Assalamu'alaykum...

Selamat Datang.... ^_^

Jumat, 30 September 2011

Yuk ikutan Book Your Blog! ^-^


Baru ingat kalau Leutikaprio.com mengadakan sebuah event bertajuk Book Your Blog! Ya, memang saya belum bisa dibilang blogger sejati, tapi sejak pertama nge-blog lumayan menikmati. Ya, meskipun isinya masih kacau balau meracau alias suka-suka gue dech.hehehe...

Nah, di detik-detik terakhir ini saya mencoba memberanikan diri untuk mendaftarkan blog saya yang masih acak adut ini untuk berpartisipasi di event ini. Mulai dari tulisan yang sedikit serius, iseng sampai curhat ga penting lah. Pokoknya semua yang tertuang disini, baik yang syarat makna ataupun yang memiliki makna tapi terkubur dalam setiap katanya, semua saya tulis sebagai buah pemikiran dan gambaran perasaan yang saat itu sedang saya rasa. Ataupun kadang inspirasi melintas begitu saja hanya karena mendengar satu celetukan atau membaca sebuah kalimat singkat.

Pokoknya semua yang ada di blog ini semoga memberi manfaat bagi yang membacanya. ^-^

Nah, bagi kawan-kawan yang mungkin kebetulan mampir ke blog ini dan membaca tulisan ini lalu tertarik untuk mengikuti event ini saya mau kasih tahu caranya. Nah, mau tahu kan caranya bagaimana? Mudah sekali. Silakan disimak:

1. Tulis tentang event ini beserta logo event di blog teman-teman dengan bahasa teman-teman sendiri, diberi tag #bookyourblog
2. Pasang link website http://www.leutikaprio.com/ di blog teman-teman (di blog scroll)
3. Kirimkan alamat blog teman-teman ke eventleutika@hotmail.com
4. Tulis sinopsis blog teman-teman dalam 250 kata Ms Word. Sertakan nama, nama pena, TTL, alamat, no handphone, alamat e-mail, akun FB, akun twitter. Kemudian attach file ke dalam e-mail.
5. Tulis “Book Your Blog” di judul e-mail.


Trus, kira-kira blog seperti apa yang bisa menjadi pemenang dalam event ini?
1. Inspiratif, berisi cerita-cerita yang dapat menjadi inspirasi bagi orang lain.
2. Tidak mengandung SARA dan pornografi.
3. Berkarakter, konsisten berisi materi-materi yang terkonsep dan orisinil.


Event ini hanya akan mengambil tiga pemenang saja. Dan bagi pemenang, tulisan-tulisan di blog teman-teman akan diterbitkan GRATIS dalam bentuk buku oleh Leutika Prio. Penulis alias pemilik blog yang menang juga akan mendapatkan royalti sebesar 15% dari harga produksi dan serta berhak mendapatkan paket buku dari Leutika Publisher.

Trus kalau ga menang gimana dunk? Tenang, kalau misalnya ga menang pun kita masih dapat keuntunga kok mengikuti lomba ini.
Apa tuch?
Kita akan tetap mendapatkan diskon paket penerbitan sebesar 20%.
Gimana? Ga rugi kan?


Yuk, buruan daftarkan blogmu dan berdo'a semoga menjadi pemenang. ^-^

Lakukan usaha yang terbaik dan bertawakal kepada Allah Swt. Masalah hasil, serahkan padaNya. ^-^

Semangat... ^-^



Rabu, 28 September 2011

If You Like, Follow Please! If You Don't, Unfollow! And If You Hate, Block Please!



Fenomena twitter yang semakin hangat dan marak di kalangan pecinta sosial media memang tidak ada habisnya untuk dibicarakan. Dan tak sedikit kasus timbul karena bersinggungannya beberapa kepentinga lewat tulisan yang hanya 140 karakter. Eits, tapi jangan salah, meski terbatas, kata yang dihasilkan dari 140 karakter bisa berimbas besar dan berakibat fatal, lho.

Ga percaya? Masa sich?
Lihat saja fenomena saling cibir dan memaki di twitter. Bukan hal baru dech. Apalagi jika ga hanya sekedar menyerang pribadi, tapi institusi, alumni atau suatu kelompok tertentu. Hasilnya bisa ditebak, FANTASTIS!

Nah, menyikapi semua itu sebenarnya twitter punya solusi lho. Apakah itu?

Ada menu follow di sana. Yang bisa kita klik dengan mudah jika memang kita menyukai pemilik akun tersebut. Terserah kita dunk alasannya, apakah tertarik dengan orangnya, tweet-tweetnya yang mungkin memotivasi, atau memang dia adalah teman dan sahabat kita. We have a reason to choose. :)



Maka tak aneh jika setiap individu memilih untuk mem-follow beberapa orang dengan berbagai karakter. Ada yang suka sekali mem-follow selebritis karena nge-fans abiz. Ada yang mem-follow tokoh agama karena ingin lebih memperoleh pemahaman agama dan hidup lebih religius. Ada yang mem-follow motivator karena ingin lebih termotivasi dalam hidup. Dan ada pula yang mem-follow orang-orang yang tweet-nya galau karena emang lebih nyaman di kondisi galau.hehehe... (Maaf jika ada yang tersinggung...hihihi)

Kemudian pernah terjadi kritik-kritik pedas terhadap tweet salah satu sosok yang difollow yang berujung pada tweet war. Padahal seharusnya ga perlu ada hal semacam itu. Pasalnya twitter punya solusinya, yaitu menu UNFOLLOW. Atau jika memang kritiknya dirasa sangat menyakitkan dan kita sangat tidak suka membacanya, maka twitter memberi pilihan lain, yaitu BLOCK.


So, ga perlu pusing, ga perlu stress dan ga perlu tersinggu dengan komen-komen yang sedikit menyerang karena twitter sudah menyediakan banyak pilihan.

Maka mudah sekali menyikapi apapun yang kita hadapi di tweetland.

If you like, follow please! If you don't, Unfollow! And if you hate, block please!

So, jangan tersinggung jika tiba-tiba diunfollow oleh follower kita atau mungkin sadisnya lagi sampai di block. Mungkin saja, ada tweet kita yang menyinggungnya atau tidak disukainya.

Dan jangan Ge-eR juga kalau tiba-tiba banyak difollow orang. Bisa jadi ada sebagian dari tweet kita yang dirasa bermanfaat.

Tweet-mu, Harimaumu!
Bijaklah dalam menulis di twitter ataupun di social media lainnya. Karena jika bermanfaat dan baik maka akan diikuti dan disukai banyak orang. Tapi jangan kaget dan sakit hati juga jika tweet kita jelek dan merusak, maka pilihan di unfollow atau di block.

Selamat menikmati petualangan di social media ya, kawan... :)

Finally... The Show Was Done! ^-^

Hari ini adalah presentasi mata kuliah Seminar Akuntansi Pemerintahan dengan format lain daripada yang lain. ^-^

Dengan membuat skenario opera yang mencoba menarik perhatian para audience dan diselingi dengan penampilan Budi Idol.hehehe...
Alhamdulillah yah, semua berjalan lancar meskipun masih ada beberapa titik yang perlu perbaikan. Tapi secara keseluruh cukup layak untuk dibilang sukses.hehehe.... (maksa...hihihi)

Menyampaikan materi tentang perubahan cash toward accrual basis menjadi full acrual basis dalam PP No. 71 Tahun 2010, khususnya membahas tentang Laporan Operasional.

Dan betapa bingungnya membuat konsep presentasi tentang akuntansi yang menarik bagi audience dan tidak membosankan. Maka opera inilah yang kemudian kami jadikan daya tarik.

Sudah lama tidak berakting. Terakhir berakting adalah ketika saya masih duduk di bangku SMA. Dan kini harus melakukannya lagi hanya dengan sedikit persiapan. Nah, setelah selesai presentasi, kami mendapatkan surat cinta dari para audience tentang performance kami sebelumnya.

Dan...
Apakah hasilnya?
Tarrraaaaaa....

Sebagian besar hal negatif yang perlu saya perbaiki adalah "Volume suara".
Hal lainnya adalah perbedaan karakter. Karena kebetulan saya memerankan dua karakter yang berbeda. Dan mungkin, saya kurang menghayati dan kurang improvisasi sehingga antara peran satu dengan peran lainnya bedanya hanya sangat tipis sekali.

Nah, tapi selain itu ada hal positif yang harus dipertahankan. Diantaranya adalah percaya diri, eye contact dan mimik saat berperan.
Ok, nilai plus lah ya. Nilai lebih untuk menutup kekurangan menuju perbaikan, insyaAllah. ^-^


Tapi...
Dari semua itu, hal yang paling besar dirasakan saya pribadi dan kelompok adalah kelegaan dan tahu mana saja titik yang perlu diperbaiki untuk performance berikutnya di lain kesempatan. ^-^

Semangat dan jangan menyerah untuk terus belajar... ^-^

Selasa, 27 September 2011

Tips Menghilngkan Mata Sembab

Pernah nangis semalam suntuk lalu paginya mendapati mata bengkak segedhe gaban?

Pernah nangis dalam waktu lama hingga mata sembab tak karuan?

Pernah nangis tapi selepas nangis harus buru-buru pergi ke sebuah acara?

Ah, wanita pasti jawabannya mayoritas adalah "pernah".

Nah, jika mata sembab atau bengkak selepas menangis dan bingung karena harus buru-buru pergi maka tak perlu lagi khawatir.

Saya akan berbagi tips di bawah ini (semoga yang baca tidak menyimpulkan bahwa saya sudah sering mempraktekkannya... padahal emang iya... #eh... ;p ).

Ada beberapa tips yang mungkin bisa dipraktekkan, sebagai berikut:

1. Ambil ketimun/mentimun(apapun namanya dech...hehehe) lalu potong bulat dan tempelkan di kelopak mata. Tentu saja sambil rebahan dan mata terpejam ya. Soalnya kalau matanya melotot ntar malah repot dech...hehehe

2. Ambil es batu dan bungkus dengan kain atau handuk. Kompreskan di kelopak mata bagian atas dan bagian bawah.

3. Ambil teh celup sisa dipakai membuat teh dan masukkan ke kulkas sebentar. Setelah cukup dingin, tempelkan di kelopak mata. Caranya sama seperti pemakaian mentimun di atas ya... :)

4. Ambil bawang putih, belah kemudian oleskan di kelopak mata bagian atas dan kelopak mata bawah. Jika perih, ditotol-totol saja.

5. Cuci muka dengan air hangat biar kelihatan fresh dan sembabnya hilang. ^-^


Nah, beberapa tips di atas bisa dipraktekkan. Pilih salah satu yang Anda suka dan rasakan hasilnya. Semoga bekerja sesuai harapan. ^-^

Oh iya, tapi jika sembab atau bengkaknya parah maka bisa dicoba memadukan beberapa tips seperti:
1. Menggunakan bawang putih.
2. Mencuci muka dengan air hangat (suam-suam kuku.
3. Gunakan teh bag (Teh celup) untuk mengkompres di bagian terakhir.
4. Sekali lagi, cuci muka kembali dengan air hangat (suam-suam kuku).


Langkah gabungan tersebut sudah pernah dipraktekkan and it's work... ^-^


Selamat mencoba dan semoga berhasil ya... ^-^

Sometimes

Sometimes
Aku ingin berlari jauh sekali
Hingga tak dapat lagi aku kembali
Lalu menghilang dan terlupa dari ingatan
Tak satupun tahu akan diriku yang pernah di antara mereka

Sometimes
Aku ingin bisa menghilang
Lenyap tanpa jejak
Hingga tak ada yang bisa mencariku
Dan menemukanku
Kembali

And sometimes
Aku ingin memutar waktu kembali
Agar sempat kuperbaiki apa yang salah
Hingga sempat kuhindari apa yang tak baik
Dan kulakukan lebih baik lagi dari yang telah terlalui

Tapi...
Bukankah dari setiap kesalahan
Setiap kekeliruan
Setiap ketidakbaikan yang datang
Menyapa dan meninggalkan jejak luka
Menggores kenangan kelam
Menghadirkan temaram atau kegelapan dalam kehidupan
Darinyalah kita banyak belajar
Belajar untuk menemukan cahaya saat gelap melanda
Belajar berdiri dan tegak kembali kala tubuh terpelanting jatuh
Atau belajar berani membuka mata
Dan menatap kembali hari esok


Hidup itu bukan hanya hari ini
Bukan pula cukup hari kemarin
Tapi masih ada esok yang menanti
Ketika kemarin dan kini salah itu terlanjur tertumpah
Maka esok hari adalah saat tuk perbaiki
Bangkit dan berdiri kembali
Hapus airmata dan buka mata kembali
Lalu...
Dengan tegap, melangkahlah kembali

It's not time to cry and cry
But, it's time to wake up, stand up
And move on...


Ingatlah kawan,
Tuhan tak henti menemani
Tak henti mendampingi
Dan kasih sayangNya tak henti membanjiri
Maka jangan pernah merasa sendiri
Apalagi merasa tak berarti

Sungguh, pelangi itu tampak setelah hujan berhenti
Kupu-kupu terlahir setelah bertapa dalam sebuah kepompong
Dan mutiara terlahir setelah kerang merasakan begitu banyak kesakitan
Atau cangkir cantik tanah liat terlahir setelah melewati tempaan dan pembakaran yang sangat menyakitkan


Jangan pernah putus asa, kawan
Melangkah dan melangkahlah meski tertatih
Atas setiap kesalahan dan kekhilafan
Belajarlah tuk memperbaiki dan menghindari
Agar tiada terulang kembali


(Iseng di tengah diskusi kelas...hehehe... )


Senin, 26 September 2011

Hal Yang Membuatku Sedih

Hal-hal yang membuatku merasa sedih, sangat sedih, malu dan bersalah adalah:

1. Ketika aku baru sadar bahwa aku telah lalai mengingatNya atau terlupa untuk bersyukur padaNya ketika nikmatNya tercurah tiada jeda.

2. Ketika aku melihat ibu/bapak menitikkan airmata dan akulah penyebabnya.

3. Ketika aku melihat atau mendengar orang yang kusayangi menangis tersedu dan aku jugalah penyebabnya.

4. Ketika kusadari bahwa orang-orang di sekelilingku kecewa dan sedih karenaku.

4. Ketika kusadari, ada yang merasa tak terhargai atas sikap dan tindakanku meski sama sekali tak pernah kubermaksud demikian.

5. Ketika melihat seorang yang kesusahan tapi aku tak mampu berbuat apa-apa.

6. Ketika kesalahan yang tak kusadari dan hanya meninggalkan penyesalan tak terkira.

7. Ketika aku merasa sangat lemah dan hanya sanggup berucap do'a.

Dan hari ini, aku pun sangat sedih tiada terkira karena dua hal dari sekian yang kusebutkan di atas.

Ya Allah, semoga Engkau beri aku kekuatan dan kesempatan untuk memperbaikinya hingga mampu kumerubah wajah sedih dan tetes airmata menjadi senyum dan tawa bangga dan bahagia... Allahumma aamiin.

Hidup itu terkadang lucu. Melenakan kita untuk bermuluk-muluk meminta dan memasang target yang mampu membuat kita bangga dan bahagia. Padahal sejatinya, kebahagiaan yang sejati dan tak ternilai harganya adalah ketika ada sedikit saja keyakinan bahwa Allah swt ridho atas apa yang kita lakukan karena telah sesuai apa yang DIA pinta dan jauh dari laranganNya, kemudian melihat ibu/bapak/orang yang kita sayang tersenyum, tertawa dengan bangga dan penuh kebahagiaan atas apa yang telah kita lakukan serta menyadari bahwa orang-orang di sekeliling kita merasa sangat terbantu dengan adanya kita.

Allahu Rabbi, bimbinglah dan jadikanlah diri ini pemilik kebahagiaan sejati itu. Mampu memberi kebahagiaan kepada mereka yang tak henti mencurahkan cinta dan mampu memberi kemanfaatan kepada mereka yang ada di sekelilingku.

Jika pun terlanjur kuberbuat salah dan menggoreskan luka hingga tergurat duka dan menitik airmata maka ijinkanlah diri ini memiliki kesempatan untuk merubah semuanya menjadi tawa bahagia. Allahumma aamiin...


(Di salah satu malam milikNya... :) )

Dengan Ujian-MU Aku Bertumbuh

Hidup itu seperti sebuah samudera dimana ombak yang ada di dalamnya pun bervariasi. Ada ombak yang besar dan ada pula ombak yang kecil. Dalam hidup pun demikian, ada ujian berupa kenikmatan dan ada pula ujian berupa sebuah cobaan yang kurang membahagiakan. Tapi apa pun itu, hidup kita terus berjalan.

Saya pernah membaca sebuah kalimat pendek. Siapa penulisnya saya terlupa.

"Kamu adalah seberapa besar ujian hidupmu."

"Kasih sayang Tuhanmu terlihat dari seberapa besar cobaan yang kau terima."


Ya, kita terbentuk dari ujian dan cobaan yang ada dan mewarnai hidup ini. Setiap ujian yang datang akan menambah kedewasaan dan kematangan diri kita. Ujian dan cobaan yang datang bertubi, dari ujian kecil dan ringan hingga cobaan besar dan berat. Semua punya andil untuk membentuk siapa kita. Apakah kita menjadi si lemah dan ringkih, mudah terpental dalam setiap ujian? Atau kita adalah si tegar dan tabah yang tetap mampu berdiri kembali dengan tegak meski berulang kali terjatuh dan terjungkal?

Semua ujian hidup itulah yang besar andil dan perannya dalam membentuk siapa diri kita.

Kemudian, kalimat kedua. Benar adanya bahwa kasih sayang Tuhan terlihat jelas dengan ujian yang ditimpakan kepada kita, hambaNya.

Adapun kalimat tersebut kemudian didukung oleh hadist sebagai berikut :

Rasulullah saw bersabda : ”Jika Allah mencintai seorang hamba maka Allah berikan cobaan baginya. Dan jika Allah mencintainya dengan kecintaan yang sangat maka Allah akan mengujinya.”
Para sahabat Nabi bertanya : ”Apakah ujiannya?”
Rasulullah saww menjawab : “Tidak sedikit pun Allah tinggalkan baginya harta dan anak”

Atau dalam hadits lainnya, Imam Ja’far al-Shadiq as berkata, ”Sesungguhnya apabila Allah mencintai seorang hamba niscaya Dia tenggelamkan hamba tersebut ke dalam cobaan.”

Dan Rasulullah saw pun ernah bersabda, “Barangsiapa yang tidak pernah mengalami musibah, maka ia jauh dari kasih sayang Allah.”


Dan bukankah ujian dan cobaan tidak sekedar Allah berikan kepada ummat saat ini? Tapi ujian itu telah ada sejak pertama kali manusia diciptakan?

SEMAKIN TINGGI TINGKAT SPIRITUAL SESEORANG SEMAKIN BERAT UJIANNYA

Diriwayatkan bahwa Imam Al-Shadiq as berkata, “Sesungguhnya disebutkan di dalam kitab ‘Ali bahwa yang paling berat cobaannya di antara semua manusia adalah para nabi, dan setelah mereka adalah para washiy (para Imam Ahlul Bait as), dan setelah mereka adalah orang-orang pilihan yang seperti mereka. Sungguh orang mukmin pasti mengalami cobaan sesuai dengan kadar amal baiknya. Maka, orang yang baik agamanya dan baik pula amalnya akan lebih berat cobaannya. Hal itu disebabkan Allah SwT tidak menjadikan dunia ini sebagai tempat memberi pahala bagi orang mukmin dan tempat menyiksa orang yang ingkar. Dan orang yang lemah imannya dan buruk amalnya, akan lebih ringan cobaannya. Sesungguhnya, cobaan itu menimpa orang beriman lebih cepat daripada air hujan yang turun ke bumi.” 14]

Sesungguhnya manusia yang paling keras cobaannya ialah para Nabi, kemudian orang-orang setelah mereka, dan selanjutnya orang-orang setelah mereka yang layak mendapatkan cobaan seperti mereka. Para penyusun kitab-kitab hadis, membuat bab khusus mengenai kerasnya cobaan yang dihadapi oleh Amir Al-Mu’minin, para Imam dan putra-putranya.

Cobaan yang dihadapi oleh para kekasih Allah, pada dasarnya, adalah kasih sayang-Nya yang dikemas dengan penderitaan, sebagaimana halnya dengan kenikmatan dan kesehatan yang dialami oleh mereka yang dimurkai oleh Allah, yang pada dasarnya merupakan siksaan untuk mereka yang dikemas dalam bentuk kenikmatan, dan kemurkaan dengan bentuk kasih sayang. 15]

Imam al-Shadiq as berkata, ”Besarnya pahala seseorang sebanding dengan besarnya penderitaannya dan tidaklah Allah mencintai seorang hamba kecuali Dia menghadapkannya dengan penderitaan” 16]

Bala’ yang berarti ujian dan cobaan dapat terjadi pada manusia yang baik maupun yang jahat. Bala’ dan ibtila’, tidak hanya terbatas hanya berupa penyakit berat atau ringan, atau kesengsaraan, seperti kemiskinan, penghinaan, dan kehilangan keuntungan-keuntungan duniawi.

Bahkan seperti kekuasaan, kebesaran, kekayaan, ketinggian status, kehormatan, dan yang semacam itu juga merupakan bentuk lain dari ujian dan cobaan.

Tetapi dalam konteks hadits dari Imam al-Shadiq as di atas, bala’ yang dimaksudkan adalah bala’ dalam pengertian yang pertama, yang berupa penderitaan dan kesengsaraan.



Di sini, kutuliskan semua hal di atas bukan karena aku merasa mulia atas apa yang telah menimpaku selama ini. Karena aku yakin dari apa yang pernah kualami (cukup bagiku, Allah swt dan orang-orang tertentu yang tahu), ada orang lain yang mungkin mengalami ujian dan cobaan nan lebih besar dan berat daripadaku.

Tapi kutuliskan semua sekedar pengingat diri dan siapapun yang berkenan membaca tulisan ini bahwa setiap ujian dan cobaan yang kita alami, tak lain dan tak bukan adalah bagian dari kasih sayangNya untuk mencetak kita menjadi pribadi yang lebih baik lagi.


Dan, inilah aku, Ya Allah... kuserahkan diri, hati dan hidupku padaMu. Tempalah aku dengan segenap kasih sayangMu untuk menjadi pribadi yang lebih baik, yang lebih mencintaiMu, mematuhiMu hingga kudapatlah ridhoMu.,, Aamiin


Kamis, 22 September 2011

Sometimes It Suck Being Too Strong

Pagi ini membaca salah tweet yang di RT oleh teman di tweetland.

"Sometimes it sucks being too strong, because sometimes people think that it's okay to hurt me, over and over again."

Ya, sedikit menggelitik saja untuk saya ulas sedikit di sini.

Dalam hidup ini, yang namanya terlalu itu memang tidak baik. Bukankah dalam Islam sendiri dijelaskan bahwa segala sesuatu yang "berlebihan" atau kata lainnya "terlalu" itu bukanlah suatu hal yang baik, bahkan cenderung lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya.

Contoh : ketika seorang perempuan terlalu mencintai kekasihnya atau suaminya, maka dia akan menjadi terlalu cemburuan, sensitif dan selalu ingin diperhatikan lebih. Seakan diri suami atau kekasihnya ada hanya untuk dirinya. Padahal tentu saja dia masih punya tanggung jawab kepada orang tuanya, kepada pekerjaannya, kepada teman-temannya dan hobinya. Jadi, lama-lama dia akan merasa terpenjara dengan cinta isterinya yang "terlalu" itu tadi. Nah, kan ternyata meskipun cinta itu indah dan diharapkan ada dalam hubungan suami dan isteri, akan tetapi jika proporsinya berlebihan tentu tidak akan baik kan jadinya?

Ceileeeh... kayak pengalaman aja nich nulisnya. Maklum, banyak membaca jadi banyak tahu...hihihi...

Nah, menjadi terlalu lemah itu sama tidak enaknya dengan menjadi terlalu kuat. Ketika di posisi terlalu lemah, orang akan semakin mudah menyakiti dan mendzalimi kita. Dasar mereka apa? Tak sedikit dari para pelaku memiliki pemikiran begini, "Ah, dia ini kan lemah, penakut. Kalau kita ancam sedikit dijamin dia pasti nurut."
Karena pemikiran tersebut maka akan semakin sering disakiti dan didzolimi. Toh, tetap akan diam dan tidak akan melaporkan kepada orang lain kan? Karena adanya ANCAMAN.

Nah, menjadi terlalu kuat (tegar) pun ada tidak baiknya. Kenapa? Kadang orang-orang akan berfikir, "Dia ini orang yang tegar dan sabar. Disakiti sedikit saja dia hanya akan diam dan tersenyum. Memaafkan kemudian mendo'akan mereka yang menyakitinya. Justru enak kan kalau begitu?"
Nah, serba salah kan?

Lalu, mana yang terbaik? Yang terbaik adalah yang sesuai proporsinya... :)

Tidak terlalu lemah tapi juga tidak terlalu kuat. Kadang, tanpa disadari menjadi terlalu kuat (tegar) itu terlalu memaksakan diri. Akhirnya justru kita akan terlukai oleh apa yang kita lakukan sendiri.

Ada yang bilang tipe terlalu kuat yang memaksakan diri ini ibarat lilin yang rela membakar dirinya untuk memberi sedikit penerangan bagi yang lain.

Kehidupan itu seperti samudera. Ada kalanya ombak datang menggulung dan menghempas keras. Tapi ada kalanya pula ombak mengalun tenang dan justru mengasyikkan. Begitu pula dalam menyikapinya. Ketika riak-riaknya kecil, maka lembutkan hati. Karena saat itu, bisa jadi Allah hendak memberikan hikmah melalui cara yang lembut dan halus. Anggaplah hikmah yang Allah berikan berbalut rezeki. Indah bukan? :)

Nah, ketika ombak datang dan menghempas dengan sangat kuat maka kuatkan hati. Bisa jadi, Allah hendak memberikan hikmah yang berbalut ujian dan cobaab. Dimana kita akan merasakan kegelapan, kelemahan, ketakberdayaan dan nyaris putus asa. Nah, kuat hati di sinilah besar manfaatnya. Kenapa? Itu akan membuat kita tak surut langkah, tak putus asa dan berpaling meninggalkan Allah karena merasa ujia terlalu berat dan tak sanggup menanggungnya. Yakinlah, bahwa apa yang Allah berikan itu sudah diperhitungkanNya dengan sangat teliti, melebihi ketelitian manusia paling teliti sekalipun. Artinya, setiap ujian, cobaan dan halangan-rintangan yang ada dalam hidup kita sudah disesuaikan dengan kekuatan diri kita untuk menanggungnya. Itulah kenapa disini perlu adanya kekuatan, agar kita tetap tegak berdiri, terus melangkah penuh keyakinan dan hasilnya adalah kita akan naik kelas. Bukankah hanya mereka yang kuat tekadnya dan bekerja keras tak kenal putus asa yang akan terus melangkah maju menuju kesuksesan? :)


Jadi, tak perlu menjadi terlalu kuat atau merasa terlalu lemah. Ketika ombak kehidupan datang, sesuaikanlah diri kita dengannya. Menjadi kuat atau cukup lemah lembut saja.

Saya pun mempunyai seorang kawan yang sering dinilai oleh kawan lainnya sebagai orang yang lemah, terlalu baik katanya. Hasilnya, kawan saya ini sering disakiti oleh orang-orang di sekelilingnya yang mengaku teman-temannya. Kadang dibohongi, ditipu, dikhianati bahkan pernah juga difitnah. Tapi yang dia lakukan? Diam, tidak membalas mereka. Memaafkan dan mendo'akan agar teman-temannya segera bertobat dan bisa menjadi pribadi yang lebih baik. Mendo'akan agar teman-temannya dibukakan hatinya, dilembutkan hatinya untuk menerima hidayahNya.

Hasilnya apa? Masalah demi masalah datang mewarnai hidupnya. Dan keputusannya tetap sama.

"Aku tidak akan membalas apa yang telah mereka lakukan. Kenapa? Karena aku tidak sama seperti mereka. Lagipula, aku yakin bahwa Allah tidak pernah tidur. Bukankah setiap orang akan memetik sendiri akibat dari apa yang dilakukannya? Bukankah setiap orang akan menanggung dosanya sendiri? Itulah keyakinanku. Siapa yang menabur maka dialah yang akan menuai. Siapa yang berbuat maka dialah yang akan mempertanggungjawabkannya. Allah Maha Adil, Allah Maha Bijaksana dan Allah Maha Teliti PerhitunganNya. Kurasa hanya mereka yang hilang akal saja yang menganggap bahwa mereka aman karena aku tidak membalasnya atau pun melaporkan apa yang telah mereka lakukan padaku."

Itulah yang pernah dikatakannya.

Jadi, menjadi lemah atau kuat, pilihan ada di tangan kita. Tapi yang terbaik adalah berada di titik tengah, tidak berlebihan. :)


Sedikit ini, semoga bermanfaat... :)
Jika ada salah, maka saya tak segan untuk menerima kritikan ataupun masukan. :)

Minggu, 18 September 2011

Korea, Cuka dan Cinta (3)


Sebelumnya:
Aku sudah menginjakkan kaki di sebuah negara asing, Korea. Tempat dimana kemudian aku merasa sendiri. Aku bertemu dengan Rika, penerjemah baru yang akan mendampingiku. Aku juga mendapati sebuah bangunan megah yang ternyata itulah rumah ayahku. Kini, di sinilah aku tinggal. Hari-hariku kemudian berkenalan dengan banyak hal baru. Mulai dari berbagai menu makan yang asing dan rasanya tidak familiar dengan lidah kampungku. Kemudian sebuah restoran, cuka kesemek dan tentu saja, akulah yang akan memiliki dan mengelolanya. Aku di hadapkan untuk terhadap sebuah pilihan : menerima atau menolak wasiat itu. Dan aku masih bingung. Bingung dengan diriku dan bingung dengan inginku.




Belum waktunya untuk menutup restoran, tapi hari itu Tuan Park Min Ji memintaku pulang lebih dulu. Aku tidak tahu alasannya apa, tapi wajahnya mengisyaratkan sebuah permintaan tulus. Akhirnya kuturuti untuk pulang lebih awal.

Begitu mobil itu berhenti di depan pintu masuk, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Rumah ini kurasakan lebih hangat dari biasanya. Hatiku merasa lebih bahagia dari sebelumnya. Seakan ada yang sedang menungguku pulang. Ada seseorang yang menanti kehadiranku. Tak sabar aku segera masuk dengan langkah setengah berlari.

Bunda Naira?

Aku tak percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Benarkah ini nyata? Atau hanya mimpi belaka? Berkali-kali aku mengedipkan mata. Dan Bunda Naira masih berdiri di hadapanku. Tersenyum menyambutku seperti yang biasa dilakukannya selama di panti asuhan.

“Kemarilah, Yudha. Apakah kamu tidak merindukan Bunda?”

Serta merta aku menghambur memeluknya. Aku pulang. Sekarang aku merasa benar-benar pulang. Ada kehangatan kasih sayang yang menyambut kedatanganku. Ada wajah teduh yang menyambutku dengan senyuman hangat.

Aku seperti anak yang menemukan kembali ibunya. Aku memeluknya erat. Lalu mengajaknya duduk.

“Kamu tampak sangat letih, Yudha. Apakah kamu selama ini bekerja sangat keras? Sesibuk apapun pekerjaanmu, usahakan untuk mengistirahatkan badanmu. Jangan sampai kamu sakit,” Bunda Naira membelai lembut rambutku, sesuatu yang sangat kurindukan.
Bagiku Bunda Naira adalah ibuku. Dialah yang membesarkan dan merawatku sejak kecil. Mungkin itulah kesepian yang selama ini kurasakan, aku kehilangan Bunda Naira dari sisiku. Aku merindukannya. Kini, setelah melihatnya aku merasa sangat bersemangat. Semua lelah yang biasanya menggelayuti tubuhku seakan sirna.

“Bunda, tunggulah sebentar. Aku akan menyiapkan makan malam untuk kita. Aku akan masak sendiri untuk Bunda,” aku segera menuju dapur.

Teringat akan pengalaman pertamaku dengan hidangan korea, maka kali ini pun kuputuskan untuk memasak yang sederhana saja. Aku membuat nasi gulung Gimbab dengan isi tuna, Samgyetang (sup ayam ginseng), Maeuntang (sup ikan pedas), Bulgogi (daging sapi panggang), dan Doenjang Jjigae (sup pasta kedelai).

“Wah… banyak sekali. Memangnya mau mengundang siapa?” tanya Bunda Naira takjub melihat makanan yang terhidang.

“Ah, ini tidak seberapa Bunda. Pertama kali aku sampai di sini, makanan yang dihidangkan lebih banyak lagi. Ini hanya untuk kita berdua saja Bunda,” aku mempersilahkan Bunda Naira duduk.

“Tapi ini kan banyak sekali. Mubazir, Yudha.”

Komentar yang sama seperti ketika pertama kali aku melihat hidangan sebanyak ini.

“Tidak apa-apa Bunda. Oh iya, ini teh ginseng. Kalau yang ini sari buah kesemek. Bunda wajib mencobanya.”

“Kamu memasak semua ini sendiri?” tanya Bunda sanksi.

Aku mengangguk, “pasti Bunda tidak percaya kan? Karena selama di Depok, aku bahkan enggan menginjakkan kaki di dapur. Tapi selama di sini, aku seperti ditarik magnet untuk masuk dapur dan memasak berbagai masakan.”

“Bunda seperti melihat sosok lain dari seorang Yudha. Tapi Bunda senang, kamu kelihatan bahagia di sini. Inilah kehidupan yang seharusnya kamu jalani sejak sekian lama, Yudha. Tapi Tuhan baru mengijinkanmu menjalaninya sekarang.”

“Tapi di sini aku kesepian Bunda. Aku merindukan Bunda, Mang Hamdan, Mang Sabri, Mang Ujang dan teman-teman panti lainnya. Aku merindukan masa-masa yang kulewati selama di Depok.”

Bunda Naira tertawa. Entah karena cahaya di ruang makan itu atau hanya karena baru kusadari saat itu, tampak jelas beberapa kerutan di wajah teduh Bunda Naira. Tapi tawa renyah itu masih sama, hangat dan penuh cinta. Tidak ada yang berubah dalam diri Bunda Naira selain fisiknya yang mulai jelas menampakkan tanda-tanda penuaan.

“Kamu kesepian di tengah segala kesibukanmu? Itu karena kamu belum terbiasa. Lama kelamaan kamu akan menikmatinya. Kalau kamu rindu dengan kami yang di Depok, kamu bisa datang kapan saja. Kami akan selalu membuka lebar-lebar pintu hati dan pintu rumah kami untukmu. Tapi tugas utama kamu adalah di sini, menunaikan wasiat ayahmu. Karena memang di sinilah tempatmu.”

Aku tahu Bunda Naira pasti akan mengatakan hal itu. Tapi berbeda ketika tuan Park Min Ji mengatakan hal yang sama, kali ini aku merasa lebih lega, tenang dan ringan.

“Oh iya, ngomong-ngomong bagaimana ceritanya Bunda bisa kesini?” tiba-tiba aku teringat pertanyaan yang sedari tadi kusimpan.

“Oh itu, Tuan Park Min Ji menelpon panti dan meminta ibu bersiap-siap untuk menemuimu di sini. Beberapa hari kemudian orang suruhan tuan Park Min Ji menjemput Bunda. Lalu sampailah Bunda di sini. Awalnya bunda terkejut saat sampai di sini dan dijelaskan bahwa ini rumahmu,” Bunda menjelaskan garis besar kisahnya.

“Siapa yang mendampingi Bunda? Bunda tidak mungkin mengerti pembicaraan mereka kan?” tanyaku lagi.

“Tentu saja ada yang mendampingi Bunda. Sama seperti waktu Tuan Park Min Ji menemuimu di panti dulu. Namanya Rika,” jawab Bunda.

Aku tersenyum. Sudah kuduga. Pasti Rika yang diminta Tuan Park Min Ji.

Kami menikmati hidangan malam itu. Bunda Naira berkali-kali memuji hasil masakanku.

“Bunda masih tidak percaya bahwa ini adalah hasil masakanmu. Seorang Yudha yang tidak pernah menyentuh dapur ternyata bisa membuat masakan yang sangat lezat,” puji Bunda.

“Ini saja menurut Tuan Park, masakanku masih belum selezat masakan kakek dan ayah. Jika aku bisa memasak dengan segenap hati, maka hasilnya akan lebih lezat lagi. Atau karena aku memasak untuk Bunda kali ini dengan segenap hati, maka masakannya lebih lezat dari biasanya?”

“Kalau kamu memasak hanya asal memasukkan bahan dan mencampurnya dengan bumbu hingga matang, maka itu hanya akan menjadi makanan yang mengenyangkan tapi tidak memberi efek manfaat lainnya selain perut penuh makanan. Tapi jika kamu memasak dengan segenap hatimu, mereka yang menikmati hasil masakanmu akan merasakan maksud hatimu. Tidak hanya itu, makanan yang dimasak dengan segenap cinta akan membuat orang yang menikmatinya merasa bahagia dan sehat. Itulah kenapa makanan itu merupakan hal yang sangat diperhatikan juga dalam islam. Asalnya harus dari yang halal, memasaknya harus dengan mengucap Basmallah, dengan segenap cinta, memperhatikan nilai gizi dan nutrisi. Maka tidak sekedar membuat perut kita penuh makanan, tapi juga membuat perasaan kita lebih nyaman, bahagia dan tubuh kita menjadi sehat.”

Aku mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasan Bunda Naira.

“Baiklah, kalau begitu mulai besok aku akan memasak dengan segenap hati, penuh cinta dan mengikuti semua saran Bunda.”

Bunda hanya membalas dengan tawa renyahnya. Aku pun ikut tertawa bersamanya.

Aku mengajak Bunda Naira ke ruang tengah.

“Ini Metteok, kue dari tepung beras, isinya ada macam-macam Bunda tinggal pilih, kacang hijau, kacang merah, madu, kismis, atau wijen. Kalau yang ini namanya Yugwa, kue beras tapi digoreng. Nah, yang satu paket ini namanya Hahngwa,” kataku sambil menjelaskan beberapa kue camilan yang ada di meja.

“Ini kamu juga yang memasak?” tanya Bunda takjub.

“Bukan, Bunda. Ini pelayan yang menyiapkannya.”

Kami belum mulai menikmati hidangan itu ketika tiba-tiba pelayan menyampaikan ada tamu untukku. Rika sudah berdiri di belakang pelayanku sebelum aku sempat bertanya siapa tamu itu.

“Rika, kemarilah.”

Rika tersenyum, menunduk hormat kepada Bunda Naira dan duduk di kursi sebelah Bunda.

“Maaf jika mengganggu. Aku hanya ingin menyampaikan buku ini,” Rika menyerahkan sebuah buku kepadaku.

“Kulihat kemampuanmu dalam bahasa Korea semakin baik. Buku ini akan sangat membantumu. Ada beberapa percakapan umum dan kosa kata yang akan bermanfaat untukum,” Rika menjelaskan maksudnya memberikan buku itu.

“Oh.. terimakasih, Rika.”

“Ini Rika yang tadi sama Bunda itu, Yudha,” Bunda menengahi percakapan kami.

“Iya, aku tahu waktu Bunda menyebut namanya. Setahuku hanya ada satu Rika yang sering dipercaya Tuan Park untuk menjadi penerjemah bahasa.”

Aku melirik Rika dan tersenyum. Rika tertunduk, tersenyum malu.

Tanpa kusadari ternyata Bunda Naira memperhatikan kami.

“Kalian ini sepertinya sangat akrab ya. Kalau begitu, Bunda akan semakin tidak mengkhawatirkanmu lagi Yudha, selama ada Rika maka kamu akan baik-baik saja. Setidaknya Rika akan membantumu bertahan di sini,” Bunda menepuk punggung tanganku.

Aku menatap wajah Rika yang terkejut mendengar ucapan Bunda Naira.

“Bukan, Bunda. Itu semua karena kebaikan dan kemurahan hati Rika makanya tidak sekedar menjadi penerjemah untukku tapi juga mengajari bahasa Korea,” jawabku berusaha menetralkan kembali suasana.

Malam itu adalah malam terindahku selama di Seoul. Ada Bunda Naira dan Rika bersamaku, membicarakan banyak hal hingga tak terasa malam semakin larut.


(bersambung...)

Korea, Cuka dan Cinta (2)



Sebelumnya :
Kehidupanku berubah total. Aku tak lagi sekedar anak yatim piatu yag besar di panti asuhan dengan keseharianku yang hanya terbatas di Depok saja. Aku baru tahu kalau dalam tubuhku ternyata bukan darah China yang mengalir melainkan darah Korea. Tak hanya itu, ada seorang bermata sipit yang menemuiku dan meminta untuk ikut bersamanya ke Korea. Ada wasiat ayah kandungku, Yoon Sang Hyun, menantiku di Korea.


Aku benar-benar meninggalkan Depok, duniaku selama ini. Dan hari ini aku menginjakkan kakiku di sebuah tanah asing. Hanya bersama Tuan Park Min Ji, tanpa Bu Santi. Sungguh, itu membuatku takut. Bagaimana jika Tuan Park Min Ji mengajakku bicara dan aku tidak mengerti apa maksudnya? Bagaimana aku harus menjawabnya? Kuputuskan untuk diam dan mengikuti saja kemanapun Tuan Park Min Ji melangkah.

Aku sempat membaca tulisan di bandara itu saat kami turun dari pesawat. Incheon, sepertinya itulah nama bandara ini. Bagus. Meskipun selama ini aku hanya hidup di duniaku yang kecil, Depok. Tapi setidaknya aku sudah melewati tiga bandara hari ini, Soekarno-Hatta, Changi dan Incheon.

Tiba-tiba Tuan Park Min Ji menepuk pundakku. Tersenyum dan menunjuk ke arah pintu. Kurasa, itu arah pintu keluar. Dan di sana banyak yang sudah menanti kami, termasuk seorang wanita berkulit sawo matang khas Indonesia. Aku merasa sedikit lega. Ternyata dugaanku benar. Namanya Rika, seorang penerjemah. Dia bertugas untuk mendampingiku dan membantu berkomunikasi dengan mereka yang kini menyambutku bagai seorang pelayan menyambut majikannya.

“Mereka ini adalah pelayan setia Tuan Yoon Sang Hyun. Mereka berada di sini untuk menjemput Anda,” Rika menjelaskannya padaku.

“Oh… Tolong sampaikan pada mereka, terimakasih,” kataku.

Rika pun segera menyampaikannya dalam bahasa yang masih tak kumengerti hingga kini.
Selanjutnya kami pun melaju ke rumah peninggalan ayahku, kata mereka. Aku sangat terkejut ketika mendapati sebuah bangunan yang lebih mirip seperti hotel dan mereka mengatakan bahwa itu rumah ayahku. Tak hanya itu, rumah itu hanya dihuni oleh para pelayan sejak ayahku meninggal. Aku mulai berfikir, sungguhkah ayahku ini tidak menikah lagi setelah berpisah dari ibu? Apakah benar bahwa dia hidup sendiri di rumah sebesar ini? Lalu apa enaknya tinggal sendirian? Seandainya rumah ini dekat dengan Depok, maka aku akan meminta Bunda Naira dan anak-anak panti lainnya menempatinya. Setidaknya rumah ini lebih layak dan nyaman untuk dihuni anak-anak panti daripada rumah kami di Depok yang sempit itu. Ah, tapi jarak Depok dan Korea sungguh sangat jauh.

Rika terus menerjemahkan setiap perkataan Tuan Park Min Ji yang mengajakku untuk keliling rumah itu. Melelahkan. Pasti. Hingga akhirnya sampailah aku di sebuah ruangan yang kata mereka itulah kamarku. Ruangan itu lebih tepat disebut rumah daripada kamar. Bagaimana tidak, luasnya kira-kira sama dengan salah satu rumah yang ditempati oleh anak-anak panti di Depok. Tapi meskipun demikian, aku tidak menemukan apapun di sana, selain kesunyian dan kesepian.

Akhirnya mereka meninggalkanku sendiri. Mungkin aku terlalu lelah hingga tak sadar sudah terlelap dalam mimpi.
***

Keesokan harinya, Rika dan Tuan Park Min Ji sudah menunggu ku di sebuah ruangan yang tak kalah besarnya dengan kamarku. Bedanya, di sana ada meja besar dan panjang yang penuh dengan berbagai macam makanan. Aku duduk ketika Rika mempersilakan. Lalu aku terdiam. Kupikir, masih ada lagi orang yang ditunggu mengingat banyaknya macam makanan yang tersedia.

“Silakan dimulai,” kata Rika setelah sekian lama aku terdiam.

“Maaf? Apanya yang dimulai?” tanyaku polos.

“Tentu saja sarapannya,” jawabnya.

“Heh? Saya? Bukankah masih harus menunggu yang lain?”

“Tidak ada lagi. Hanya kita bertiga,” Rika tersenyum.

“Eh… Tapi makanan ini terlalu banyak untuk dimakan kita bertiga. Saya rasa masih ada lagi yang ditunggu.”

“Tidak ada lagi yang ditunggu. Memang begini kebiasaan di rumah ini. Selalu ada sekian macam makanan setiap kali waktu makan telah tiba. Berapapun orang yang akan menikmatinya, tapi macamnya selalu sekian banyak,” jelas Rika.

Aku tercekat. Sebanyak ini? Dan hanya kami bertiga? Mubazir sekali, pikirku.
Tapi aku tidak bisa menolak dan tidak bisa berlama-lama menunda. Aku mulai mengambil makanan yang terdekat. Meskipun setelahnya aku menyesal telah mengambilnya. Aku benar-benar tidak tahu cara makannya. Maka aku hanya meletakkannya saja di piringku. Sejenak Rika dan Tuan Park Min Ji menatapku heran.

“Apa tidak ada masakan Indonesia saja? Saya tidak tahu cara makannya,” bisikku pada Rika menghindari kesalahpahaman mereka.

Rika tersenyum maklum. Mungkin dia cukup menyadari asal usulku sebelumnya yang dari daerah pinggiran kota di Depok. Rika menoleh kea rah Tuan Park Min Ji dan menjelaskan sebelum ada kesalahpahaman.

Tuan Park Min Ji tersenyum simpul.

“Ini namanya Gimbab. Nasi gulung dengan isi. Cobalah,” Rika menaruh beberapa makanan di piring dan meletakkannya di hadapanku menggantikan piringku sebelumnya yang hanya kudiamkan.

“Nah, yang ini Samgyetang atau sup ayam ginseng. Kalau yang ini Bulgogi, daging sapi panggang. Oh iya, satu lagi. Ini namanya Maeuntang, sup ikan pedas. Ini adalah menu andalan di restoran ayah Anda. Cobalah,” Rika semangat sekali memperkenalkan beberapa makanan dan menawarkannya padaku.

Aku penasaran dengan sup ikan pedas yang Rika bilang sebagai menu andalan di restoran ayahku. Aku mencicip sedikit… dan tersedak. Pedas dan rasa bumbunya aneh. Mungkin lidahku belum terbiasa saja. Selanjutnya aku memilih menikmati nasi gulung dan sup ayam.

Selesai sarapan, Rika menjelaskan padaku jadwal hari ini. Wah, sepertinya hari ini akan menjadi hari yang sangat berat melihat daftar jadwal yang dibacakan Rika.
Pertama, kami mengunjungi makam ayah di Gangbuk-gu, Seoul.

Kedua, kami menuju restoran kebanggan ayah, Yoon Sang Restaurant. Seperti di rumah, di sana pun semua pegawai sangat menghormatiku setelah Tuan Park Min Ji berbicara. Kurasa, dia mengatakan bahwa aku ini adalah putra dari Yoon Sang Hyun, pemilik restoran ini. Sedikit membuatku tak nyaman. Aku merasa begitu disanjung atas apa yang bukan milikku. Entahlah, semua masih begitu asing bagiku.

“Mereka meminta Anda untuk ke dapur. Ada yang ingin mereka tunjukkan untuk Anda,” Rika mempersilahkan ku untuk menuju dapur.

Di sini, aku lebih terkaget-kaget lagi. Tuan Park Min Ji membuka kulkas dan memberiku sebotol cairan.

“Ini adalah cuka kesemek yang telah disimpan selama 40 tahun. Yang di botol ini hanya sebagian. Sisanya masih ada beberapa botol lagi yang masih terpendam di suatu tempat. Wasiat Tuan Yoon Sang Hyun adalah memintamu untuk meneruskan usahanya di restoran ini, sedangkan beberapa bisnis lainnya diserahkan kepada saudaranya. Buatlah makanan yang lezat dengan cuka ini dan majukan usaha restoran ini,” Rika lancar sekali menerjemahkan semua perkataan Tuan Park Min Ji.

Aku? Memasak? Mengelola restoran? Cuka kesemek? Ah, apa yang bisa kulakukan? Selama di Depok aku tidak pernah menyentuh dapur. Aku selalu sibuk dengan pekerjaan berat kalaupun ada pekerjaan yang ringan maka hanya menunggu warung Mang Hamdan saja jawabannya. Dan kali ini aku dihadapkan dengan sebotol cuka kesemek berusia 40 tahun? Ah, ada-ada saja.
***

Bekerja dengan orang-orang yang tidak kumengerti dan tidak juga mengerti aku benar-benar pusing. Aku bahkan masih tidak mengerti kenapa aku mau-mau saja melaksanakan apa yang diminta tuan Park Min Ji? Kenapa aku mau saja berlatih memasak dengan koki-koki itu? Aku bukan chief dan tidak punya pengalaman memasak tapi kini sehari-hari mayoritas waktuku habis di dapur restoran.

Rika masih selalu mendampingiku. Menjadi jembatan komunikasi antara aku dan orang-orang di sekelilingku.

“Kamu tidak bisa seperti ini terus,” kata Rika suatu ketika.
Beberapa minggu bersama Rika, aku memintanya untuk tidak berbicara formal padaku. Setidaknya hanya dia seseorang yang sama-sama berasal dari Indonesia sepertiku. Sekalipun Rika bekerja di Korea, tapi ingin menganggapnya sebagai temanku layaknya di Indonesia.

“Apa maksudmu? Tidak seharusnya aku berbaur dengan mereka dan memasak masakan yang bahkan aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Aku memang tidak seharusnya berada di sini. Aku selalu merindukan Depok. Rindu Bunda Naira, Mang Hamdan, Mang Sabri, Mang Ujang dan teman-teman panti lainnya. Aku seharusnya…”

Buru-buru Rika memotong pembicaraanku,”bukan itu maksudku. Kamu tidak bisa bergantung padaku terus untuk berkomunikasi dengan mereka. Kamu harus mulai belajar bahasa Korea. Aku akan mengajarimu mulai hari ini. Bagaimana? Kau siap?”

Rika seakan tidak perlu menunggu jawabanku. Dia segera melesat meninggalkanku. Tapi tk lama kemudian dia sudah kembali duduk di sisiku dengan beberapa lembar kertas kosong.

“Aku akan mengajarimu huruf-huruf Korea atau disebut Hangul. Ini untukmu dan ikuti aku,” Rika mengulurkan kertas dan spidol.

Aku menerimanya, pasrah. Rika mulai menunjukkan cara menulis dan cara bacanya. Aku seperti murid yang patuh pada gurunya. Aku mengikuti caranya menulis dan mengulang cara baca huruf-huruf itu.

Hari itu aku memang masih belum bisa berkomunikasi dalam bahasa Korea, tapi setidaknya aku sudah mengenal huruf vocal dan konsonan yang diajarkan Rika. Rika memintaku menyimpan catatan tadi dan mempelajarinya setiap ada kesempatan.

“Sementara, itu dulu. Lumayan untuk pengenalan Hangul. Besok aku akan mengajarimu dengan tata bahasa dan kosa kata yang umum digunakan dalam percakapan sehari-hari. Setidaknya kamu bisa menyapa atau membalas sapaan pekerja di restoran dan pelayan rumahmu.”

Rika tersenyum penuh semangat. Ada binar indah di matanya yang jernih. Darahku terkesiap seketika. Terpesona pada sinar yang terpancar di wajahnya.

“Ayo, sudah waktunya kamu kembali ke dapur,” sapaannya menyadarkanku.

Aku segera berdiri dan melangkah ke dapur. Aku kembali ke meja dapur tempatku berlatih memasak. Aku difokuskan untuk menyiapkan masakan khas istana. Sejak melejitnya drama Dae Jang Geum, masakan istana yang sebelumnya hanya bisa dinikmati oleh para raja dan keluarganya menjadi sangat favorit di berbagai restoran di Seoul ini. Makanan ini terdiri dari berbagai jenis makanan yang memiliki harmonisasi yang memperlihatkan kontras karakter seperti panas dan dingin, pedas dan tawar, keras dan lembut, padat dan cair, serta keseimbangan warna. Masakan kerajaan yang sering dicari adalah Gujeolpan yang terdiri dari sembilan piring dengan sembilan macam masakan.

Semua masakan yang dihasilkan rata-rata menggunakan cuka kesemek peninggalan ayahku. Menurut beberapa pelanggan, rasa masakan kami sangat istimewa, lebih nikmat daripada masakan restoran sejenis. Mungkin benar jika cuka yang telah dipendam dalam tanah selama 40 tahun itulah sebabnya.

Menurut Tuan Park Min Ji, cuka kesemek itu dibuat ketika kakekku masih hidup. Beliau juga yang memilih tempat untuk menguburkan cuka tersebut. Barulah ketika ayahku menjadi penerus restoran ini, cuka itu mulai bisa dipakai dan ayahku pun melakukan hal yang samaseperti kakekku. Cuka yang dibuat ayahku pun disimpan di suatu tempat dimana hanya aku yang boleh tahu. Artinya, aku pun harus meneruskan tradisi itu juga nantinya. Tapi bagaimana caranya? Cuka kesemek? Sekarang saja aku masih tertatih mempelajari masakan-masakan yang begitu banyak jenisnya dan menurut Tuan Park Min Ji belum maksimal. Lalu aku harus mulai membuat cuka kesemek lagi untuk generasi selanjutnya? Aku benar-benar bisa gila.
***

“Hasil masakanmu enak. Sama seperti masakan koki yang lainnya. Tapi menurutku, kamu masih belum memaksimalkan seluruh kemampuanmu. Seandainya kamu melakukannya dengan segenap hati maka aku yakin hasilnya akan sama lezatnya seperti masakan ayah dan kakekmu,” komentar Tuan Park Min Ji ketika mencicipi hasil masakanku.

“Kalau kamu merasa tidak mampu melaksanakan wasiat ayahmu, kamu salah besar. Ingatlah ketika pertama kali kamu menyentuh dapur restoran ini. Kamu mampu membuat Samgyetang yang lezat. Padahal kamu baru sekali mencicipinya dan kamu sendiri bilang belum pernah bersentuhan dengan dapur. Itu artinya, jiwamu ada di sini. Di dapur inilah masa depanmu nanti,” Tuan Park Min Ji menepuk bahuku dan berlalu.

Masa depanku? Dapur? Restoran? Korea? Cuka Kesemek?

Aku bahkan belum menemukan titik terang tentang masa sekarang tapi Tuan Park Min Ji sudah memberiku harapan tentang masa depan? Harapan yang bahkan terlalu asing untuk kuterima dan kuyakini? Aku yang sebelumnya anak panti asuhan, seketika menjadi putra jutawan, pemilik restoran ternama di Seoul. Mungkin Tuhan sedang mempermainkanku, ah tidak, kurasa Dia sedang mengujiku.

Aku sering menghabiskan waktu sendiriku dengan mengunjungi makam ayahku. Seorang diri berbicara pada makam layaknya orang gila.

“Apa saya ini benar-benar anak Anda? Apa Anda tidak salah menunjuk orang? Apa Anda sedang mempermainkan hidup saya? Seandainya Anda tahu sejak 17 tahun lalu bahwa saya adalah anak Anda, kenapa tidak serta merta menjemput dan membesarkan saya? Kenapa membiarkan saya terlantar? Kenapa membiarkan saya tumbuh dengan kekurangan bahkan sekolah saja akhirnya tidak sanggup meneruskannya? Kenapa?”

Tapi sekeras apapun aku bertanya, makam itu tetap saja tidak akan bergeming. Tentu saja, kurasa aku sudah mulai gila karena semua hal aneh ini.

Selanjutnya aku akan menuruni bukit itu dengan lesu menuju mobil yang telah menungguku. Di rumah, aku pun merasa sendirian. Itulah alasanku kenapa lebih suka berlama-lama di restoran. Aku masih saja tak mengerti, bagaimana cara ayahku berfikir. Hidup sendirian di rumah sebesar dan semewah ini, apakah dia tidak pernah kesepian? Atau karena kesepian itulah dia berusaha menyembunyikan segala perasaannya di ruang-ruang kosong itu?
***

“Jadi kamu sudah mengambil keputusan?” tanya Rika lagi.

Aku menggeleng. Keputusan apa yang harus kuambil? Aku bahkan seperti tidak punya pilihan.

“Lalu kenapa kamu masih betah di sini?”

Pertanyaan itu seakan menusuk keras jantungku hingga berdarah, meninggalkan nyeri yang sangat.

Ya, apa yang kulakukan? Jika aku masih bingung mengambil keputusan lalu kenapa aku masih di sini? Sudah dua bulan berlalu dan aku masih tidak tegas mengambil keputusan. Aku masih mengambang antara mengiyakan atau menolak wasiat itu.
Apa mauku sebenarnya? Apa yang membuatku tetap bertahan di sini? Apa yang membuatku berat untuk meninggalkan tempat ini dan kembali ke Depok, bertemu dengan Bunda Naira, Mang Hamdan, Mang Sabri, Mang Ujang dan anak-anak panti lainnya? Apa alasannya?

“Aku tidak tahu, Rika.”

Kami berdua sama-sama diam. Merenung dan menjelajah pikiran serta hati masing-masing. Mungkinkah apa yang dikatakan Tuan Park Min Ji itu benar? Bahwa aku memang ditakdirkan untuk berada di sini? Benarkah bahwa masa depanku ada di sini? Bahwa hidupku akan dimulai dari sini? Benarkah bahwa di sinilah seharusnya aku berada?

“Mungkinkah di sinilah tempatku seharusnya berada, Rika? Mungkinkah aku nyaman karena ada rumah yang kutuju untuk pulang? Atau karena aku punya mereka yang sangat menghargaiku, menerima dan menunggu kedatanganku? Apakah karena aku sekarang menyadari bahwa kini kutahu siapa sebenarnya aku? Bahwa aku adalah separuh Korea dan separuh Bugis? Atau karena aku melihat foto ayah dan ibuku yang tersimpan rapi di kamar ayah? Setidaknya aku merasa ada yang menyayangiku dari jauh selama ini? Atau sekarang aku sudah berubah menjadi orang jahat, egois dan gelap mata karena materi?”
Rika menatapku dengan tatapan yang sulit untuk kuartikan. Ada iba, curiga dan bingung bergantian menghiasi wajah cantiknya.

“Mungkin kamu masih bingung saat ini. Pikirkan sekali lagi,” pinta Rika.

Ya, aku mungkin masih bingung. Bingung dengan diriku sendiri. Bingung dengan inginku sendiri.


(bersambung...)


Korea, Cuka dan Cinta (1)



Hari ini bagi orang lain mungkin tidak ada bedanya dengan hari-hari lainnya. Tapi bagiku hari ini adalah hari yang aneh. Sangat aneh. Dimana semua yang baru saja terjadi seakan seperti mimpi. Aku terlalu bingung mengekspresikan apa yang ada di hatiku saat ini. Entah bagaimana seakan bumi berputar lebih cepat dari biasanya. Aku benar-benar pusing dengan apa yang baru saja kualami.

Lelaki berkulit putih dan bermata sipit di hadapanku terdiam, menatapku lama. Mungkin dia mencoba untuk memahamiku yang benar-benar terkejut dengan apa yang baru saja kualami. Sedangkan perempuan berusia 30 tahunan dengan kulit sawo matang di sampingnya hanya membisu. Tentu saja mereka bukan sepasang suami istri. Bunda Naira menjelaskan padaku sebelumnya bahwa laki-laki itu membawa pesan untukku dari ayah kandungku, sedangkan perempuan di sampingnya adalah seseorang yang bertugas menjadi jembatan komunikasi antara kami. Tentu saja, karena lelaki tersebut kentara sekali bukan orang Indonesia.

“Tuan ini menjelaskan bahwa beliau menyampaikan pesan terakhir dari ayah kandungmu. Beliau ingin mengajakmu ke Korea untuk bisa melaksanakan wasiat ayahmu,” jelas wanita itu.

Aku hampir gila menerima kenyataan bahwa ternyata aku bukan keturunan China seperti nama yang diberikan padaku oleh orang-orang.

Bunda Naira, pengasuh di panti asuhan tempat ku dibesarkan pernah menceritakan kepadaku tentang masa laluku. Ibuku meninggal setelah melahirkanku. Saat itu aku belum diberi nama. Akhirnya, Bunda Naira memutuskan untuk memberiku nama Bhakti Yudha seperti nama rumah sakit tempat aku dilahirkan. Bunda Naira yang kebetulan sedang menemui seorang temannya yang bekerja sebagai seorang dokter di RS Bhakti Yudha mendengar tentang kasusku. Akhirnya, Bunda Naira memutuskan untuk membawaku ke panti asuhan Al Amanah tempat dimana dia memang mengasuh beberapa anak yatim piatu lainnya.

Aku tumbuh berbeda dengan teman-temanku di panti asuhan. Kulitku lebih putih dan mataku lebih sipit. Tak heran jika kemudian mereka memanggilku “Cina”. Dan sejak saat itu, aku bahkan hampir lupa bahwa aku punya nama asli Bhakti Yudha. Hanya Bunda Naira yang tetap memanggilku Yudha.

Kini, setelah sekian lama aku mulai menerima panggilan Cina itu. Baru kuketahui bahwa aku bukan berdarah China, tapi Korea. Jadi, ibuku Bugis dan ayahku Korea? Sungguh memusingkan. Meskipun aku bahkan tidak mengenal ibuku selain nisannya yang kemudian rutin kukunjungi tiap bulan, tapi penjelasan Bunda Naira yang menjelaskan bahwa ibuku memiliki ciri-ciri keturunan Bugis. Hanya itu dasarku. Sekarang, baru kuketahui bahwa ayahku berdarah Korea murni.

Satu hal yang kemudian menyesakkan jiwaku adalah ketika lelaki di hadapanku menceritakan bahwa ayahku mengetahui keberadaanku sejak 17 tahun lalu, artinya sejak umurku menginjak setahun. Tapi entah kenapa dia membiarkanku tumbuh di tempat seperti ini sementara dirinya berbahagia di Korea sana.

“Kamu harus ikut dengannya ke Korea. Karena wasiat itu ada di sana,” wanita itu masih saja menerjemahkan kata-kata yang terucap dari lisan lelaki itu.

Aku masih terdiam. Aku masih belum bisa menjawab apapun. Ikut dengannya? Ke Korea? Bersama orang asing ke negeri asing? Apa jadinya aku nanti? Sementara selama di Depok ini saja aku tidak pernah kemana-mana. Kerjaanku sejak tidak lagi sanggup melanjutkan sekolah, hanya menunggu warung Mang Hamdan dan sesekali ikut jualan Siomay Mang Sabri. Atau hanya membantu Mang Ujang belanja sayuran di pasar pagi-pagi buta sebelum selanjutnya Mang Ujang keliling kompleks dengan teriakan khasnya, “Yuuuuurr… Sayuuuuuurrrr…!”

Dan besok aku harus ikut dengannye ke Korea? Aku bahkan tidak mengerti apa yang sedari tadi dikatakannya. Jika bukan karena keberadaan wanita di sampingnya itu, mungkin aku sama sekali tidak akan mengerti maksud kedatangannya.

Setelah keduanya berpamitan, Bunda Naira duduk di sampingku. Lembut membelai rambutku yang kusut. Entahlah, aku seakan tidak pernah dewasa di mata Bunda Naira. Bunda Naira selalu menganggapku sebagai Yudha kecil sekalipun usiaku kini telah 18 tahun.

“Bunda tahu perasaanmu, Yudha. Kamu pasti bingung dan terkejut dengan apa yang baru saja kamu alami. Tapi menurut hati Bunda, lelaki tadi menyampaikan kebenaran. Tidak ada sebersit pun tanda kebohongan di matanya. Coba kamu pikirkan lagi, jangan sampai kamu menyesal kemudian,” Bunda Naira seakan tahu semua yang sedang berkecamuk di dadaku.

Semua yang terjadi hari ini sungguh berhasil membuatku berjaga semalaman. Mata ini seakan enggan terpejam dan badan ini seakan tidak merasakan lelah meski pagi sebelum tamu “aneh” itu datang aku telah melakukan banyak pekerjaan berat seperti biasanya.
***

“Eotteohge?” tanya lelaki itu.

Sungguh, aku sama sekali tidak tahu apa maksud perkataanya. Aku benar-benar bisa gila jika satu jam saja aku harus berbicara dengan lelaki itu seorang diri. Beruntung, wanita di sampingnya segera menerjemahkan maksud perkataanya.

“Bagaimana?”

“Apa boleh buat. Saya akan ikut,” jawabku singkat.

Wanita itu segera menerjemahkan perkataanku. Tak berselang lama, ada senyum tersungging di bibirnya dan berbicara kembali dengan bahasa aliennya.

“Kalau begitu semua akan segera dipersiapkan. Persiapkan diri saja. Saya akan datang kembali ke sini jika semua sudah siap,” wanita itu menerjemahkan.

Aku hanya mengangguk.

Setidaknya hari itu semua telah selesai. Tidak akan ada lagi bahasa aneh yang kudengar.

Tapi baru kusadari pesannya tadi. Persiapkan diri? Persiapan macam apa yang harus kulakukan? Aku bahkan masih tidak mengerti, apa kira-kira yang akan terjadi padaku di Korea nanti? Sepenting apa wasiat itu hingga lelaki itu harus datang menjemputku? Sedemikian pentingnya kah keberadaanku di sana?

Begitu banyak pertanyaan yang kemudian menghujaniku tapi tak satupun yang mampu kujawab sekalipun itu sekedar untuk menenangkan hati.

“Kelak kamu akan sering berhungan dengannya. Kenapa kamu tidak mencoba untuk menyebut namanya?” Bunda Naira menatapku lembut.

Aku masih terpaku menatap kartu nama yang tampak mewah itu di tanganku. Nama yang aneh dan sekaligus sulit untuk diucapkan.

P-A-R-K-M-I-N-J-I

Itu nama yang dituliskan wanita yang kemarin mendampingi obrolan kami. Nama yang sebenarnya tidak bisa kubaca, hurufnya aneh, seperti kumpulan tanda garis, kotak dan entahlah aku tidak tahu apa sebutannya. Ah, mungkin memang itulah bacaan dari huruf aneh yang kubaca itu, pikirku.

Lalu setelah aku tahu namanya, bagaimana aku harus memanggilnya? Park Min Ji? Ah, masih saja otakku menerimanya sebagai sesuatu yang aneh sehingga lidahku pun sulit untuk menyebut namanya dengan fasih.

Sementara Bunda Naira hanya tersenyum melihatku yang terlihat bodoh, mengulang-ulang nama itu dengan berbagai intonasi. Aku masih tidak tahu cara memanggilnya yang benar. Sudahlah, yang penting aku sudah tahu namanya.
***

Dua minggu setelahnya, Tuan Park Min Ji itu datang lagi. Memberiku beberapa dokumen yang beberapa hari lalu sudah kutandatangani.

“Ini passport dan dokumen-dokumen yang kamu butuhkan nanti selama di Korea. Ini dari Tuan Park Min Ji. Katanya ini adalah silsilah keluarga ayahmu. Saya sudah menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia. Pelajarilah dulu sebelum kamu terbang ke Korea. Tiketnya sementara dibawa Tuan Park Min Ji. Tiga hari lagi, kami akan menjemputmu untuk ke bandara. Jam 7 kami sudah sampai di sini. Jadi sebisa mungkin sebelum itu, pastikan semua sudah siap dan dokumen-dokumen ini kamu bawa,” wanita yang kemudian aku mampu mengingat namanya, Bu Santi itu menjelaskan panjang lebar.
Aku hanya mengangguk dan menerima semua dokumen tersebut. Mereka segera berlalu meninggalkan panti.

Aku mencoba membuka buku yang menurut Bu Santi adalah silsilah keluarga ayah kandungku. Dan benar saja, begitu kubuka halaman pertama yang berisi foto keluarga dengan banyak sekali anggota membuatku pusing. Apalagi aku menganggap bahwa wajah mereka semua sama, atau mungkin nyaris sama. Aku memutuskan untuk menutupnya kembali.
Tapi rasa penasaran yang begitu besar memaksaku untuk membukanya kembali, melewati halaman berisi foto-foto itu dan membaca sebuah cerita perjalanan hidup ayahku. Yoon Sang Hyun, itulah nama ayahku. Ah, betapa rumitnya hidupku. Begitu banyak hal aneh yang terkait erat denganku. Belum lagi sebuah restoran yang menjadi kebanggaan ayahku, Yoon Sang Restaurant. Aku masih tak mengerti apa arti dari nama yang dipilih ayahku. Terdengar aneh memang, tapi mungkin seperti anehnya nama ayahku, nama restoran itu pun memiliki makna yang istimewa bagi si pemberi nama. Entahlah. Aku mulai pusing setelah semakin banyak nama-nama aneh bermunculan di buku kisah perjalanan ayahku. Aku memutuskan untuk segera menutupnya dan kembali bekerja di warung Mang Hamdan.


(bersambung...)


(Ternspirasi buku Madre karya Dee, drama korea Baker King Kim Tak Goo, dan drama korea Jewel In The Palace - Dae Jang Geum)

Jumat, 16 September 2011

Tentan Hujan

Dan aku selalu suka mencium harumnya air langit yg mengguyur gersangnya bumi. Keharuman yg penuh dengan kerinduan. Rindu akan kesejukan dan kesegaran.
Hanya masih tak kumengerti apa kata yg hendak disampaikan angin dalam bahasanya yg mengalun kasar...

Langit yang terlalu gelap, guntur yang menggelegar, serta angin yang bertiup terlalu kencang...
Sangat menakutkan, bukan?
Tapi tetap tak mampu membuatku melupakan rasa sukaku pada hujan...
Pada keharumannya yang begitu menyeruak ketika ia bertemu dengan pelukan lembut pada bumi...
Pada setiap bagiannya yang mampu menarik kuat kembali pada setiap kenangan masa lalu...

Dan derasnya sudah berlalu. Tapi rintiknya masih setia mengalun merdu, menemaniku melalui malam dan mengingatkanku tuk terus mendekat padaMu...
Dan rintiknya menghilang. Terdiam, menyisakan kesunyian. Malam yang kelam, mungkin tak kan berkawan bulan ataupun bintang. Hanya kegelapan.

Dan pada setiap bulir hujan, aku merangkai rindu yang terpendam...
Rindu pada seseorang yang entah siapa dan dimana?
Rindu pada satu atau beberapa orang sekaligus?
Rindu yang seperti apa?
Ah, entahlah...

Hujan, entah bagaimana caranya selalu mampu menarikku jatuh kembali ke jurang. Sebuah jurang kerinduan yang terkadang terlalu menakutkan.

Terkadang, aku takut tak menemukan jalan pulang. Atau terlupa tentang kata 'pulang' jika aku telah merasa nyaman berpeluk dengan kerinduan.

Dan hujan, selalu mampu menghentakkanku kembali pada beberapa siluet kenangan masa lalu...
Entah itu kenangan yang indah mewarnai hidup...
Atau kenangan kelam yang membuatku tergugu...

Ah, hujan...
Ada rasa suka dan takut berpadu jadi satu ketika bertemu denganmu...

Takut, karena gelapnya langit, kerasnya guntur dan kencangnya angin
Seakan menandakan kemarahan dan kemurkaanNya...

Suka, karena aroma khasmu yang menyejukkan kembali bumi yang gersang
dan lagi, bukankah pelangi akan hadir setelahmu?

Pelangi indah yang sangat kami suka untuk menatapnya bersama, menghiasi langit biru atau pun kelabu
Tapi cantiknya pelangi tak akan pernah pudar karenanya...

Dan hujan...
Aku akan selalu menantimu...


(menuliskan kisah hujan kemarin malam
Sepulang mengajar
Di sudut kamar yang temaram :) )