikit berbagi tentang sebuah materi yang beberapa hari lalu kuperoleh saat mengikuti kajian. Seperti judul di atas, bahasan ini menegaskan tentang posisi wanita sebagai pemimpin di rumah suaminya... yah, rumah dia juga sih bersama anak-anak tentunya...hehehehe

Dalam Islam, wanita sangat dimuliakan. Hal ini terlihat bahwa salah satu nama surah dalam Al Qur'an adalah An Nisa' yang artinya adalah wanita. Jika pada zaman jahiliyah dulu peran wanita seakan tidak dianggap, dikerdilkan bahkan ada yang menganggap sebagai sebuah aib yang harus disembunyikan, berbeda halnya setelah syariat Islam ditegakkan, peran wanita semakin dimuliakan. Wanita dalam keluarga adalah sebagai tiangnya, yang kemudian perannya berkembang dari istri kemudian memegang peran ganda sebagai istri untuk suaminya sekaligus ibu dari anak-anaknya. Hal tersebut pun masih memungkinkan peran ganda lain yang harus diperankan oleh sosok wanita ini dalam keluarga, misalnya sebagai teman diskusi suami, penasehat suami, teman bercerita anak-anak, sahabat bermain bagi anak-anak, dan masih banyak lagi. Subhanallah.... Betapa mulia dan hebatnya bukan peran seorang wanita dalam keluarga. ^-^

Wanita sendiri dalam menyikapi sesuatu hal bisa bersikap reaktif namun akan lebih utama jika dia bisa bersikap proaktif. Jika wanita reaktif itu menunggu rangsangan dari luar berupa kejadian, peristiwa atau permasalahan dulu baru menyikapinya, berbeda dengan wanita proaktif yang jauh lebih aware terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada sebelum hal tersebut terjadi. Sehingga wanita proaktif lebih mengembangkan antisipasi bukan reaksi semata. Terlebih lagi peran wanita sebagai ibu adalah sebagai madrasah pertama untuk anak-anaknya, sehingga memegang peranan penting dalam mendidik anak-anaknya. Untuk itu, jika terdapat permasalahan dalam diri anak, jangan buru-buru menghakimi anak tersebut, tapi akan lebih utama jika melakukan evaluasi dan koreksi terhadap si ibu. Apakah kiranya ibu telah mendidik anak tersebut dengan semestinya? Apakah ibu telah melakukan antisipasi terhadap kemungkinan-kemungkinan permasalahan yang akan dihadapi anak dan bagaimana pemecahannya?
Mendidik anak tidak semata menyampaikan melalui ucapan namun akan lebih utama melalui sikap yang bisa menjadi teladan. Bukankah satu teladan lebih utama dibandingkan 1000 kata-kata? ^-^

Sebagai madrasah pertama, ibu tidak hanya mengajarkan tentang seluk-beluk kehidupan dunia, akademis dan lainnya. Namun, yang lebih utama adalah mempersiapkan anak tersebut dari segi rohaniyah dan akhlak terpuji agar kelak tetap kokoh berdiri di tengah banyaknya cobaan dan godaan dalam hidup ini. Agar anak tetap lurus melangkah ke depan tanpa tersesat dalam menentukan arah, karena tujuan akhirnya sama yakni ridho Illahi. Pendidikan rohaniyah terhadap anak ini seharusnya dimulai sejak proses sebelum anak ini hadir, artinya sejak kedua orang tuanya merencanakan untuk memiliki anak. Seharusnya kedua calon orang tua membekali diri dengan bekal rohani yang kuat. Demikian pula halnya ketika anak dalam kandungan, ibu harus membiasakan melakukan hal-hal yang baik dan mulai mendidik anak tersebut dalam ilmu agama, seperti membaca Al Qur'an, sholat, bersilaturahim, mentadzaburi Al Qur'an dan kebiasaan-kebiasaan baik lainya.

Setelah anak tersebut lahir, sebagai orang tua, terutama ibu, harus pintar-pintar memilih metode dalam mendidik anak. Tidak boleh otoriter apalagi kasar, tetapi tidak boleh juga terlalu memanjakan. Ibu harus memandu anak-anaknya dengan penuh kasih sayang, mengajarkan bagaimana berdemokrasi dalam keluarga serta mendorong anak untuk berani mengungkapkan pendapat. Sebagai seorang ibu, akan lebih sangat membantu dalam mendidik anak ketika ia bisa memahami bahasa non verbal anak, sehingga terdapat ikatan kuat antara ibu dan anak-anak yang insyaAllah akan lebih mudah dalam mengarahkan anak-anak untuk bisa lebih baik dari waktu ke waktu.

Sebagai istri, tugas wanita tak kalah penting dan utama. Wilayah kebijakan dan kekuasaan istri adalah dalam domestik keluarga sedangkan suami adalah di luar keluarga, khususnya dalam mencari nafkah untuk keluarga. Dengan adanya pembagian tugas dan teritori ini insyaAllah bukan untuk saling beradu kekuasaan dan saling menonjolkan melainkan untuk saling melengkapi dan menyeimbangkan. Istri dilarang untuk mengumbar keburukan suami. Lalu, bagaimana jika memang suami itu buruk perangainya? Coba evaluasi dan koreksi berdua, dengan bahasa cinta dari ke hati tanpa melukai hati masing-masing tanpa perlu mengumbar ke luar. Bagaimana ketika istri dan suami berselisih paham? Berselisih pahamlah di dalam kamar saat berdua, jangan di hadapan anak-anak. Dan ketika kembali di depan anak-anak, maka bersatu katalah. ^-^

Tugas istri di depan suami bukan sekedar menyenangkan suami, menjaga perut suami selalu dalam keadaan kenyang, memenuhi kebutuhan suami, menyenangkan untuk dilihat dan dalam pendengaran tetapi juga menunjukkannya dengan keadaan anak-anak yang terawat dan terdidik serta berbuat baik dengan orang tua, saudara dan kerabat suami. Sekilas kata, tugas istri seakan begitu bejibun, menumpuk, berat dan sulit, akan tetapi jika niat kita karena ibadah kepada Allah Swt niscaya kita akan senantiasa diberikan kekuatan dan kemudahan untuk melaksanakannya. Itulah kenapa, beberapa suami menginginkan istrinya untuk menjadi ibu rumah tangga saja daripada sibuk mengejar karir. Toh, di akhirat nanti yang pertama dimintai pertanggungjawabannya (setelah sholat dll) bukan bagaimana karirnya di dunia, tetapi bagaimana dia dalam menjalankan amanah sebagai ibu terutama dalam merawat dan mengurus suami dan anak-anaknya serta mendidik anak-anaknya.

Sepertinya pembahasanannya sudah terlalu panjang lebar deh... Jadi ga enak nih...hehehe
Demikian dulu yang bisa dishare, semoga bermanfaat ya...

Wassalamu'alaykum.... ^-^

Rabu, 01 Mei 2013

Ketika Separuh Jiwa Pergi


Tidak terasa tahun 2013 sudah berjalan cukup lama ya. Tahu-tahu sudah Mei aja sekarang dan awal bulan pula, pastinya lagi pada bersuka ria donk ya, habis gajian... ^-^
Eits, tapi jangan lupa dengan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi lho ya...hehehe...


Memasuki blog yang lama sepi ini aku mau sedikit berbagi tentang separuh jiwa. Beberapa hari lalu, negeri kita tengah berduka atas berpulangnya ke rahmatullah, Ustad Jefry Al Buchori yang lebih akrab disapa Uje. Semoga saja Allah Swt terima segala amal ibadah dan kebaikan beliau serta mengampuni segala dosa beliau. Aamiin...

Beberapa hari layar kaca kita dipenuhi dengan pemberitaan tentang Uje, juga bagaimana kesedihan yang menyelimuti istri, anak, keluarga serta kerabat atas kepergian Uje. Aku sendiri ga bisa untuk tidak ikut meneteskan airmata saat melihat istri Uje, Pipik, menangis dan berulang kali pingsan melihat kenyataan bahwa suami yang dicintainya telah pergi untuk selama-lamanya. Dan di saat ramainya pemberitaan itu, tiba-tiba suamiku bertanya, "kalau nanti ayah pergi, bundanya bakal sedih seperti istrinya Uje gitu ga sih?"
Aku hanya bisa menjawab, "sudah tentu bakalan sedih. Kehilangan teman hidup kita, separuh jiwa kita, tentu akan sedih. Bapak aja yang seorang lelaki yang selama ini kukenal tangguh, kuat dan tegar pun menangis saat ibu meninggal. Apalagi bunda yang seorang wanita yang tingkat ketegarannya jauh di bawah beliau."

Memang, kita berharap agar tidak sampai mengalami hal demikian. Harapan kita sebagai manusia tentu inginnya bersama dengan pasangan kita selamanya, sehidup semati lah kalau kata lagu. Tapi jika kejadiannya seperti yang dialami oleh Pipik, yang ditinggal pergi untuk selamanya oleh suami tercinta secara tiba-tiba tanpa ada tanda-tanda sebelumnya, siapa yang tidak akan terpukul?
Meski kita tahu bahwa semua adalah titipan Allah Swt yang akan diambil-Nya sewaktu-waktu dan kita harus selalu siap untuk melepaskan dan mengembalikan pada-Nya, rasanya manusiawi jika kita merasa sedih karena kehilangan. Karena sesuatu yang dititipkan-Nya itu telah bersama-sama dengan kita sekian lama. 

Kita memang tahu bagaimana hakikat hidup kita dan kebersamaan kita bersama orang-orang yang kita sayangi. Kita pun tahu bahwa semua itu tinggal menunggu waktu untuk kembali. Kita pun mengerti jika kelak kita harus merelakan untuk mengembalikan kepada Illahi. Namun, menerapkan ilmu itu butuh perjuangan tersendiri yang kadang kala jauh lebih sulit daripada mencari ilmu itu sendiri. Namun, bukan berarti kita harus menyerah dan tiada upaya untuk berusaha. Allah Swt tidak menilai hanya berdasarkan hasil akhir, tapi Allah Swt juga menghargai setiap upaya dan usaha untuk mencapai hasil yang diinginkan. Kita melihat contoh pada Rasulullah Saw saat berduka kehilangan istri beliau, belahan jiwa beliau, Siti Khadijah. Namun, beliau bisa bangkit dan tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Beliau menyadari bahwa hidup tidak berhenti dan berakhir hanya karena ditinggal oleh kekasih hati, tapi ada amanah lain yang harus diembannya dalam menjalankan perintah Illahi. 

Demikian juga contoh yang baru-baru ini kita lihat pada diri Pipik, istri alm Uje. Meski sempat mengalami shock dan kesedihan yang dalam, tapi beliau pun berusaha untuk ikhlas dengan kehendak Allah Swt dan mencoba bangkit kembali. Beliau menyadari masih ada amanah yang harus diembannya, yaitu anak-anak dan keluarga termasuk orang tua. Semoga kita bisa mencontoh ketegaran beliau-beliau dalam menjalani setiap kehendak-Nya dalam tiap fase kehidupan. 

Teringat pesan salah satu ustadz, "Hidup di dunia ini kita tidak pernah sekalipun memiliki sesuatu karena hakikatnya semua itu milik Allah Swt. Apa yang ada pada diri kita saat ini dan saat-saat ke depannya pun adalah milik-Nya yang suatu ketika akan diminta kembali. Dan tidak ada hak apapun atas kita untuk tidak memberikan kepada pemilik-Nya. Contohlah tukang parkir, saat mobil/motor datang dia senang, tapi saat mobil/motor itu pergi ia pun tak pernah bersedih. Tahu kenapa? Karena mobil/motor itu sama sekali bukan miliknya. Dia hanya mendapat amanah untuk menjaganya sampai diambil kembali oleh pemiliknya. Dan saat itu tiba, ia pun melepas dengan sukarela. Begitulah seharusnya hidup kita. Selalu bersyukur saat diberi, ikhlas saat sesuatu itu diambil kembali."

Demikian yang bisa sharing hari ini. Semoga bermanfaat dan menjadi renungan kita semua. 
Tak lupa, semoga kita semua bisa kembali pada Illahi dalam keadaan sebaik-baik diri dalam khusnul khotimah. Aamiin.....

Senin, 31 Desember 2012

2012, Tahun Penuh Kebahagiaan

Tahun 2012 akan segera berakhir dan tahun 2013 akan menjelang. Sebelum menginjakkan kaki di tahun yang kata orang China adalah Money Year alias Tahun Uang, saya mau sedikit bernostalgia banyak hal kebahagiaan selama tahun 2012 ini.
Mungkin, banyak yang ga tertarik sih. Tapi ga apa-apa deh... (maksa..hahahaha)

My Wedding Day

Setelah sekian lama menanti datangnya jodoh yang telah ditetapkan oleh Allah Swt untukku, akhirnya pada Oktober 2011 lalu datanglah dia melamarku. Dan atas izin Allah Swt pada hari Minggu, 18 Maret 2012 kemarin resmilah saya memperoleh gelar baru sebagai seorang istri dari seorang pria asal Makassar. Aish... bahasanya...hehehehe...
Pernikahan yang dipersiapkan sambil menjalani perkuliahan, di sela-sela tugas dan ujian perkuliahan Alhamdulillah dimudahkan dan dilancarkan oleh Allah Swt. Meskipun tidak bisa dibilang mewah, tapi Alhamdulillah pernikahan kami cukup meriah dengan hadirnya keluarga, saudara dan kerabat  baik dari keluarga saya (pihak bapak dan alm ibu) maupun keluarga suami yang dibelain jauh-jauh datang dari Makassar. Beribu syukur dan terimakasih kepada Allah Swt atas segalanya. Semoga pernikahan kami berkah, mendapat keridhoan Allah Swt dan menjadi keluarga Sakinah Mawadah Wa Rahmah. Aamiin....
With My Beloved Husband

with my father and lil sister
with my husband family
Kebahagiaan saat pernikahan ini sebenarnya sedikit kurang lengkap karena tak ada lagi ibunda tercinta yang mendampingi. Bahagia berhias sedikit sedih ceritanya. Ketika dahulu terbayang bahwa hari seperti ini akan sangat sempurna kebahagiaan ketika ada ibunda di sisi, kini harus sedikit bersabar atas kehendak Illahi. Aku menikah saat tiada ibunda di sisiku. Tapi tentunya tetap harus bersyukur bahwa aku masih memiliki ayah yang ganteng dan gagah yang mendampingiku bersama adikku yang cantik jelita di sampingku. ^-^

Terimakasih dan segala syukurku tercurah kepada-Mu, Rabbi atas segala kelancaran dan kebahagiaan ini. :)

Lancar Skripsi dan Ujian Meja (Sidang Skripsi) 

Kebahagiaan selanjutnya adalah dimudahkan dan dilancarkan oleh Allah Swt dalam menyusun skripsi. Meskipun sempat dag-dig-dug menjelang deadline pengumpulan sementara responden kuesioner yang disebar masih sangat jauh dari target, Alhamdulillah dengan ijin Allah Swt yang diiringi dengan kegigihan dan dibantu beberapa rekan kerja dan senior untuk menyebar serta mengisi kuesioner tercapai juga targetnya.  Dan setelah  selesai dengan penyusunan skripsi yang memusingkan dengan bumbu-bumbu SPSS dan regresi linear berganda, selesailah penyusunannya untuk selanjutnya melewati koreksi dan revisi dari dosen pembimbing materi dan dosen pembimbing teknis. Alhamdulillah, atas ijin Allah Swt, lancar dan siap didaftarkan untuk persidangan atau ujian meja.
Sempat deg-degan karena mendapatkan dosen penguji yang cukup terkenal serem dan agak berbahaya, karena pernah meminta mahasiswa untuk mengulang. Namun, atas ijin Allah Swt yang didukung dengan do'a dari suami, keluargaku dan juga keluarga suami, Alhamdulillah lulus dalam sekali sidang dengan beberapa revisi. Hanya dalam waktu seminggu setelah sidang atau ujian meja tersebut, skripsi hasil revisi telah mendapat persetujuan dari ketiga dosen penguji dan selesai di hardcover. Siap untuk dikumpulkan ke bagian sekretariat kampus untuk ditandatangani bapak direktur deh...hehehehe

Yudisium, Sah Menjadi Alumni STAN untuk kedua kalinya ^_^

Skripsi beres, sidang lancar dan lulus, kemudian menyelesaikan semua kewajiban administrasi, akhirnya siap juga untuk mengikuti prosesi yudisium, pengesahan kelulusan dan meraih gelar alumni untuk kedua kalinya. Horeeeeeee.........
Jika pada Oktober 2007 dulu resmi menjadi alumni DIII STAN spesialisasi Akuntansi Pemerintahan, maka pada 28 Desember 2012 ini resmi mendapat gelar alumni DIV STAN.
Alhamdulillah, jika bukan karena ijin Allah Swt mungkin tidak akan berdiri di posisi ini saat ini. Segenap puji dan syukur hanya kepada Allah Swt.

Kado Ulang Tahun Yang Istimewa

Kebetulan juga di bulan Desember ini adalah hari ulang tahunku. Meski agak bersedih karena suami tidak bisa datang pada hari H nya, tapi suami datang keesokan harinya dan tetap tinggal di sisiku selama dua minggu karena penugasan dari kantor. Alhamdulillah... hehehe....
Tidak cukup dengan itu, cuti natal-tahun baru ini pun suami rela menghabiskannya bersamaku sebagai hadiah tambahan dan honeymoon entah yang keberapa kalinya.hehehehehe...
Tidak cukup dengan memberi setangkai bunga mawar dan eksternal hard disk (permintaanku sih untuk nyimpen banyak film, dorama dan drama...hehehe), suami ngajak ke hotel ikut penugasan. Lumayan...hehehe
Tapi hadiah ultah yang paling membahagiakan adalah kado dari Allah Swt, yang menjadi kado untuk ulang tahun juga kelulusanku, yaitu diciptakannya seorang anak di dalam rahimku. Terimakasih, ya Allah.... setelah sekian lama penantian kami akhirnya Engkau kabulkan do'a dan permohonan kami di saat terbaik. :)
Semoga kami bisa menjaga dan melaksanakan amanah ini dengan sebaik-baiknya... Aamiin...


Hmmm.... Agak kaku jadinya, kelamaan ga nulis. Mungkin sudah dulu kali ya. Sambil ngetik sambil nemenin suami ngerjain tugas kantor yang deadline awal januari...hahahaha...
Tentunya sambil makan-makan setelah tadi sempat diajak nonton Jack Reacher, yang dibintangi Tom Cruise. hehehe


Maafkeun ya... :(

Ehm.... Ehm....
Tes... Tes...
Duh, agak merasa bersalah sama blog ini. Agak-agak terbengkalai pasca menikah. hahahaha....
Padahal sich ga setiap hari juga ngurusin suami. Maklum masih LDM alias Long Distance Marriage (biar agak keren lah istilahnya intinya sih masih pisah sama laki...hahahaha).
Nggak akan menyalahkan pernikahan juga sich, apalagi nyalahin skripsi. Tapi, banyak hal yang sering dilakukan dan juga kadang didera rasa malas untuk nge-blog lagi. (Malu-maluin... dasar bloger moody... *tutupmuka*).
Setelah discroll ternyata terakhir kali ngeposting adalah bulan Juni 2012. Berapa lamakah kiranya?
Lama, berbulan-bulan bo'....
Kemana aje ya selama ini? Sembunyi di hutan kali ya...hahahaha....
Postingan ini dikhususkan untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada pengunjung baik yang sengaja maupun tidak sengaja suka mampir ke sini...
Maaf ya...hehehehe