Assalamu'alaykum...

Selamat Datang.... ^_^

Rabu, 01 Mei 2013

Ketika Separuh Jiwa Pergi


Tidak terasa tahun 2013 sudah berjalan cukup lama ya. Tahu-tahu sudah Mei aja sekarang dan awal bulan pula, pastinya lagi pada bersuka ria donk ya, habis gajian... ^-^
Eits, tapi jangan lupa dengan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi lho ya...hehehe...


Memasuki blog yang lama sepi ini aku mau sedikit berbagi tentang separuh jiwa. Beberapa hari lalu, negeri kita tengah berduka atas berpulangnya ke rahmatullah, Ustad Jefry Al Buchori yang lebih akrab disapa Uje. Semoga saja Allah Swt terima segala amal ibadah dan kebaikan beliau serta mengampuni segala dosa beliau. Aamiin...

Beberapa hari layar kaca kita dipenuhi dengan pemberitaan tentang Uje, juga bagaimana kesedihan yang menyelimuti istri, anak, keluarga serta kerabat atas kepergian Uje. Aku sendiri ga bisa untuk tidak ikut meneteskan airmata saat melihat istri Uje, Pipik, menangis dan berulang kali pingsan melihat kenyataan bahwa suami yang dicintainya telah pergi untuk selama-lamanya. Dan di saat ramainya pemberitaan itu, tiba-tiba suamiku bertanya, "kalau nanti ayah pergi, bundanya bakal sedih seperti istrinya Uje gitu ga sih?"
Aku hanya bisa menjawab, "sudah tentu bakalan sedih. Kehilangan teman hidup kita, separuh jiwa kita, tentu akan sedih. Bapak aja yang seorang lelaki yang selama ini kukenal tangguh, kuat dan tegar pun menangis saat ibu meninggal. Apalagi bunda yang seorang wanita yang tingkat ketegarannya jauh di bawah beliau."

Memang, kita berharap agar tidak sampai mengalami hal demikian. Harapan kita sebagai manusia tentu inginnya bersama dengan pasangan kita selamanya, sehidup semati lah kalau kata lagu. Tapi jika kejadiannya seperti yang dialami oleh Pipik, yang ditinggal pergi untuk selamanya oleh suami tercinta secara tiba-tiba tanpa ada tanda-tanda sebelumnya, siapa yang tidak akan terpukul?
Meski kita tahu bahwa semua adalah titipan Allah Swt yang akan diambil-Nya sewaktu-waktu dan kita harus selalu siap untuk melepaskan dan mengembalikan pada-Nya, rasanya manusiawi jika kita merasa sedih karena kehilangan. Karena sesuatu yang dititipkan-Nya itu telah bersama-sama dengan kita sekian lama. 

Kita memang tahu bagaimana hakikat hidup kita dan kebersamaan kita bersama orang-orang yang kita sayangi. Kita pun tahu bahwa semua itu tinggal menunggu waktu untuk kembali. Kita pun mengerti jika kelak kita harus merelakan untuk mengembalikan kepada Illahi. Namun, menerapkan ilmu itu butuh perjuangan tersendiri yang kadang kala jauh lebih sulit daripada mencari ilmu itu sendiri. Namun, bukan berarti kita harus menyerah dan tiada upaya untuk berusaha. Allah Swt tidak menilai hanya berdasarkan hasil akhir, tapi Allah Swt juga menghargai setiap upaya dan usaha untuk mencapai hasil yang diinginkan. Kita melihat contoh pada Rasulullah Saw saat berduka kehilangan istri beliau, belahan jiwa beliau, Siti Khadijah. Namun, beliau bisa bangkit dan tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Beliau menyadari bahwa hidup tidak berhenti dan berakhir hanya karena ditinggal oleh kekasih hati, tapi ada amanah lain yang harus diembannya dalam menjalankan perintah Illahi. 

Demikian juga contoh yang baru-baru ini kita lihat pada diri Pipik, istri alm Uje. Meski sempat mengalami shock dan kesedihan yang dalam, tapi beliau pun berusaha untuk ikhlas dengan kehendak Allah Swt dan mencoba bangkit kembali. Beliau menyadari masih ada amanah yang harus diembannya, yaitu anak-anak dan keluarga termasuk orang tua. Semoga kita bisa mencontoh ketegaran beliau-beliau dalam menjalani setiap kehendak-Nya dalam tiap fase kehidupan. 

Teringat pesan salah satu ustadz, "Hidup di dunia ini kita tidak pernah sekalipun memiliki sesuatu karena hakikatnya semua itu milik Allah Swt. Apa yang ada pada diri kita saat ini dan saat-saat ke depannya pun adalah milik-Nya yang suatu ketika akan diminta kembali. Dan tidak ada hak apapun atas kita untuk tidak memberikan kepada pemilik-Nya. Contohlah tukang parkir, saat mobil/motor datang dia senang, tapi saat mobil/motor itu pergi ia pun tak pernah bersedih. Tahu kenapa? Karena mobil/motor itu sama sekali bukan miliknya. Dia hanya mendapat amanah untuk menjaganya sampai diambil kembali oleh pemiliknya. Dan saat itu tiba, ia pun melepas dengan sukarela. Begitulah seharusnya hidup kita. Selalu bersyukur saat diberi, ikhlas saat sesuatu itu diambil kembali."

Demikian yang bisa sharing hari ini. Semoga bermanfaat dan menjadi renungan kita semua. 
Tak lupa, semoga kita semua bisa kembali pada Illahi dalam keadaan sebaik-baik diri dalam khusnul khotimah. Aamiin.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar