Assalamu'alaykum...

Selamat Datang.... ^_^

Selasa, 30 Agustus 2011

Lebaran Yang Tertunda


Heboh masalah perbedaan penentuan tanggal 1 Syawal 1432 H menuai banyak tanggapan dari masyarakat. Terlebih ketika tadi malam diumumkan hasil sidang isbat tentang penentuan 1 Syawal 1432 H yang ternyata diputuskan jatuh pada hari Rabu, 31 Agustus 2011. Sementara, sebagian masyarakat Indonesia sudah ramai melakukan pawai takbiran. Alhasil, tak sedikit yang kemudian balik kanan dan bubar jalan. Ada juga yang sudah menunggu di masjid dan akhirnya memutuskan untuk sholat tarawih.

Beberapa status di jejaring sosial, baik Facebook atau Twitter ramai membicarakan penundaan lebaran ini. Tak sedikit yang sudah terlanjur memasak menu lebaran dan berujung dialihkan posnya sebagai menu sahur terakhir Ramadhan tahun ini. Tak sedikit juga yang mengeluh sudah jauh-jauh datang ke Monas untuk takbiran dan akhirnya kembali pulang atau malah sekedar kongkow-kongkow di sekitar Monas.

Lebaran yang tertunda merupakan topik yang hangat saat ini. Di lingkungan saya misalnya, tadi malam sebagian sudah ramai melakukan pawai takbiran. Lucunya pagi ini saling bersahutan antara gema takbir dan panggilan untuk menunaikan makan sahur. Dan pagi ini, jama'ah yang mendirikan sholat ied pun masih sangat sedikit, sepi.

Apapun itu, sebagai umat muslim, kita harus menjunjung tinggi toleransi. Menghargai perbedaan pendapatn itu harus. Jangan sampai hanya karena perbedaan penentuan 1 Syawal, lalu dua kubu besar tersebut kembali bermusuhan. Naudzubillah...
Kita semua adalah ummat Rasulullah Saw dan hamba Allah Swt. Penggunaan metode pun mengambil andil cukup besar untuk menentukan tanggal 1 Syawal ini. Apakah menggunakan rukyat atau hisab? Keduanya memungkinkan munculnya perbedaan.

Beberapa artikel di bawah ini sengaja saya cuplik semoga bisa menjadi bahan pertimbangan dan renungan kita bersama atas perbedaan yang ada.

Enam Sistem Sudah Menetapkan Hilal
sumber : VIVAnews

Kementerian Agama akan menetapkan hari raya 1 Syawal 1432 Hijriah, malam ini melalui sidang Isbath yang akan digelar sekitar pukul 18.45 WIB. Hingga saat ini sejumlah laporan mengenai pemantauan hasil hisab terus diterima Kementerian Agama.

Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Ahmad Jauhari, menjelaskan bahwa pemantauan hilal itu dibagi dua. Sejumlah di 80 titik dipantau Kementerian Agama, dan 15 titik lainnya dipantau Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Dijelaskan Jauhari, dari hasil penghitungan 22 sistem istiqmal dan tinggi hilal, hanya ada enam sistem yang memastikan 1 Syawal akan jatuh pada hari Selasa, atau yang menyatakan kalau tinggi hilal sudah di atas 2 derajat.


Ini sistem perhitungan Ijtima dan tinggi hilal awal bulan syawal 1432.


A. Sistem perhitungan ijtima yang sudah melebihi dua derajat.

1. Sistem Sulam an-Nayyirain tinggi hilal 03 derajat 53' 30'' awal bulan selasa tanggal 30/08/2011.

2. Sistem Fath al-Rauf al-Mannaan tinggi hilal 3 derajat 30' 00" awal bulan selasa tanggal 30/08/2011.

3. Sistem Qawaid al Falakiyah tinggi hilal 2 derajat 49' 00", awal bulan selasa 30/08/2011.

4. Sistem Mathla al-Sain tinggi hilal 2 derajat 10'10" , awal bulan selasa 30/08/2011.

5. Sistem Nurul Anwar tinggi hilal 3 derajat 4' 00" , awal bulan selasa tanggal 30/08/2011.

6. Sistem Astro Info tinggi hilal 2 derajat 23' 00" , awal bulan selasa tanggal 30/08/2011.

B. Sistem perhitungan ijtima yang kurang dari dua derajat.

1. Sistem Manahijul Hamidiyah tinggi hilal 1 derajat 55' awal bulan rabu, tanggal 31/08/2011.

2. Sistem Badiah Mitsal tinggi hilal 01 derajat 55' 08", awal bulan rabu.

3. Jean Meeus tinggi hilal 1 derajat 54', awal bulan rabu..

4. Al Falakiyah tinggi hilal 1 derajat 49' 38" , awal bulan rabu

5. New Comb tinggi hilal 1 derajat 56' 37" , awal bulan rabu.

6. Ephemeris tinggi hilal 1 derajat 33' 16" , awal bulan rabu.

7. Khulashatul Wafiah tinggil hilal 1 derajat 29' 30" , awal bulan rabu.

8. Almanak Nautika , tinggi hilal 1 derajat 55' 15", awal bulan rabu.

9. Ahilla tinggil hilal 1 derajat 53' 02" , awal bulan rabu.

10. RHI tinggi hilal 1 derajat 18' 00" , awal bulan rabu.

11. Irsyadul Murid tinggi hilal 1 derajat 51' 24 " , awal bulan rabu.

12. Lunar Fase Pro VI.77 tinggi hilal 1 derajat 36' 16" , awal bulan rabu.

13. Mawaaqit tinggi hilal 1 derajat 31' 00" awal bulan rabu.

14. Hisab Hakiki tinggi hilal 1 derajat 49' 19" awal bulan rabu

15. Ascript tinggi hilal 1 derajat 10' 23" awal bulan rabu.

Kementerian Agama akan menentukan dengan cara menggunakan rukyah atau dengan cara melihat langsung dengan mata telanjang. Ini berarti minimal tinggi hilal harus berada pada posisi lebih dari 2 derajat.

Keputusan malam ini akan menentukan bahwa akhir Ramadan. Apakah akan berakhir malam ini atau bisa jadi akan disempurnakan 30 hari, atau disebut istiqmal, dan menetapkan hari Idul Fitri jatuh pada Rabu, 31 Agustus 2011.

Meskipun ada kemungkinan perbedaan penentuan hari raya, keputusan pemerintah diharapkan akan menjadi patokan bersama bagi warga Muslim. Walau demikian, sebagaimana yang terjadi sebelumnya, penentuan hari raya yang berbeda tidak menjadi masalah.


Ber’Idul Fithri Dengan Ru`yatul Hilal Berarti Mengikuti Sunnah Rasulullah
sumber : http://jalansunnah.wordpress.com

Hukum bersandar pada Hisab Falaki Dalam Penentuan Ramadhan dan ‘Idul Fithri [1]

Asy-Syaikh ‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah

Ramadhan merupakan ibadah yang berulang setiap tahun. Merupakan bulan Al-Qur`an, bulan yang benuh barakah. Namun menjelang datangnya bulan Ramadhan, “polemik tahunan” antara ru`yah - hisab untuk penentuan awal Ramadhan dan ‘Idul Fithri kembali menghangat. Herannya, para ahli hisab makin tahun makin arogan. Jauh-jauh hari mereka sudah berani mengumumkan hasil hisabnya, bahwa Ramadhan dan ‘Idul Fithri akan jatuh pada hari dan tanggal sekian. Bahkan ahli hisab mulai berani menghujat ru`yah yang merupakan satu-satunya sistem yang ditetapkan oleh syari’at Islam. Termasuk di negeri ini ada sebagian ormas Islam yang punya kebiasaan jauh-jauh hari mengumumkan kapan Ramadhan, ‘Idul Fithri, dan ‘Idul Adha berdasarkan Hisab Falaki (!!). Tentu saja, suasana perpecahan langsung terasa, menodai suasana kebersamaan dan kekhusyu’an ibadah kaum muslimin.

Bagaimana sebenarnya hukum penggunaan Hisab Falaki untuk penentuan Ramadhan dan ‘Idul Fitri, serta ‘Idul Adh-ha? Berikut penjelasan seorang ‘ulama terkemuka berkaliber international. Seorang ‘ulama besar yang senantiasa dinanti dan dicari fatwa-fatwanya, serta sangat dibutuhkan oleh umat bimbingan dan arahannya. Beliau adalah Asy-Syaikh Al-’Allamah Al-Muhaddits ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah. Semoga bermanfaat.

________________

الحمد الله رب العالمين، والصلاة والسلام على عبد الله ورسوله محمد وعلى آله وأصحابه والتابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد:

Telah banyak pembicaraan tentang penggunaan Hisab Falaki untuk menentukan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, dan juga penentuan hari-hari raya (’ied). Maka aku memandang perlunya untuk menjelaskan hukum permasalahan tersebut kepada umat manusia di negeri ini dan juga negeri yang lain, agar mereka benar-benar di atas bashirah (ilmu) dalam menjalankan ibadahnya kepada Rabb mereka.

Maka aku katakan -wabillahittaufiq-:

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tengan mengkaitkan dengan Al-Hilal beberapa hukum yang banyak, seperti puasa (shaum), haji, hari raya (’ied), masa-masa ‘iddah, ila` (sumpah), dan yang lainnya. Karena Al-Hilal adalah sesuatu yang bisa disaksikan oleh indera penglihatan/mata, dan pengetahuan yang paling meyakinkan adalah sesuatu yang bisa disaksikan oleh mata.

Juga karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah menjadikan hukum permasalahan hilal ini terkait dengan ru’yah saja, karena ru’yah (yakni ru’yatul hilal) merupakan perkara alami yang sangat jelas, yang keumuman manusia bisa melakukannya. Sehingga tidak terjadi kerancuan bagi seorang pun dalam urusan agamanya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :

« إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب، الشهر هكذا وهكذا وهكذا . يعني مرة تسعة وعشرين ومرة ثلاثين »

Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi, tidak menulis dan tidak pula menghitung. Satu bulan itu demikian, demikian, dan demikian, yakni terkadang 29 (hari) dan terkadang 30 (hari) (HR. Al-Bukhari 1913 dan Muslim 1080)

Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam juga bersabda :

« لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه ، فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين »

Janganlah kalian bershaum (Ramadhan) sampai kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka (ber’idul fithri) sampai kalin melihat hilal. Jika ada awan yang menghalangi kalian (dari melihat hilal), maka sempurnakanlah bilangan (jumlah hari dalam sebulan) menjadi 30. (HR. Al-Bukhari 1906, 1907 dan Muslim 1080)

Dari sini menjadi jelaslah bahwa pedoman untuk menetapkan waktu (pelaksanaan) Shaum (Ramadhan), berbuka (’Idul Fithri), dan bulan-bulan yang lain adalah dengan ru’yah atau ikmal (menyempurnakan) bilangan hari (menjadi 30). Semata-mata lahirnya Bulan baru secara syar’i tidaklah teranggap sebagai patokan untuk menetapkan masuk dan berakhirnya bulan qamariyah. Ini berdasarkan kesepakatan (Ijma’) para ‘ulama yang mu’tabar, selama tidak berhasil ru`yatul hilal secara syar’i. Ini semua adalah kaitannya dengan penetapan waktu pelaksanaan ibadah. Barangsiapa dari kalangan orang-orang sekarang yang menyelisihi perkara tersebut, maka dia telah didahului oleh ijma’/kesepakatan (para ‘ulama) terdahulu, dan pendapatnya tersebut tertolak. Karena tidak berhak seorang pun berbicara (suatu permasalahan tertentu) sementara di sana sudah ada sunnah (hadits/ketetapan) Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam dan juga sudah ada ijma’ para ‘ulama salaf.

Adapun Hisab (perhitungan) peredaran Matahari dan Bulan, maka itu tidak bisa dijadikan patokan/penentu dalam permasalahan ini, disebabkan alasan yang telah kami jelaskan barusan, dan juga disebabkan beberapa perkara sebagai berikut :

a. Sesugguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan pelaksanaan shaum (Ramadhan) berdasarkan ru`yatul hilal, dan melaksanakan ‘Idul Fithri juga berdasarkan ru`yatul hilal, dalam sabda beliau :

« صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته »

Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’Idul Fithrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilal. (HR. Muslim 1080 dan An-Nasa`i 2124)

Beliau juga membatasi perkara tersebut (Ramadhan dan ‘Idul Fithri) hanya berdasarkan ru`yatul hilal dalam sabdanya :

« لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه »

Janganlah kalian melaksanakan shaum (Ramadhan) sampai kalian berhasil melihat hilal, dan janganlah kalian melaksanakan ‘Idul Fithri sampai kalian berhasil melihatnya. (HR. Al-Bukhari 1773 dan Muslim 1795)

Beliau memerintahkan kaum muslimin jika terdapat penghalang (sehingga hilal tidak berhasil dilihat/diru`yah) pada malam ke 30, agar menyempurnakan bilangan jumlah hari dalam bulan tersebut menjadi 30, dan beliau tidak memerintahkan untuk merujuk kepada para ahli hisab. Kalau seandainya perkataan mereka (ahli hisab) itu merupakan satu-satunya landasan (hukum untuk penentuan Ramadhan – ‘Idul Fithri) atau landasan (hukum) lain (alternatif) di samping ru’yah dalam menetapkan bulan tertentu, maka beliau pasti akan menjelaskannya. Maka tatkala tidak ternukil dari Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam hal yang demikian itu, bahkan telah ternukil dari beliau kebalikannya, maka ini menunjukkan bahwasanya tidaklah teranggap secara syar’i segala sesuatu selain ru’yah atau ikmal (penyempurnaan 30 hari) dalam menentukan bulan (qamariyyah). Ini adalah syari’at yang senantiasa terus berlaku sampai hari kiamat. Allah ta’ala berfirman

وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

Dan tidaklah Rabbmu lupa. (Maryam: 64)

Anggapan yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ru’yah dalam hadits tersebut adalah ru`yah dengan ilmu atau perkiraan kuat akan wujudul hilal, [2] atau imkanur ru`yah, [3] dan bukan bermakna ibadah dengan pelaksanaan ru`yah itu sendiri, maka anggapan ini adalah anggapan yang tertolak. Karena kata “ru’yah” dalam hadits tersebut hanya mengenai satu obyek saja, sehingga yang dimaksud dengannya tidak lain adalah ru’yah bashariyah (ru`yah dengan indera penglihatan/mata), bukan ru’yah ilmiyah (ru`yah dengan ilmu hisab). Juga karena para shahabat Nabi memahami bahwasanya kata “ru`yah” dalam hadits tersebut bermakna ru`yah dengan mata kepala, sementara mereka adalah orang-orang yang paling mengerti tentang Bahasa ‘Arab dan paling mengerti tentang maksud syari’ah ini daripada orang-orang generasi setelahnya.

Demikianlah pula, berlangsungnya praktek amalan tersebut (ru`yatul hilal) pada zaman Nabi dan zaman shahabat. Mereka sama sekali tidak menyerahkan permasalahan penetapan waktu tersebut kepada para ahli hisab.

Tidak benar pula sebuah pendapat yang mengatakan bahwasanya ketika Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda

« فإن غم عليكم فاقدروا له »

Jika terhalangi oleh kalian awan, maka tentukanlah untuknya. (HR. Al-Bukhari 1767 dan Muslim 1799)

Beliau memaksudkan dengannya adalah perintah kepada kita agar memperkirakan posisi-posisi Bulan, supaya kita dapat mengetahui berdasarkan Hisab kapan awal masuk dan berakhirnya bulan (qamariyah).

(Pendapat tersebut tidak benar) karena kalimat riwayat tersebut telah ditafsirkan oleh riwayat :

« فاقدروا له ثلاثين »

Tentukanlah menjadi 30 hari [4] . (HR. Muslim 1796)

dan yang semakna dengannya.

Anehnya, bersamaan dengan itu, orang-orang yang menyerukan kepada penyatuan awal masuknya bulan, mereka bersandar kepada Hisab posisi-posisi Bulan baik dalam cuaca cerah maupun mendung, padahal dalam hadits itu sendiri hanya membatasi “penentuan”, yaitu ketika langit dalam keadaan mendung. [5]

b. Sesungguhnya sandaran penetapan bulan qamariyah dengan cara ru`yatul hilal adalah telah sesuai dengan maksud dan tujuan dari Syari’at Islamiyyah yang mudah. Karena ru’yatul hilal (melihat hilal) merupakan suatu perkara umum yang memudahkan kebanyakan manusia, baik dari kalangan orang-orang yang awam maupun orang-orang yang khusus, baik mereka yang hidup di pedalaman padang pasir maupun di daerah perkotaan. Berbeda halnya kalau seandainya syari’at menyandarkan hukum penetapan waktu tersebut dengan Hisab. Maka hal tersebut hanya akan menimbulkan kesulitan dan tidak sesuai (bertentangan) dengan maksud dan tujuan Syari’at Islamiyyah. Karena mayoritas umat ini, mereka tidak mengerti tentang ilmu Hisab.

Klaim yang menyatakan bahwa sifat ummi (tidak mengerti) Hisab Astronomis telah sirna dari umat ini, merupakan klaim yang tidak bisa diterima. Kalaupun seandainya klaim tersebut bisa diterima, maka tetaplah yang demikian itu tidak bisa mengubah hukum Allah. Karena penetapan syari’at ini bersifat umum untuk umat (yang berlaku) di segenap masa/zaman.

c. Bahwasanya para ‘ulama umat ini pada masa awal-awal Islam dahulu, mereka semua telah sepakat tentang penggunaan cara ru’yah ini untuk penetapan bulan-bulan qamariyah, tidak dengan menggunakan Hisab (perhitungan). Tidak pernah diketahui ada salah seorang dari mereka (para ‘ulama pada awal Islam) menggunakan sistem Hisab dalam penetapan bulan-bulan qamariyah, baik ketika langit terlihat mendung dan yang semacamnya, terlebih lagi kalau langit cerah, mereka (para ulama tersebut) sama sekali tidak memakai cara Hisab.

d. Penentuan jeda waktu (antara tenggelamnya Matahari dan Bulan di ufuk barat) sehingga dengannya memungkinkan terlihatnya hilal setelah terbenamnya Matahari, jika tidak ada suatu penghalang, merupakan bagian dari perkara-perkara yang bersifat ijtihadiyah (tidak pasti) yang para tokoh ahli hisab sendiri telah bersilang pendapat dalam menentukannya. Demikian pula dalam menentukan faktor penghalang (terlihatnya hilal). Maka bersandar pada Hisab Falaki pun dalam penentuan waktu-waktu ibadah tidak bisa merealisasikan persatuan yang mereka dengung-dengungkan. Oleh karena itu datanglah syari’at ini yang memberikan ketetapan dengan cara ru’yatul hilal saja tidak dengan cara Hisab, sebagai rahmat bagi umat dan menutup segala perselisihan, serta untuk mengembalikan umat ini kepada perkara yang bisa diketahui oleh semua lapisan di manapun mereka berada.

Dan hendaklah menjadi perhatian, bahwasanya perbedaan mathla’ termasuk dari perkara-perkara yang terdapat padanya perselisihan pendapat di kalangan para ‘ulama. Hai’ah Kibarul ‘Ulama (Majelis Tinggi ‘Ulama Besar Kerajaan Saudi Arabia) telah mempelajari hal ini di dalam salah satu Daurah (pertemuan rutin) yang dilaksanakan beberapa waktu yang lalu, dan mereka telah mengambil sebuah keputusan yang telah disepakati oleh mayoritas, yaitu :

Sungguhnya pendapat yang paling kuat dalam hal ini adalah pendapat yang mengatakan bahwasanya di setiap negeri dapat melakukan ru’yatul hilal sendiri, serta wajib atas mereka untuk mengembalikan permasalahan tersebut kepada para ‘ulama. Ini sebagai bentuk pengamalan hadits Rasulullah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam shahihnya dari Kuraib dari shahabat Ibnu Abbas.

عن كريب أن أم الفضل بنت الحارث بعثته إلى معاوية في الشام . قال: فقدمت الشام فقضيت حاجتها، واستهل علي رمضان وأنا بالشام ، فرأيت الهلال ليلة الجمعة ، ثم قدمت المدينة آخر الشهر، فسألني عبد الله بن عباس، ثم ذكر الهلال فقال : متى رأيتم الهلال ؟ فقلت : رأيناه ليلة الجمعة. فقال: أنت رأيته. فقلت: نعم، ورآه الناس وصاموا وصام معاوية ، فقال: لكنا رأيناه ليلة السبت فلا نزال نصوم حتى نكمل الثلاثين أو نراه . فقلت: أولا تكتفي برؤية معاوية ؟ فقال: لا، هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم

Dari Kuraib bahwasanya Ummul Fadhl bintu Al-Harits telah mengutusnya untuk menghadap Mu’awiyah di Syam. Kuraib berkata : Sampailah aku di negeri Syam, dan aku selesaikan keperluan-keperluannya. Hingga terlihatlah hilal Ramadhan sementara aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku kembali ke kota Madinah pada akhir bulan. Maka bertanyalah ‘Abdullah bin ‘Abbas kepadaku, hingga kemudian dia menyebutkan tentang hilal. Ibnu ‘Abbas bertanya : “Kapan kalian melihat hilal?” Aku (Kuraib) menjawab : “Kami melihatnya pada malam Jum’at.” Kemudian dia (Ibnu Abbas) bertanya lagi : “engkau sendiri melihatnya?” Aku katakan: “Ya, dan penduduk Syam juga melihatnya. Maka merekapun melaksanakan shaum (berdasarkan ru`yah tersebut), demikian juga Mu’awiyah juga melaksanakan shaum (berdasarkan ru`yah tersebut). Ibnu ‘Abbas kemudian berkata : “Namun kami di sini melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus bershaum hingga kami sempurnakan 30 hari atau kami melihat hilal sebelumnya.” Aku (Kuraib) katakan : “Apakah engkau tidak mencukupkan (untuk mengikuti hasil) ru’yah yang dilakukan Mu’awiyah?” Maka Ibnu Abbas berkata : “Tidak, demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam memerintahkan kepada kita.” (HR. Muslim 1087)

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya ru’yatul hilal yang teranggap (bisa dijadikan patokan) adalah ru`yatul hilal negeri Makkah saja, maka pernyataan seperti ini adalah tidak memiliki sumber yang jelas dan tidak memiliki dalil atasnya. Pernyataan tersebut memberikan suatu konsekuensi bahwasanya tidak wajib berpuasa jika di daerah Makkah belum terlihat hilal walaupun di tempat lain telah terlihat hilal.

Sebagai penutup aku meminta kepada Allah untuk melimpahkan nikmat-Nya kepada kaum muslimin berupa pemahaman terhadap agamanya dan beramal dengan Kitab-Nya (Al-Qur`an) dan sunnah (hadits-hadits dan bimbingan) Nabi-Nya, dan semoga Allah melindungi mereka dari bahaya fitnah-fitnah. Semoga Allah mengangkat penguasa bagi mereka (kaum muslimin) dari kalangan orang-orang pilihan yang baik. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat.

وصلى الله وسلم على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين .

* * *

Sumber : Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Ibn Baz (juz 15 / hal. 109-114)

[1] Pernyataan Samahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah yang diterbitkan di majalah Al-Jami’ah Al-Islamiyyah (Universitas Islam) di kota Al-Madinah Al-Munawwarah – Saudi ‘Arabia, tahun 1394 H.

[2] Wujudul Hilal adalah salah kriteria penentuan awal bulan Qamariyyah berdasarkan ilmu Hisab Falaki. Kriteria ini menyatakan bahwa awal bulan dimulai ketika pada waktu maghrib, Matahari tenggelam terlebih dahulu dibanding Bulan setelah sebelumnya terjadi ijtima’ Matahari-Bulan. Sehingga kriteria ini murni berdasarkan Hisab, tanpa memperhitungkan apakah hilal saat itu benar-benar bisa diru`yah ataukah tidak. Berapapun ketinggian hilal saat itu juga tidak diperhatikan. Selama ketinggiannya positif, Matahari tenggelam terlebih dahulu, dan didahului ijtima’, maka berarti bulan qamariyyah sudah masuk, karena menurut mereka dalam kondisi tersebut berarti hilal sudah wujud (ada/terjadi) di ufuk langit. Kriteria ini dianut oleh Perserikatan Muhammadiyah, dan lainnya.

[3] Imkanur Ru`yah adalah salah satu kriteria penentuan awal bulan Qamariyyah berdasarkan ilmu Hisab Falaki. Kriteria ini tidak hanya menghitung kondisi wujudul hilal, tapi juga menetapkan ketinggian tertentu dan kondisi-kondisi lainnya supaya hilal memungkinkan untuk dilihat. Yakni sekadar memungkinkan secara perhitungan. Dalam penentuan ketinggian hilal saja, mereka berbeda-beda. Ada yang mematok 2 derajat, ada yang 4 derajat, ada yang 7 derajat, bahkan ada yang 12 derajat. Ada pula yang menyatakan bahwa mematok ketinggian tertentu untuk hilal tidak cukup, tapi harus dipadukan dengan faktor-faktor lain. Dan seterusnya. Kriteria ini di antaranya dianut oleh NU.

[4] Sehingga makna “perkirakanlah” adalah ikmal (menggenapkan) bilangan bulan menjadi 30 hari. Bukan bersandar kepada Hisab Falaki.

[5] Yakni kalau seandainya mereka konsekuen berdalil dengan hadits Nabi :

« فإن غم عليكم فاقدروا له »

“Apabila hilal terhalangi atas kalian, maka tentukanlah.”

Bahwa maksud hadits tersebut adalah tentukanlah dengan menggunakan ilmu Hisab Falaki, mestinya mereka baru menggunakan Hisab Falaki ketika kondisi cuaca mendung, karena hadits tersebut hanya berkaitan ketika kondisi mendung. Ternyata faktanya, mereka tetap menggunakan Hisab Falaki, baik ketika mendung maupun cerah.

http://www.assalafy.org/mahad/?p=336


Tinggi, Potensi Beda Lebaran
Sumber : Kompas

Meski sebagian besar umat Islam Indonesia mengawali puasa Ramadhan secara bersama-sama pada 1 Agustus 2011, potensi untuk berbeda waktu dalam mengakhiri ibadah Ramadhan masih tinggi. Sebagian kelompok akan ber-Lebaran pada hari Selasa (30/8/2011) besok atau berpuasa selama 29 hari, sedangkan kelompok lain baru akan ber-Lebaran pada hari Rabu (31/8/2011) lusa, atau berpuasa Ramadhan 30 hari.

Perbedaan penentuan awal bulan (dengan b kecil, month) hijriah di Indonesia merupakan persoalan klasik yang sudah berlangsung sejak dulu. Perbedaan terjadi bukan karena perbedaan cara menentukan awal bulan, yaitu dengan hisab (perhitungan) atau rukyat (pengamatan). Mereka yang menggunakan rukyat juga harus melakukan hisab terlebih dahulu untuk mengetahui posisi dan umur hilal atau bulan sabit muda.

"Perbedaan terjadi karena hingga kini belum adanya kesepakatan organisasi-organisasi massa Islam di Indonesia tentang kriteria penentuan awal bulan hijriah," tegas Profesor Riset Astronomi-Astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional yang juga anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama Thomas Djamaluddin, Senin (29/8/2011), ini.

Di luar persoalan belum adanya keseragaman kriteria, ada pula persoalan kelompok-kelompok kecil umat Islam yang sering kali menentukan awal bulannya berbeda dengan ketetapan pemerintah ataupun ormas Islam besar. Perbedaan ini terjadi karena data hisab yang mereka gunakan masih mengacu kepada sistem lama yang tidak pernah diperbarui. Padahal, data gerak benda-benda langit sebagai dasar penentuan awal bulan hijriah membutuhkan pembaruan secara berkelanjutan.

Awal bulan

Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menunjukkan, ijtimak atau kesegarisan Matahari-Bulan-Bumi sebagai penanda pergantian bulan baru untuk 1 Syawal 1432 terjadi pada Senin, 29 Agustus pukul 10.04 WIB. Pada saat Matahari terbenam hari ini, ketinggian hilal di seluruh wilayah Indonesia berkisar antara minus 0,1 derajat hingga 1,60 derajat. Sedangkan jarak sudut antara Matahari dan Bulan berkisar antara 5,58 derajat dan 6,83 derajat. Umur Bulan saat Matahari terbenam berkisar antara 5,50 jam dan 8,62 jam.

Akibat perbedaan kriteria penentuan awal bulan yang berbeda antar-ormas Islam, perlakuan terhadap data ijtimak itupun akhirnya berbeda-beda. Salah satu ormas Islam yang menggunakan kriteria wujudul hilal atau terbentuknya hilal, jauh-jauh hari sebelumnya sudah menetapkan Idul Fitri 1 Syawal 1432 jauh pada Selasa (30/8). Dari data hilal di atas, hilal memang sudah terbentuk di sebagian wilayah Indonesia.

Kriteria yang digunakan ormas ini tidak mensyaratkan hilal bisa diamati atau terbentuknya hilal di seluruh Indonesia. Sementara itu, dua ormas Islam lainnya, berdasarkan hisab yang dilakukannya menetapkan 1 Syawal pada Rabu (31/8/2011). Namun, alasan kedua ormas ini berbeda.

Satu ormas menggunakan kriteria imkanur rukyat atau kemungkinan hilal bisa diamati, baik dengan mata telanjang maupun teleskop. Untuk bisa diamati, sesuai kriteria yang digunakan Majelis Agama Islam Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), hilal harus memiliki ketinggian minimal 2 derajat, jarak sudut Bulan-Matahari 3 derajat, dan umur hilal minimal 8 jam.

Jika hilal bisa dilihat, Selasa besok adalah hari raya Idul Fitri. Namun, jika tidak berhasil melihat hilal, puasa Ramadhan akan disempurnakan menjadi 30 hari dan Lebaran hari pertama pada Rabu (31/8) lusa. Namun, dengan syarat minimal itu, dipastikan hilal tidak bisa diamati Senin petang ini karena ketinggiannya di seluruh Indonesia masih berada di bawah 2 derajat.

Meski demikian, perhitungan teoretis ini harus dipastikan dan dibuktikan melalui rukyat. Jika ternyata diperoleh laporan ada yang melihat hilal, kesaksian pengamatan hilal itu patut dipertanyakan kebenarannya. Bisa jadi, apa yang diamati dan dilaporkan sebagai hilal, sejatinya adalah benda langit lain yang mirip dengan hilal.

Mengamati hilal bukan perkara mudah karena mereka harus mencari cahaya tipis Bulan saat langit masih cukup terang oleh cahaya Matahari. Keraguan atas dilihatnya hilal dalam usia kurang dari 8 jam merupakan hal wajar. Pasalnya, rekor terendah untuk hilal yang bisa diamati di era astronomi modern adalah hilal berumur 16 jam.

Satu ormas lainnya sudah menetapkan Idul Fitri pada Rabu (31/8) karena menggunakan kriteria wujudul hilal dan kesatuan wilayah hukum Indonesia. Pada Senin (29/8) petang, hilal memang sudah wujud. Tetapi, hanya di beberapa wilayah, khususnya Indonesia bagian barat. Karena di Indonesia timur hilal belum wujud, maka mereka menetapkan Idul Fitri jatuh pada Rabu (31/8).

Hisab dan rukyat sebenarnya bisa seiring sejalan. Mereka yang menggunakan hisab dan rukyat dapat ber-Lebaran bersama jika kriteria yang digunakan dalam penentuan awal bulan sama, yaitu dengan menerapkan kriteria minimal hilal yang memungkinkan untuk diamati.

Menurut Thomas, rukyat tidak dapat ditinggalkan dan hanya mengandalkan hisab semata, karena landasan hukum agama (syar'i) yang kuat memang memerintahkan untuk mengamati hilal.

Kriteria bersama penentual awal bulan hijriah harus segera ditentukan bersama. Jika tidak, perbedaan penentuan Idul Fitri maupun hari raya lainnya akan terus terjadi. Perbedaan memang rahmat dan indah, tapi kebersamaan akan menciptakan kuatnya ukhuwah....



Demikian, apabila ada kesalahan saya membuka kesempatan untuk koreksi atau perbaikan.
Semoga bermanfaat... :)

Skenario Hidup

Kadang aku ingin berlari
Pergi dan berlalu dari semua ini
Ah, tapi tidak demikian, bukan?
Allah pasti menetapkan tiap peristiwa
Penuh makna
Tanpa kesiaan
Dan satu lagi
Tujuan utamanya adalah untuk kebaikanku

Allah,
SkenarioNya tak selalu indah
Setidaknya di mata kita
Tapi,
MenurutNya itulah yang terbaik untuk hambaNya
Bukankah DIA Sang Pencipta?
Bukankah DIA lebih mengenal ciptaanNya?
Jadi apapun yang DIA berikan
Pastilah yang terbaik

Kadang lelah mendera
Tapi bukankah kaki tetap tak boleh terhenti?
Langkah tetap harus terayun, kan?
Hidup harus tetap berjalan
Dan peristiwa demi peristiwa akan datang bergantian

Bukankah dulu pun selalu ada ujian
Pada ummat terdahulu
Pada zaman kenabian
Jadi, tak ada yang aneh atau janggal, bukan?

Bukankah ujian adalah tanda kasih sayang?
Tanpa ujian, hidup pun akan hampa kan?
Ah, kenapa aku masih seperti anak kecil
Yang senantiasa merengek minta mainan?
Hamba yang tak pernah bersyukur pada kejadian utama
Justru keluh dulu baru sadar setelahnya?

Ah, pantaslah ujianNya sama selalu
Ternyata aku belum lulus
Mungkin aku terlalu lama tinggal kelas
Terbukti dengan ujian yang begitu saja

Ah, malunya aku

(Di sudut rumah orang tua di WOnosari
Menjelang Lebaran 1432 H)

Rabu, 10 Agustus 2011

Ibu : Kekuatan Di Balik Kelembutan & Kasih Sayangnya (my #10 book)



Perempuan. Wanita. Atau apapun istilah yang sering digunakan menyebut kaum hawa. Sekilas tampak rapuh, penuh kelembutan dan kasih sayang. Tapi, tahukah bahwa di balik itu semuanya tersimpan sebuah kekuatan yang luar biasa?


Di buku inilah, kami para pecinta kata, pemintal cerita menyampaikan semua kisah nyata tentang tangguhnya makhluk bernama wanita. Bahwa di balik semua kelembutan, keanggunan, senyum tulus dan sejuta kasih sayangnya tersimpan kekuatan, kesabaran dan ketabahan nan luar biasa.

Bukan sekedar kekuatan, ketegaran dan ketabahan wanita dalam menyandang predikat seorang ibu dan isteri, namun di luar itu wanita masih menunjukkan ketabahan dan kesabarannya dalam menjalankan perannya.

Mencintai wanita yang paling berharga dalam hidupmu? Ah, rasa belum lengkap jika belum membaca goresan pena dalam buku ini.

Saya yakin, tidak akan kecewa. Justru sebaliknya, membaca kisah-kisah dalam buku ini, kita semua akan semakin kagum dan cinta pada wanita di sekeliling kita. Apakah itu isteri, ibu, kakak, tante dan yang lainnya.

Kisah-kisah nan penuh inspiratif, rasanya sayang jika dilewatkan begitu saja. So, kenapa masih ragu? Beli dan baca buku ini. Resapi setiap untaian kata nan menggetarkan hati serta raih hikmah nan berlimpah di dalamnya!

Happy reading... ^_^


Oh iya, dalam buku ini saya merupakan kontributor yang termasuk dalam 40 besar pemenang lomba Girl's Power. Artinya juga, buku ini akan menjadi antologi saya yang ke-10. Alhamdulillah... ^_^

Bagi saya, perjalanan masih sangat panjang untuk terus berkreasi... ^_^

Semangat berkarya dan berkreasi... ^_^


(di sudut kamar kost, Bintaro)

Selasa, 09 Agustus 2011

Kembalinya Mas Gagah


Ketika Mas Gagah Pergi...

Saya rasa banyak yang tidak asing dengan satu judul ini. Tentu saja dong. Bukankah karya ini merupakan karya legendaris?

Di saat masih asing istilah berhijab di masyarakat kita. Karya ini datang untuk membuka mata kita lebih lebar tentang hidayah dan hak untuk berhijab. Karya yang sungguh menghentak, menggugah dan berbeda dari karya unggulan di zamannya. Tapi toh, karya ini tak kehilangan pesonanya. Terbukti, sejak terbit perdana di Majalah Annida pada tahun 1993, kisah ini banyak dicari. Maka untuk memenuhi semua permintaan tersebut, cerpen ini kemudian dibukukan pada 1997 oleh Pustaka Annida. Dan buku kumcer dengan judul Ketika Mas Gagah Pergi ini tak cukup berkibar hanya dengan satu kali cetak. Tapi menyusul cetakan kedua dan seterusnya.

Kini, setelah sekian lama tak terdengar gaungnya, karya legendaris ini hadir kembali dalam Ketika Mas Gagah Pergi dan Kembali. Helvy Tiana Rosa, sang penulis, mencoba untuk mengobati kerinduan para pembacanya dengan kehadiran kembali Mas Gagah.

“Dan jadilah muslimah sejati
Yang selalu mengedepankan nurani
Agar Allah selalu besertamu.
Ingat Islam itu indah…
Islam itu cinta…”


Itulah kutipan surat Mas Gagah untuk adiknya, Gita, yang diambil dari Ketika Mas Gagah Pergi Dan Kembali.

Gita, merasa sangat kehilangan sejak kepergian Mas Gagahnya. Kehidupannya seakan berubah total sejak kakak kesayangannya tiada. Tapi perlahan semua berubah sejak Gita bertemu dengan si Mas kotak-kotak yang misterius. Gita hampir bertemu dengannya di bus, kereta, bahkan di kampusnya.
Si Mas kotak-kotak yang selalu hadir dengan tausyiah yang menyejukkan, perlahan mampu mencairkan hati Gita yang lama beku. Entah apa yang membuatnya begitu merasa akrab dan dekat, sedangkan siapa namanya saja Gita tidak tahu. Tentu sosok si Mas kotak-kotak yang begitu familiar bagi Gita itu pun menjadi pertanyaan yang coba dicari jawabannya oleh pembaca dalam buku ini. Siapa dia? Benarkah dia seperti Mas Gagah? Secara fisik keduanya sangat berbeda, bukan? Lalu apa yang membuat Gita merasa demikian?

Nah, tak cukup dengan itu. Helvy Tiana Rosa dalam buku ini menambahkan beberapa kisah yang tak kalah menyentuh dan menggugah jiwa pembaca. “Rapsodi September” dan “Mami” adalah kisah yang ditulis dari kisah hidupnya. Cerita yang ringan dan mengalir, namun tidak melupakan kekhasan HTR dalam menyampaikan selaksa makna di dalamnya. Demikian juga dengan 12 kisah lainnya yang tidak kalah menggugah, begitu mengena dan cerminan nyata kehidupan.

Helvy Tiana Rosa, siapapun itu pasti mengakui kemampuannya merangkai kata dan menyampaikan selaksa makna dengan mempesona. Nilai-nilai islam coba ditekankannya tanpa memaksa, melainkan mengajak pembaca untuk sama-sama menyusuri cerita dan menemukan satu demi satu hikmah yang bertebaran di sana.

Sekali lagi, dalam buku Ketika Mas Gagah Pergi dan Kembali ini, Helvy Tiana Rosa membuktikan kepiawaiannya.

So, tunggu apalagi? Yuk, buruan beli dan selami setiap kisahnya serta temukan makna-makna yang bertebaran di sana. ^_^

Happy reading... ^_*

Minggu, 07 Agustus 2011

Self Publishing vs Kualitas Karya


Akhir-akhir ini marak sekali di dunia kepenulisan tentang self publishing. Penulis yang dapat menerbitkan karyanya sendiri, dengan upaya dan modal sendiri, melalui penerbit sendiri.

Lantas, apakah adanya Nulis Buku, Leutika Prio, Indie Publishing dan beberapa penerbit lainnya itu adalah wujud dari self publishing?

Ternyata dalam proses penerbitan karya ada tiga cara lho, yaitu:

1. Mengirim naskah ke penerbit
Penulis hanya berperan tunggal,cukup menjadi menulis naskah kemudian mengirimkan naskahnya ke redaksi penerbit. Langkah-langkah selanjutnya hingga terbit dalam bentuk buku akan menjadi tanggung jawab penerbit.

Manfaat yang dapat diperoleh dari cara ini adalah:
a. Tidak repot
b. Tidak perlu modal
c. Passive Income
d. Dukungan Penerbit
e. Quality Control lebih terjaga

Namun, selain manfaat-manfaat tersebut, ada juga beberapa kelemahan atau kekurangannya, yaitu:
a. Ada kemungkinan ditolak oleh penerbit. So, harus siap-siap mental juga. ^_^
b. Masa menunggu hingga naskah tersebut diterima atau ditolak oleh penerbit biasanya lama.
c. Hasil cetak sering tidak sesuai keinginan penulis.
d. Penghasilan yang diterima relatif kecil.


2. Menerbitkan sendiri alias self publishing
Dalam hal ini, penulis berperan ganda. Selain menulis naskah, maka penulis juga harus menjadi editor dan sekaligus penerbitnya.

Cara ini memiliki beberapa kelebihan, sebagai berikut:
a. Bebas dari penolakan, karena kita sebagai penulis, editor dan penerbit sekaligus.
b. Bebas antri, karena karya kita sendiri yang akan diterbitkan. So, ga perlu pakai antri untuk naik cetak. ^_^
c. Hasil sesuai keinginan penulis. So, kepuasan lebih tinggi diperoleh pada cara penerbitan ini. ^_^
d. Penghasilan lebih besar. Ya iyalah, kan kita kerja sendiri, jadi hasilnya ya buat kita sendiri, ga dibagi dengan pihak lain. ^_^

Selain kelebihan seperti di atas, cara ini masih memiliki kelemahan sebagai berikut:
a. Serba repot. Pastinya dunk, kan semua kita ngerjain sendiri. :)
b. Harus punya modal. Tentunya, karena kita juga yang akan jadi penerbitnya. :)
c. Quality Control tidak terjaga. Karena kita sebagai penulis sekaligus editor dan penerbit maka kualitas pengendalian atas karya kita terkadang lebih rendah dibandingkan jika dikerjakan pada penerbit yang telah ada.

3. Menerbitkan melalui publishing service
Nah, cara ini menjembatani antara cara pertama dan kedua. Penulis membuat naskah, kemudian mengirimkannya kepada Publisher Service yang akan membantunya untuk melakukan editing, mendisain cover sesuai keinginan penulis hingga menerbitkan naskah tersebut menjadi buku.

Kelebihan dari cara menerbitkan ini adalah:
a. Bebas penolakan
b. Sesuai keinginan penulis
c. Penulis tidak perlu terlalu repot
d. Modal yang dibutuhkan lebih fleksibel.

Selain kelebihan di atas, terdapat kelemahan yaitu terutama pada quality control yang kurang terjaga.


Nah, berdasarkan penjelasan tiga cara menerbitkan buku seperti di atas. Maka Nulis Buku, Leutika Prio, Indie Publishing, Gerai Buku, dll itu bukan self publishing melainkan publisher service. Nah, berarti sekarang sudah tahu dunk apa bedanya? :)


Masalah yang kemudian sering mencuat dan dipertanyakan banyak pihak adalah bahwa adanya self publishing dan publishing service memungkinkan kualitas karya yang kurang bagus bahkan cenderung buruk. Benarkah? Mari kita simak!

Dewi Lestari atau artis yang kemudian terjun menjadi penulis ini, mulai mencuat namanya sejak buku pertamanya dengan judul "Supernova" melesat di pasaran. Dan tidak sedikit yang memuji dan mengagumi karyanya. Dan tahukah, bahwa Dee menerbitkannya dengan self publishing? Bermodalkan uang selama menjadi artis, Dee menerbitkan naskah bukunya dengan self publishing. Meskipun sempat nyaris gagal jual, tapi kemudia Supernova dan karya-karya Dee lainnya mulai menjadi incaran pembaca. Dan selanjutnya Bentang Pustaka membantunya menerbitkan buku-buku selanjutnya.

Valentino Dinsi, dengan bukunya "Jangan Mau Selamanya Jadi Orang Gajian". Awalnya naskah yang ditulisnya adalah pesanan orang lain, tapi kemudian dibatalkan. Valentino Dinsi mencoba untuk menerbitkannya dengan self publishing. Look, kini Valentino Dinsi menjadi trainer dan motivator dengan bayaran paling mahal di Indonesia dengan bukunya tersebut.

Sapardi Djoko Darmono, penulis sastra. Sebelumnya buku-buku karyanya diterbitkan oleh penerbit mainstream, tapi karena ada kekecewaan dengan pihak penerbit, Sapardi menarik naskahnya dan menerbitkannya melalui self publishing. Hasilnya? Sampai kini, naskahnya menjadi incaran banyak orang.

Dan kemudian Epri Tsaqib pun mengikuti jejak para penulis-penulis di atas. Bahkan antologi "Para Guru Kehidupan" menjadi buku Best Seller sekalipun terbit melalui self publishing.

So, buku-buku yang terbit melalui self publishing sering mengesampingkan kualitas karya? Ah, ga juga kok. Buktinya banyak juga buku-buku yang terbit melalui self publishing ataupun publishing service yang berkualitas.

Semua tergantung bagaimana sikap dan komitmen penulis. Apakah sekedar menulis dan memiliki buku, atau menulis dan menghasilkan buku berkualitas bagi para pembacanya?

Jawabannya ada pada diri kita sebagai penulis... ^_^

So, jangan takut untuk menerbitkan buku dengan self publishing ataupun publishing service. Kualitas karya tetap bisa dijaga kok... ^_^

Caranya?
Ini dia...

Perhatikan beberapa hal berikut kaitannya dengan quality control tulisan kita:
a. kualitas naskah
Jangan sampai naskah yang kita tulis hanya sekedar sampah belaka. Tapi usahakan untuk menuliskan sesuatu yang mampu memberi makna, nilai dan hikmah bagi yang membacanya.
b. Perhatikan editing, seperti tata bahasa, EYD, tanda baca, dll.
Jika kita merasa tidak mampu memenuhinya, jangan ragu gunakan jasa ahli. Ga apa-apa dunk kita berkorban sedikit untuk hasil terbaik. Bukankah demikian? :)
c. Konsep buku yang jelas, unik dan fokus.
Jelas, buku ini sasarannya untuk siapa, bagaimana penyampaiannya dan pengemasannya dalam percetakan. Tentu aneh jika naskah "Menumbuhkan Minat Baca Masyarakat" yang ditulis dengan bahasa narasi yang datar seperti buku pegangan mengajar di kelas. Karena jika demikian, tentu yang tidak suka membaca akan semakin tidak mau membaca.
d. Konsep nilai jual yang setinggi mungkin
e. Segmentasi pembaca
Erat kaitannya dengan pembahasan pada point c sebelumnya. Jika segmentasinya jelas, tentu akan lebih mudah dalam marketing. Tapi harus juga didukung dengan penyajian dan pengemasannya.
f. Tata letak dan disain cover.
Bukankah cover yang bagus akan lebih menarik minat bagi para calon pembaca? Seandainya mereka melirik dan memegang buku kita, sekalipun tidak jadi membelinya maka itu sudah suatu kemenangan tersendiri. Terlebih jika mereka benar-benar membelinya maka itu menjadi kemenangan tambahan. :)
g. Percetakan yang berkualitas.

Lalu, seberapa tinggi nilai jual buku Anda?
Perlu diingat, bahwa buku berkualitas tidak identik dengan buku laris.
Untuk memiliki nilai jual tinggi, coba pelajari faktor-faktor yang menyebabkan suatu buku menjadi menarik.
Naskah seorang penulis peemula pun bisa memiliki nilai jual tinggi seperti:
a. Tema yang menarik, something new, atau menulis sesuatu yang lebih spesifik.
b. Karya yang mampu menjawab kebutuhan pembaca.
c. Judul yang menarik. Terkadang judul yang provokatif cukup ampuh untuk menaikkan nilai jual.
d. Endorsement dari tokoh terkenal dan berpengaruh.
e. Cover disain yang menarik. Eye catching lah...hehehe

Bagaimana? Sudah yakin menentukan pilihan untuk menerbitkan karya? Apakah melalui penerbit mainstream, self publishing atau publishing service?

Atau sekarang terjawab sudah pertanyaan-pertanyaan tentang Self Publishing vs kualitas karya?
So, tak semua yang terbit melalui self publishing itu tidak berkualitas, kan? Karena semuanya tergantung bagaimana penulisnya... Apakah memilih menerbitkan karya yang buruk atau akan selalu mengusahakan menghasilkan karya dengan kualitas yang baik? Semua terserah penulis karena secara langsung ataupun tidak akan sangat berpengaruh terhadap personal branding penulis itu sendiri.

Rugi dunk kalau menulis capek-capek tapi ujung-ujungnya dapet penilaian buruk hanya gara-gara mengesampingkan kualitas karya? Sayang sekali, bukan? :)

So, menerbitkan karya melalui self publishing ataupun publishing service bukan masalah selama tidak sekalipun kita kesampingkan kualitas karya kita... ^_^

Semangat kreatif dan terus berkarya ya... ^_^

Bincang Kreatif with Jonru dan Epri Tsaqib

"Orang yang berhenti belajar adalah pemilik masa lalu. Orang yang terus belajar adalah pemilik masa depan."

"Jangan pernah merasa expert karena itu akan membawamu pada kehancuran. Bukankah seperti halnya buah yang matang, tidak ada lagi yang dapat dilakukan selain menuju pada pembusukan, bukan? Maka, jangan pernah berhenti belajar."


Sudah menjadi penulis? Sudah punya beberapa buku? Jangan buru-buru merasa bangga dan berpuas diri. Semua belum berakhir sampai di sini. Tapi perjuangan untuk mempertahankan semangat berkarya mulai diuji. Benarkah kita merasa telah cukup"ahli" di bidang kita? Sudah cukup baikkah karya-karya yang kita hasilkan? Jika dengan cepat kita menjawab iya, maka tunggu saja kehancuran yang akan segera menghampiri.
Seperti halnya Allah Swt yang tak suka dengan sifat sombong dan takabur pada diri hamba-Nya. Maka sifat merasa bahwa karya-karya kita telah baik, akan melenakan kita untuk terus berupaya meng-up grade kualitas tulisan kita. Alhasil, karya selanjutnya kita akan mudah berpuas diri dan kadang justru akan melupakan standar kualitas tulisan. Merasa bahwa nama besar telah cukup menjual, maka sering terlupa dengan kualitas karya.

Lalu? Apa masalahnya? Tentu saja, sekalipun kita punya nama besar tapi jika karya selanjutnya kualitas yang kita sajikan turun drastis, otomatis pembaca akan pindah haluan, meninggalkan kita. Nah, tentu ga mau dunk semua itu terjadi? So, apa yang perlu dilakukan?

Nah, gini nich... Hari ini, banyak motivasi yang saya peroleh dalam bincang kreatif bersama Jonru dan Epri Tsaqib.

Menjadi seorang penulis jangan cepat berpuas diri hanya karena memiliki karya best seller dan bergelimang penghargaan. Tapi coba pikirkan apa yang telah kita lakukan dengan karya tersebut untuk membuat suatu perubahan ke arah yang lebih baik bagi pembaca.

Hari ini juga banyak ilmu yang dapat dipejari dari upaya seorang penulis menuju sukses.

Buku adalah sejarah. Dan kata tersebut mengingatkan saya akan salah satu tweet Pak Jamil Az Zaini : jika ingin melihat dunia maka bacalah, jika dunia ingin mengenal dan melihatmu maka menulislah.

Jadi, tidak ada alasan untuk berpuas diri dan berhenti berkarya, bukan? Dan tidak ada alasan untuk mengabaikan kualitas karya kita, bukan?

Jangan takut menulis tapi juga jangan cepat berbangga dan berpuas diri. Belajar, belajar dan terus belajar untuk menjadi lebih baik lagi. ^_^

Salam kreatif... ^-^

Sabtu, 06 Agustus 2011

Ingin Punya Anak Sholeh-Sholehah? Baca Dulu... ^_^


Bismillah...

Sahabat, kali ini saya mau berbagi dari apa yang barusan saya dengar dari ceramah Ust. Ahmad Al Habsyi... :)

Allah Swt, memberi kita nikmat dan cobaan. Kebanyakan dari kita mengingat Allah Swt hanya saat cobaan dan ujian menerpa. Memohon, mendekat dan mengiba pada-Nya. Tapi sebagian kita juga terlupa pada Allah Swt ketika DIA menguji kita dengan nikmat yang melimpah. Terkadang semua nikmat membutakan kita dari syukur kepada-Nya. Naudzubillah...

Nah, demikian juga dengan kenikmatan akan kepercayaan-Nya memberikan kita amanah seorang anak (tentu bagi yang sudah menikah, yang belum sabar ya... tunggu waktunya, jangan pakai acara cicilan segala... :p ).
Banyak dari kita mengharapkan kehadiran anak, kemudian ia tumbuh menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah. Tapi apa iya, kita sudah mempersiapkan segalanya?
Untuk memiliki anak-anak yang sholeh dan sholehah, kita setidaknya harus memperhatikan tiga tahapan, yaitu:

1. Saat pembibitan
Bahasa aneh ya?hehehe... Maksudnya adalah ketika suami-isteri berhubungan intim sebaiknya mengawali dengan berdo'a. Tujuannya agar syaitan tidak ikut menanam "saham" dalam diri anak kita nantinya. Selain itu, berdo'a juga akan mendatangkan berkah dan rahmat-Nya. :)

2. Saat dalam kandungan
Ketika sedang mengandung, seorang ibu sebaiknya memperhatikan apa yang masuk ke tubuhnya. Demikian juga dengan sang ayah. Karena mustahil memiliki anak yang sholeh dan sholehah jika segala sesuatu yang masuk ke dalam tubuh anak dalam kandungan adalah sesuatu yang haram dan jauh dari ridho-Nya. Itulah pentingnya seorang ibu untuk membiasakan kebiasaan baik sejak mengandung sebagai tahap awal pendidikan dini bagi si kecil. Begitu juga bagi sang ayah agar memperhatikan segala nafkah yang ia berikan kepada isterinya adalah nafkah yang halal dan mendatangkan ridho-Nya. jangan mimpi punya anak yang sholeh dan sholehah jika sang ayah memberi nafkah kepada isterinya dengan nafkah yang haram, hasil korupsi, hasil menipu, mengambil hak orang lain, dst.

3. Saat setelah melahirkan
Berikan teladan, bukan sekedar nasehat lisan tapi bualan. Ingat, anak yang lahir itu ibarat kaset kosong. Dia akan merekam apapun yang dia dengar dan dia lihat. Jadi, jangan mimpi punya anak yang sholeh jika sang ayah dan ibu masih jauuuuuhhh dari syariah. Jangan berharap punya anak nan sholehah, jika ibunya sendiri masih suka ke pasar atau mall dengan baju "you can see everything". Jangan mimpi punya anak yang sholehah, jika si ibu masih hobby ngerumpi yang syarat ghibah dan fitnah. Jangan mimpi punya anak sholeh jika sang ayah masih sholatnya kalau ingat saja, jauh dari Al Qur'an dan sunnah, suka dugem, main judi dan bersahabat dengan minuman keras memabukkan.

Nah, sekarang sudah tahu kan, kalau ingin punya anak yang sholeh dan sholehah itu ga segampang membalikkan telapak tangan. Tapi perlu banyak persiapan, baik dari segi badani dan ruhani calon ayah dan calon ibu.

Nah, siapkah kita untuk menjadi orang tua yang sholeh dan sholehah? Siapkan diri sejak dini ya, supaya ga nyesel di kemudian hari... :)

Demikian, sahabat, semoga ada manfaat yang dapat dipetik. Mohon maaf atas segala salah dan khilaf. :)