Assalamu'alaykum...

Selamat Datang.... ^_^

Selasa, 30 Agustus 2011

Lebaran Yang Tertunda


Heboh masalah perbedaan penentuan tanggal 1 Syawal 1432 H menuai banyak tanggapan dari masyarakat. Terlebih ketika tadi malam diumumkan hasil sidang isbat tentang penentuan 1 Syawal 1432 H yang ternyata diputuskan jatuh pada hari Rabu, 31 Agustus 2011. Sementara, sebagian masyarakat Indonesia sudah ramai melakukan pawai takbiran. Alhasil, tak sedikit yang kemudian balik kanan dan bubar jalan. Ada juga yang sudah menunggu di masjid dan akhirnya memutuskan untuk sholat tarawih.

Beberapa status di jejaring sosial, baik Facebook atau Twitter ramai membicarakan penundaan lebaran ini. Tak sedikit yang sudah terlanjur memasak menu lebaran dan berujung dialihkan posnya sebagai menu sahur terakhir Ramadhan tahun ini. Tak sedikit juga yang mengeluh sudah jauh-jauh datang ke Monas untuk takbiran dan akhirnya kembali pulang atau malah sekedar kongkow-kongkow di sekitar Monas.

Lebaran yang tertunda merupakan topik yang hangat saat ini. Di lingkungan saya misalnya, tadi malam sebagian sudah ramai melakukan pawai takbiran. Lucunya pagi ini saling bersahutan antara gema takbir dan panggilan untuk menunaikan makan sahur. Dan pagi ini, jama'ah yang mendirikan sholat ied pun masih sangat sedikit, sepi.

Apapun itu, sebagai umat muslim, kita harus menjunjung tinggi toleransi. Menghargai perbedaan pendapatn itu harus. Jangan sampai hanya karena perbedaan penentuan 1 Syawal, lalu dua kubu besar tersebut kembali bermusuhan. Naudzubillah...
Kita semua adalah ummat Rasulullah Saw dan hamba Allah Swt. Penggunaan metode pun mengambil andil cukup besar untuk menentukan tanggal 1 Syawal ini. Apakah menggunakan rukyat atau hisab? Keduanya memungkinkan munculnya perbedaan.

Beberapa artikel di bawah ini sengaja saya cuplik semoga bisa menjadi bahan pertimbangan dan renungan kita bersama atas perbedaan yang ada.

Enam Sistem Sudah Menetapkan Hilal
sumber : VIVAnews

Kementerian Agama akan menetapkan hari raya 1 Syawal 1432 Hijriah, malam ini melalui sidang Isbath yang akan digelar sekitar pukul 18.45 WIB. Hingga saat ini sejumlah laporan mengenai pemantauan hasil hisab terus diterima Kementerian Agama.

Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Ahmad Jauhari, menjelaskan bahwa pemantauan hilal itu dibagi dua. Sejumlah di 80 titik dipantau Kementerian Agama, dan 15 titik lainnya dipantau Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Dijelaskan Jauhari, dari hasil penghitungan 22 sistem istiqmal dan tinggi hilal, hanya ada enam sistem yang memastikan 1 Syawal akan jatuh pada hari Selasa, atau yang menyatakan kalau tinggi hilal sudah di atas 2 derajat.


Ini sistem perhitungan Ijtima dan tinggi hilal awal bulan syawal 1432.


A. Sistem perhitungan ijtima yang sudah melebihi dua derajat.

1. Sistem Sulam an-Nayyirain tinggi hilal 03 derajat 53' 30'' awal bulan selasa tanggal 30/08/2011.

2. Sistem Fath al-Rauf al-Mannaan tinggi hilal 3 derajat 30' 00" awal bulan selasa tanggal 30/08/2011.

3. Sistem Qawaid al Falakiyah tinggi hilal 2 derajat 49' 00", awal bulan selasa 30/08/2011.

4. Sistem Mathla al-Sain tinggi hilal 2 derajat 10'10" , awal bulan selasa 30/08/2011.

5. Sistem Nurul Anwar tinggi hilal 3 derajat 4' 00" , awal bulan selasa tanggal 30/08/2011.

6. Sistem Astro Info tinggi hilal 2 derajat 23' 00" , awal bulan selasa tanggal 30/08/2011.

B. Sistem perhitungan ijtima yang kurang dari dua derajat.

1. Sistem Manahijul Hamidiyah tinggi hilal 1 derajat 55' awal bulan rabu, tanggal 31/08/2011.

2. Sistem Badiah Mitsal tinggi hilal 01 derajat 55' 08", awal bulan rabu.

3. Jean Meeus tinggi hilal 1 derajat 54', awal bulan rabu..

4. Al Falakiyah tinggi hilal 1 derajat 49' 38" , awal bulan rabu

5. New Comb tinggi hilal 1 derajat 56' 37" , awal bulan rabu.

6. Ephemeris tinggi hilal 1 derajat 33' 16" , awal bulan rabu.

7. Khulashatul Wafiah tinggil hilal 1 derajat 29' 30" , awal bulan rabu.

8. Almanak Nautika , tinggi hilal 1 derajat 55' 15", awal bulan rabu.

9. Ahilla tinggil hilal 1 derajat 53' 02" , awal bulan rabu.

10. RHI tinggi hilal 1 derajat 18' 00" , awal bulan rabu.

11. Irsyadul Murid tinggi hilal 1 derajat 51' 24 " , awal bulan rabu.

12. Lunar Fase Pro VI.77 tinggi hilal 1 derajat 36' 16" , awal bulan rabu.

13. Mawaaqit tinggi hilal 1 derajat 31' 00" awal bulan rabu.

14. Hisab Hakiki tinggi hilal 1 derajat 49' 19" awal bulan rabu

15. Ascript tinggi hilal 1 derajat 10' 23" awal bulan rabu.

Kementerian Agama akan menentukan dengan cara menggunakan rukyah atau dengan cara melihat langsung dengan mata telanjang. Ini berarti minimal tinggi hilal harus berada pada posisi lebih dari 2 derajat.

Keputusan malam ini akan menentukan bahwa akhir Ramadan. Apakah akan berakhir malam ini atau bisa jadi akan disempurnakan 30 hari, atau disebut istiqmal, dan menetapkan hari Idul Fitri jatuh pada Rabu, 31 Agustus 2011.

Meskipun ada kemungkinan perbedaan penentuan hari raya, keputusan pemerintah diharapkan akan menjadi patokan bersama bagi warga Muslim. Walau demikian, sebagaimana yang terjadi sebelumnya, penentuan hari raya yang berbeda tidak menjadi masalah.


Ber’Idul Fithri Dengan Ru`yatul Hilal Berarti Mengikuti Sunnah Rasulullah
sumber : http://jalansunnah.wordpress.com

Hukum bersandar pada Hisab Falaki Dalam Penentuan Ramadhan dan ‘Idul Fithri [1]

Asy-Syaikh ‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah

Ramadhan merupakan ibadah yang berulang setiap tahun. Merupakan bulan Al-Qur`an, bulan yang benuh barakah. Namun menjelang datangnya bulan Ramadhan, “polemik tahunan” antara ru`yah - hisab untuk penentuan awal Ramadhan dan ‘Idul Fithri kembali menghangat. Herannya, para ahli hisab makin tahun makin arogan. Jauh-jauh hari mereka sudah berani mengumumkan hasil hisabnya, bahwa Ramadhan dan ‘Idul Fithri akan jatuh pada hari dan tanggal sekian. Bahkan ahli hisab mulai berani menghujat ru`yah yang merupakan satu-satunya sistem yang ditetapkan oleh syari’at Islam. Termasuk di negeri ini ada sebagian ormas Islam yang punya kebiasaan jauh-jauh hari mengumumkan kapan Ramadhan, ‘Idul Fithri, dan ‘Idul Adha berdasarkan Hisab Falaki (!!). Tentu saja, suasana perpecahan langsung terasa, menodai suasana kebersamaan dan kekhusyu’an ibadah kaum muslimin.

Bagaimana sebenarnya hukum penggunaan Hisab Falaki untuk penentuan Ramadhan dan ‘Idul Fitri, serta ‘Idul Adh-ha? Berikut penjelasan seorang ‘ulama terkemuka berkaliber international. Seorang ‘ulama besar yang senantiasa dinanti dan dicari fatwa-fatwanya, serta sangat dibutuhkan oleh umat bimbingan dan arahannya. Beliau adalah Asy-Syaikh Al-’Allamah Al-Muhaddits ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah. Semoga bermanfaat.

________________

الحمد الله رب العالمين، والصلاة والسلام على عبد الله ورسوله محمد وعلى آله وأصحابه والتابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد:

Telah banyak pembicaraan tentang penggunaan Hisab Falaki untuk menentukan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, dan juga penentuan hari-hari raya (’ied). Maka aku memandang perlunya untuk menjelaskan hukum permasalahan tersebut kepada umat manusia di negeri ini dan juga negeri yang lain, agar mereka benar-benar di atas bashirah (ilmu) dalam menjalankan ibadahnya kepada Rabb mereka.

Maka aku katakan -wabillahittaufiq-:

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tengan mengkaitkan dengan Al-Hilal beberapa hukum yang banyak, seperti puasa (shaum), haji, hari raya (’ied), masa-masa ‘iddah, ila` (sumpah), dan yang lainnya. Karena Al-Hilal adalah sesuatu yang bisa disaksikan oleh indera penglihatan/mata, dan pengetahuan yang paling meyakinkan adalah sesuatu yang bisa disaksikan oleh mata.

Juga karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah menjadikan hukum permasalahan hilal ini terkait dengan ru’yah saja, karena ru’yah (yakni ru’yatul hilal) merupakan perkara alami yang sangat jelas, yang keumuman manusia bisa melakukannya. Sehingga tidak terjadi kerancuan bagi seorang pun dalam urusan agamanya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :

« إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب، الشهر هكذا وهكذا وهكذا . يعني مرة تسعة وعشرين ومرة ثلاثين »

Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi, tidak menulis dan tidak pula menghitung. Satu bulan itu demikian, demikian, dan demikian, yakni terkadang 29 (hari) dan terkadang 30 (hari) (HR. Al-Bukhari 1913 dan Muslim 1080)

Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam juga bersabda :

« لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه ، فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين »

Janganlah kalian bershaum (Ramadhan) sampai kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka (ber’idul fithri) sampai kalin melihat hilal. Jika ada awan yang menghalangi kalian (dari melihat hilal), maka sempurnakanlah bilangan (jumlah hari dalam sebulan) menjadi 30. (HR. Al-Bukhari 1906, 1907 dan Muslim 1080)

Dari sini menjadi jelaslah bahwa pedoman untuk menetapkan waktu (pelaksanaan) Shaum (Ramadhan), berbuka (’Idul Fithri), dan bulan-bulan yang lain adalah dengan ru’yah atau ikmal (menyempurnakan) bilangan hari (menjadi 30). Semata-mata lahirnya Bulan baru secara syar’i tidaklah teranggap sebagai patokan untuk menetapkan masuk dan berakhirnya bulan qamariyah. Ini berdasarkan kesepakatan (Ijma’) para ‘ulama yang mu’tabar, selama tidak berhasil ru`yatul hilal secara syar’i. Ini semua adalah kaitannya dengan penetapan waktu pelaksanaan ibadah. Barangsiapa dari kalangan orang-orang sekarang yang menyelisihi perkara tersebut, maka dia telah didahului oleh ijma’/kesepakatan (para ‘ulama) terdahulu, dan pendapatnya tersebut tertolak. Karena tidak berhak seorang pun berbicara (suatu permasalahan tertentu) sementara di sana sudah ada sunnah (hadits/ketetapan) Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam dan juga sudah ada ijma’ para ‘ulama salaf.

Adapun Hisab (perhitungan) peredaran Matahari dan Bulan, maka itu tidak bisa dijadikan patokan/penentu dalam permasalahan ini, disebabkan alasan yang telah kami jelaskan barusan, dan juga disebabkan beberapa perkara sebagai berikut :

a. Sesugguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan pelaksanaan shaum (Ramadhan) berdasarkan ru`yatul hilal, dan melaksanakan ‘Idul Fithri juga berdasarkan ru`yatul hilal, dalam sabda beliau :

« صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته »

Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’Idul Fithrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilal. (HR. Muslim 1080 dan An-Nasa`i 2124)

Beliau juga membatasi perkara tersebut (Ramadhan dan ‘Idul Fithri) hanya berdasarkan ru`yatul hilal dalam sabdanya :

« لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه »

Janganlah kalian melaksanakan shaum (Ramadhan) sampai kalian berhasil melihat hilal, dan janganlah kalian melaksanakan ‘Idul Fithri sampai kalian berhasil melihatnya. (HR. Al-Bukhari 1773 dan Muslim 1795)

Beliau memerintahkan kaum muslimin jika terdapat penghalang (sehingga hilal tidak berhasil dilihat/diru`yah) pada malam ke 30, agar menyempurnakan bilangan jumlah hari dalam bulan tersebut menjadi 30, dan beliau tidak memerintahkan untuk merujuk kepada para ahli hisab. Kalau seandainya perkataan mereka (ahli hisab) itu merupakan satu-satunya landasan (hukum untuk penentuan Ramadhan – ‘Idul Fithri) atau landasan (hukum) lain (alternatif) di samping ru’yah dalam menetapkan bulan tertentu, maka beliau pasti akan menjelaskannya. Maka tatkala tidak ternukil dari Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam hal yang demikian itu, bahkan telah ternukil dari beliau kebalikannya, maka ini menunjukkan bahwasanya tidaklah teranggap secara syar’i segala sesuatu selain ru’yah atau ikmal (penyempurnaan 30 hari) dalam menentukan bulan (qamariyyah). Ini adalah syari’at yang senantiasa terus berlaku sampai hari kiamat. Allah ta’ala berfirman

وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

Dan tidaklah Rabbmu lupa. (Maryam: 64)

Anggapan yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ru’yah dalam hadits tersebut adalah ru`yah dengan ilmu atau perkiraan kuat akan wujudul hilal, [2] atau imkanur ru`yah, [3] dan bukan bermakna ibadah dengan pelaksanaan ru`yah itu sendiri, maka anggapan ini adalah anggapan yang tertolak. Karena kata “ru’yah” dalam hadits tersebut hanya mengenai satu obyek saja, sehingga yang dimaksud dengannya tidak lain adalah ru’yah bashariyah (ru`yah dengan indera penglihatan/mata), bukan ru’yah ilmiyah (ru`yah dengan ilmu hisab). Juga karena para shahabat Nabi memahami bahwasanya kata “ru`yah” dalam hadits tersebut bermakna ru`yah dengan mata kepala, sementara mereka adalah orang-orang yang paling mengerti tentang Bahasa ‘Arab dan paling mengerti tentang maksud syari’ah ini daripada orang-orang generasi setelahnya.

Demikianlah pula, berlangsungnya praktek amalan tersebut (ru`yatul hilal) pada zaman Nabi dan zaman shahabat. Mereka sama sekali tidak menyerahkan permasalahan penetapan waktu tersebut kepada para ahli hisab.

Tidak benar pula sebuah pendapat yang mengatakan bahwasanya ketika Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda

« فإن غم عليكم فاقدروا له »

Jika terhalangi oleh kalian awan, maka tentukanlah untuknya. (HR. Al-Bukhari 1767 dan Muslim 1799)

Beliau memaksudkan dengannya adalah perintah kepada kita agar memperkirakan posisi-posisi Bulan, supaya kita dapat mengetahui berdasarkan Hisab kapan awal masuk dan berakhirnya bulan (qamariyah).

(Pendapat tersebut tidak benar) karena kalimat riwayat tersebut telah ditafsirkan oleh riwayat :

« فاقدروا له ثلاثين »

Tentukanlah menjadi 30 hari [4] . (HR. Muslim 1796)

dan yang semakna dengannya.

Anehnya, bersamaan dengan itu, orang-orang yang menyerukan kepada penyatuan awal masuknya bulan, mereka bersandar kepada Hisab posisi-posisi Bulan baik dalam cuaca cerah maupun mendung, padahal dalam hadits itu sendiri hanya membatasi “penentuan”, yaitu ketika langit dalam keadaan mendung. [5]

b. Sesungguhnya sandaran penetapan bulan qamariyah dengan cara ru`yatul hilal adalah telah sesuai dengan maksud dan tujuan dari Syari’at Islamiyyah yang mudah. Karena ru’yatul hilal (melihat hilal) merupakan suatu perkara umum yang memudahkan kebanyakan manusia, baik dari kalangan orang-orang yang awam maupun orang-orang yang khusus, baik mereka yang hidup di pedalaman padang pasir maupun di daerah perkotaan. Berbeda halnya kalau seandainya syari’at menyandarkan hukum penetapan waktu tersebut dengan Hisab. Maka hal tersebut hanya akan menimbulkan kesulitan dan tidak sesuai (bertentangan) dengan maksud dan tujuan Syari’at Islamiyyah. Karena mayoritas umat ini, mereka tidak mengerti tentang ilmu Hisab.

Klaim yang menyatakan bahwa sifat ummi (tidak mengerti) Hisab Astronomis telah sirna dari umat ini, merupakan klaim yang tidak bisa diterima. Kalaupun seandainya klaim tersebut bisa diterima, maka tetaplah yang demikian itu tidak bisa mengubah hukum Allah. Karena penetapan syari’at ini bersifat umum untuk umat (yang berlaku) di segenap masa/zaman.

c. Bahwasanya para ‘ulama umat ini pada masa awal-awal Islam dahulu, mereka semua telah sepakat tentang penggunaan cara ru’yah ini untuk penetapan bulan-bulan qamariyah, tidak dengan menggunakan Hisab (perhitungan). Tidak pernah diketahui ada salah seorang dari mereka (para ‘ulama pada awal Islam) menggunakan sistem Hisab dalam penetapan bulan-bulan qamariyah, baik ketika langit terlihat mendung dan yang semacamnya, terlebih lagi kalau langit cerah, mereka (para ulama tersebut) sama sekali tidak memakai cara Hisab.

d. Penentuan jeda waktu (antara tenggelamnya Matahari dan Bulan di ufuk barat) sehingga dengannya memungkinkan terlihatnya hilal setelah terbenamnya Matahari, jika tidak ada suatu penghalang, merupakan bagian dari perkara-perkara yang bersifat ijtihadiyah (tidak pasti) yang para tokoh ahli hisab sendiri telah bersilang pendapat dalam menentukannya. Demikian pula dalam menentukan faktor penghalang (terlihatnya hilal). Maka bersandar pada Hisab Falaki pun dalam penentuan waktu-waktu ibadah tidak bisa merealisasikan persatuan yang mereka dengung-dengungkan. Oleh karena itu datanglah syari’at ini yang memberikan ketetapan dengan cara ru’yatul hilal saja tidak dengan cara Hisab, sebagai rahmat bagi umat dan menutup segala perselisihan, serta untuk mengembalikan umat ini kepada perkara yang bisa diketahui oleh semua lapisan di manapun mereka berada.

Dan hendaklah menjadi perhatian, bahwasanya perbedaan mathla’ termasuk dari perkara-perkara yang terdapat padanya perselisihan pendapat di kalangan para ‘ulama. Hai’ah Kibarul ‘Ulama (Majelis Tinggi ‘Ulama Besar Kerajaan Saudi Arabia) telah mempelajari hal ini di dalam salah satu Daurah (pertemuan rutin) yang dilaksanakan beberapa waktu yang lalu, dan mereka telah mengambil sebuah keputusan yang telah disepakati oleh mayoritas, yaitu :

Sungguhnya pendapat yang paling kuat dalam hal ini adalah pendapat yang mengatakan bahwasanya di setiap negeri dapat melakukan ru’yatul hilal sendiri, serta wajib atas mereka untuk mengembalikan permasalahan tersebut kepada para ‘ulama. Ini sebagai bentuk pengamalan hadits Rasulullah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam shahihnya dari Kuraib dari shahabat Ibnu Abbas.

عن كريب أن أم الفضل بنت الحارث بعثته إلى معاوية في الشام . قال: فقدمت الشام فقضيت حاجتها، واستهل علي رمضان وأنا بالشام ، فرأيت الهلال ليلة الجمعة ، ثم قدمت المدينة آخر الشهر، فسألني عبد الله بن عباس، ثم ذكر الهلال فقال : متى رأيتم الهلال ؟ فقلت : رأيناه ليلة الجمعة. فقال: أنت رأيته. فقلت: نعم، ورآه الناس وصاموا وصام معاوية ، فقال: لكنا رأيناه ليلة السبت فلا نزال نصوم حتى نكمل الثلاثين أو نراه . فقلت: أولا تكتفي برؤية معاوية ؟ فقال: لا، هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم

Dari Kuraib bahwasanya Ummul Fadhl bintu Al-Harits telah mengutusnya untuk menghadap Mu’awiyah di Syam. Kuraib berkata : Sampailah aku di negeri Syam, dan aku selesaikan keperluan-keperluannya. Hingga terlihatlah hilal Ramadhan sementara aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku kembali ke kota Madinah pada akhir bulan. Maka bertanyalah ‘Abdullah bin ‘Abbas kepadaku, hingga kemudian dia menyebutkan tentang hilal. Ibnu ‘Abbas bertanya : “Kapan kalian melihat hilal?” Aku (Kuraib) menjawab : “Kami melihatnya pada malam Jum’at.” Kemudian dia (Ibnu Abbas) bertanya lagi : “engkau sendiri melihatnya?” Aku katakan: “Ya, dan penduduk Syam juga melihatnya. Maka merekapun melaksanakan shaum (berdasarkan ru`yah tersebut), demikian juga Mu’awiyah juga melaksanakan shaum (berdasarkan ru`yah tersebut). Ibnu ‘Abbas kemudian berkata : “Namun kami di sini melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus bershaum hingga kami sempurnakan 30 hari atau kami melihat hilal sebelumnya.” Aku (Kuraib) katakan : “Apakah engkau tidak mencukupkan (untuk mengikuti hasil) ru’yah yang dilakukan Mu’awiyah?” Maka Ibnu Abbas berkata : “Tidak, demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam memerintahkan kepada kita.” (HR. Muslim 1087)

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya ru’yatul hilal yang teranggap (bisa dijadikan patokan) adalah ru`yatul hilal negeri Makkah saja, maka pernyataan seperti ini adalah tidak memiliki sumber yang jelas dan tidak memiliki dalil atasnya. Pernyataan tersebut memberikan suatu konsekuensi bahwasanya tidak wajib berpuasa jika di daerah Makkah belum terlihat hilal walaupun di tempat lain telah terlihat hilal.

Sebagai penutup aku meminta kepada Allah untuk melimpahkan nikmat-Nya kepada kaum muslimin berupa pemahaman terhadap agamanya dan beramal dengan Kitab-Nya (Al-Qur`an) dan sunnah (hadits-hadits dan bimbingan) Nabi-Nya, dan semoga Allah melindungi mereka dari bahaya fitnah-fitnah. Semoga Allah mengangkat penguasa bagi mereka (kaum muslimin) dari kalangan orang-orang pilihan yang baik. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat.

وصلى الله وسلم على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين .

* * *

Sumber : Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Ibn Baz (juz 15 / hal. 109-114)

[1] Pernyataan Samahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah yang diterbitkan di majalah Al-Jami’ah Al-Islamiyyah (Universitas Islam) di kota Al-Madinah Al-Munawwarah – Saudi ‘Arabia, tahun 1394 H.

[2] Wujudul Hilal adalah salah kriteria penentuan awal bulan Qamariyyah berdasarkan ilmu Hisab Falaki. Kriteria ini menyatakan bahwa awal bulan dimulai ketika pada waktu maghrib, Matahari tenggelam terlebih dahulu dibanding Bulan setelah sebelumnya terjadi ijtima’ Matahari-Bulan. Sehingga kriteria ini murni berdasarkan Hisab, tanpa memperhitungkan apakah hilal saat itu benar-benar bisa diru`yah ataukah tidak. Berapapun ketinggian hilal saat itu juga tidak diperhatikan. Selama ketinggiannya positif, Matahari tenggelam terlebih dahulu, dan didahului ijtima’, maka berarti bulan qamariyyah sudah masuk, karena menurut mereka dalam kondisi tersebut berarti hilal sudah wujud (ada/terjadi) di ufuk langit. Kriteria ini dianut oleh Perserikatan Muhammadiyah, dan lainnya.

[3] Imkanur Ru`yah adalah salah satu kriteria penentuan awal bulan Qamariyyah berdasarkan ilmu Hisab Falaki. Kriteria ini tidak hanya menghitung kondisi wujudul hilal, tapi juga menetapkan ketinggian tertentu dan kondisi-kondisi lainnya supaya hilal memungkinkan untuk dilihat. Yakni sekadar memungkinkan secara perhitungan. Dalam penentuan ketinggian hilal saja, mereka berbeda-beda. Ada yang mematok 2 derajat, ada yang 4 derajat, ada yang 7 derajat, bahkan ada yang 12 derajat. Ada pula yang menyatakan bahwa mematok ketinggian tertentu untuk hilal tidak cukup, tapi harus dipadukan dengan faktor-faktor lain. Dan seterusnya. Kriteria ini di antaranya dianut oleh NU.

[4] Sehingga makna “perkirakanlah” adalah ikmal (menggenapkan) bilangan bulan menjadi 30 hari. Bukan bersandar kepada Hisab Falaki.

[5] Yakni kalau seandainya mereka konsekuen berdalil dengan hadits Nabi :

« فإن غم عليكم فاقدروا له »

“Apabila hilal terhalangi atas kalian, maka tentukanlah.”

Bahwa maksud hadits tersebut adalah tentukanlah dengan menggunakan ilmu Hisab Falaki, mestinya mereka baru menggunakan Hisab Falaki ketika kondisi cuaca mendung, karena hadits tersebut hanya berkaitan ketika kondisi mendung. Ternyata faktanya, mereka tetap menggunakan Hisab Falaki, baik ketika mendung maupun cerah.

http://www.assalafy.org/mahad/?p=336


Tinggi, Potensi Beda Lebaran
Sumber : Kompas

Meski sebagian besar umat Islam Indonesia mengawali puasa Ramadhan secara bersama-sama pada 1 Agustus 2011, potensi untuk berbeda waktu dalam mengakhiri ibadah Ramadhan masih tinggi. Sebagian kelompok akan ber-Lebaran pada hari Selasa (30/8/2011) besok atau berpuasa selama 29 hari, sedangkan kelompok lain baru akan ber-Lebaran pada hari Rabu (31/8/2011) lusa, atau berpuasa Ramadhan 30 hari.

Perbedaan penentuan awal bulan (dengan b kecil, month) hijriah di Indonesia merupakan persoalan klasik yang sudah berlangsung sejak dulu. Perbedaan terjadi bukan karena perbedaan cara menentukan awal bulan, yaitu dengan hisab (perhitungan) atau rukyat (pengamatan). Mereka yang menggunakan rukyat juga harus melakukan hisab terlebih dahulu untuk mengetahui posisi dan umur hilal atau bulan sabit muda.

"Perbedaan terjadi karena hingga kini belum adanya kesepakatan organisasi-organisasi massa Islam di Indonesia tentang kriteria penentuan awal bulan hijriah," tegas Profesor Riset Astronomi-Astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional yang juga anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama Thomas Djamaluddin, Senin (29/8/2011), ini.

Di luar persoalan belum adanya keseragaman kriteria, ada pula persoalan kelompok-kelompok kecil umat Islam yang sering kali menentukan awal bulannya berbeda dengan ketetapan pemerintah ataupun ormas Islam besar. Perbedaan ini terjadi karena data hisab yang mereka gunakan masih mengacu kepada sistem lama yang tidak pernah diperbarui. Padahal, data gerak benda-benda langit sebagai dasar penentuan awal bulan hijriah membutuhkan pembaruan secara berkelanjutan.

Awal bulan

Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menunjukkan, ijtimak atau kesegarisan Matahari-Bulan-Bumi sebagai penanda pergantian bulan baru untuk 1 Syawal 1432 terjadi pada Senin, 29 Agustus pukul 10.04 WIB. Pada saat Matahari terbenam hari ini, ketinggian hilal di seluruh wilayah Indonesia berkisar antara minus 0,1 derajat hingga 1,60 derajat. Sedangkan jarak sudut antara Matahari dan Bulan berkisar antara 5,58 derajat dan 6,83 derajat. Umur Bulan saat Matahari terbenam berkisar antara 5,50 jam dan 8,62 jam.

Akibat perbedaan kriteria penentuan awal bulan yang berbeda antar-ormas Islam, perlakuan terhadap data ijtimak itupun akhirnya berbeda-beda. Salah satu ormas Islam yang menggunakan kriteria wujudul hilal atau terbentuknya hilal, jauh-jauh hari sebelumnya sudah menetapkan Idul Fitri 1 Syawal 1432 jauh pada Selasa (30/8). Dari data hilal di atas, hilal memang sudah terbentuk di sebagian wilayah Indonesia.

Kriteria yang digunakan ormas ini tidak mensyaratkan hilal bisa diamati atau terbentuknya hilal di seluruh Indonesia. Sementara itu, dua ormas Islam lainnya, berdasarkan hisab yang dilakukannya menetapkan 1 Syawal pada Rabu (31/8/2011). Namun, alasan kedua ormas ini berbeda.

Satu ormas menggunakan kriteria imkanur rukyat atau kemungkinan hilal bisa diamati, baik dengan mata telanjang maupun teleskop. Untuk bisa diamati, sesuai kriteria yang digunakan Majelis Agama Islam Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), hilal harus memiliki ketinggian minimal 2 derajat, jarak sudut Bulan-Matahari 3 derajat, dan umur hilal minimal 8 jam.

Jika hilal bisa dilihat, Selasa besok adalah hari raya Idul Fitri. Namun, jika tidak berhasil melihat hilal, puasa Ramadhan akan disempurnakan menjadi 30 hari dan Lebaran hari pertama pada Rabu (31/8) lusa. Namun, dengan syarat minimal itu, dipastikan hilal tidak bisa diamati Senin petang ini karena ketinggiannya di seluruh Indonesia masih berada di bawah 2 derajat.

Meski demikian, perhitungan teoretis ini harus dipastikan dan dibuktikan melalui rukyat. Jika ternyata diperoleh laporan ada yang melihat hilal, kesaksian pengamatan hilal itu patut dipertanyakan kebenarannya. Bisa jadi, apa yang diamati dan dilaporkan sebagai hilal, sejatinya adalah benda langit lain yang mirip dengan hilal.

Mengamati hilal bukan perkara mudah karena mereka harus mencari cahaya tipis Bulan saat langit masih cukup terang oleh cahaya Matahari. Keraguan atas dilihatnya hilal dalam usia kurang dari 8 jam merupakan hal wajar. Pasalnya, rekor terendah untuk hilal yang bisa diamati di era astronomi modern adalah hilal berumur 16 jam.

Satu ormas lainnya sudah menetapkan Idul Fitri pada Rabu (31/8) karena menggunakan kriteria wujudul hilal dan kesatuan wilayah hukum Indonesia. Pada Senin (29/8) petang, hilal memang sudah wujud. Tetapi, hanya di beberapa wilayah, khususnya Indonesia bagian barat. Karena di Indonesia timur hilal belum wujud, maka mereka menetapkan Idul Fitri jatuh pada Rabu (31/8).

Hisab dan rukyat sebenarnya bisa seiring sejalan. Mereka yang menggunakan hisab dan rukyat dapat ber-Lebaran bersama jika kriteria yang digunakan dalam penentuan awal bulan sama, yaitu dengan menerapkan kriteria minimal hilal yang memungkinkan untuk diamati.

Menurut Thomas, rukyat tidak dapat ditinggalkan dan hanya mengandalkan hisab semata, karena landasan hukum agama (syar'i) yang kuat memang memerintahkan untuk mengamati hilal.

Kriteria bersama penentual awal bulan hijriah harus segera ditentukan bersama. Jika tidak, perbedaan penentuan Idul Fitri maupun hari raya lainnya akan terus terjadi. Perbedaan memang rahmat dan indah, tapi kebersamaan akan menciptakan kuatnya ukhuwah....



Demikian, apabila ada kesalahan saya membuka kesempatan untuk koreksi atau perbaikan.
Semoga bermanfaat... :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar