Assalamu'alaykum...

Selamat Datang.... ^_^

Minggu, 18 September 2011

Korea, Cuka dan Cinta (3)


Sebelumnya:
Aku sudah menginjakkan kaki di sebuah negara asing, Korea. Tempat dimana kemudian aku merasa sendiri. Aku bertemu dengan Rika, penerjemah baru yang akan mendampingiku. Aku juga mendapati sebuah bangunan megah yang ternyata itulah rumah ayahku. Kini, di sinilah aku tinggal. Hari-hariku kemudian berkenalan dengan banyak hal baru. Mulai dari berbagai menu makan yang asing dan rasanya tidak familiar dengan lidah kampungku. Kemudian sebuah restoran, cuka kesemek dan tentu saja, akulah yang akan memiliki dan mengelolanya. Aku di hadapkan untuk terhadap sebuah pilihan : menerima atau menolak wasiat itu. Dan aku masih bingung. Bingung dengan diriku dan bingung dengan inginku.




Belum waktunya untuk menutup restoran, tapi hari itu Tuan Park Min Ji memintaku pulang lebih dulu. Aku tidak tahu alasannya apa, tapi wajahnya mengisyaratkan sebuah permintaan tulus. Akhirnya kuturuti untuk pulang lebih awal.

Begitu mobil itu berhenti di depan pintu masuk, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Rumah ini kurasakan lebih hangat dari biasanya. Hatiku merasa lebih bahagia dari sebelumnya. Seakan ada yang sedang menungguku pulang. Ada seseorang yang menanti kehadiranku. Tak sabar aku segera masuk dengan langkah setengah berlari.

Bunda Naira?

Aku tak percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Benarkah ini nyata? Atau hanya mimpi belaka? Berkali-kali aku mengedipkan mata. Dan Bunda Naira masih berdiri di hadapanku. Tersenyum menyambutku seperti yang biasa dilakukannya selama di panti asuhan.

“Kemarilah, Yudha. Apakah kamu tidak merindukan Bunda?”

Serta merta aku menghambur memeluknya. Aku pulang. Sekarang aku merasa benar-benar pulang. Ada kehangatan kasih sayang yang menyambut kedatanganku. Ada wajah teduh yang menyambutku dengan senyuman hangat.

Aku seperti anak yang menemukan kembali ibunya. Aku memeluknya erat. Lalu mengajaknya duduk.

“Kamu tampak sangat letih, Yudha. Apakah kamu selama ini bekerja sangat keras? Sesibuk apapun pekerjaanmu, usahakan untuk mengistirahatkan badanmu. Jangan sampai kamu sakit,” Bunda Naira membelai lembut rambutku, sesuatu yang sangat kurindukan.
Bagiku Bunda Naira adalah ibuku. Dialah yang membesarkan dan merawatku sejak kecil. Mungkin itulah kesepian yang selama ini kurasakan, aku kehilangan Bunda Naira dari sisiku. Aku merindukannya. Kini, setelah melihatnya aku merasa sangat bersemangat. Semua lelah yang biasanya menggelayuti tubuhku seakan sirna.

“Bunda, tunggulah sebentar. Aku akan menyiapkan makan malam untuk kita. Aku akan masak sendiri untuk Bunda,” aku segera menuju dapur.

Teringat akan pengalaman pertamaku dengan hidangan korea, maka kali ini pun kuputuskan untuk memasak yang sederhana saja. Aku membuat nasi gulung Gimbab dengan isi tuna, Samgyetang (sup ayam ginseng), Maeuntang (sup ikan pedas), Bulgogi (daging sapi panggang), dan Doenjang Jjigae (sup pasta kedelai).

“Wah… banyak sekali. Memangnya mau mengundang siapa?” tanya Bunda Naira takjub melihat makanan yang terhidang.

“Ah, ini tidak seberapa Bunda. Pertama kali aku sampai di sini, makanan yang dihidangkan lebih banyak lagi. Ini hanya untuk kita berdua saja Bunda,” aku mempersilahkan Bunda Naira duduk.

“Tapi ini kan banyak sekali. Mubazir, Yudha.”

Komentar yang sama seperti ketika pertama kali aku melihat hidangan sebanyak ini.

“Tidak apa-apa Bunda. Oh iya, ini teh ginseng. Kalau yang ini sari buah kesemek. Bunda wajib mencobanya.”

“Kamu memasak semua ini sendiri?” tanya Bunda sanksi.

Aku mengangguk, “pasti Bunda tidak percaya kan? Karena selama di Depok, aku bahkan enggan menginjakkan kaki di dapur. Tapi selama di sini, aku seperti ditarik magnet untuk masuk dapur dan memasak berbagai masakan.”

“Bunda seperti melihat sosok lain dari seorang Yudha. Tapi Bunda senang, kamu kelihatan bahagia di sini. Inilah kehidupan yang seharusnya kamu jalani sejak sekian lama, Yudha. Tapi Tuhan baru mengijinkanmu menjalaninya sekarang.”

“Tapi di sini aku kesepian Bunda. Aku merindukan Bunda, Mang Hamdan, Mang Sabri, Mang Ujang dan teman-teman panti lainnya. Aku merindukan masa-masa yang kulewati selama di Depok.”

Bunda Naira tertawa. Entah karena cahaya di ruang makan itu atau hanya karena baru kusadari saat itu, tampak jelas beberapa kerutan di wajah teduh Bunda Naira. Tapi tawa renyah itu masih sama, hangat dan penuh cinta. Tidak ada yang berubah dalam diri Bunda Naira selain fisiknya yang mulai jelas menampakkan tanda-tanda penuaan.

“Kamu kesepian di tengah segala kesibukanmu? Itu karena kamu belum terbiasa. Lama kelamaan kamu akan menikmatinya. Kalau kamu rindu dengan kami yang di Depok, kamu bisa datang kapan saja. Kami akan selalu membuka lebar-lebar pintu hati dan pintu rumah kami untukmu. Tapi tugas utama kamu adalah di sini, menunaikan wasiat ayahmu. Karena memang di sinilah tempatmu.”

Aku tahu Bunda Naira pasti akan mengatakan hal itu. Tapi berbeda ketika tuan Park Min Ji mengatakan hal yang sama, kali ini aku merasa lebih lega, tenang dan ringan.

“Oh iya, ngomong-ngomong bagaimana ceritanya Bunda bisa kesini?” tiba-tiba aku teringat pertanyaan yang sedari tadi kusimpan.

“Oh itu, Tuan Park Min Ji menelpon panti dan meminta ibu bersiap-siap untuk menemuimu di sini. Beberapa hari kemudian orang suruhan tuan Park Min Ji menjemput Bunda. Lalu sampailah Bunda di sini. Awalnya bunda terkejut saat sampai di sini dan dijelaskan bahwa ini rumahmu,” Bunda menjelaskan garis besar kisahnya.

“Siapa yang mendampingi Bunda? Bunda tidak mungkin mengerti pembicaraan mereka kan?” tanyaku lagi.

“Tentu saja ada yang mendampingi Bunda. Sama seperti waktu Tuan Park Min Ji menemuimu di panti dulu. Namanya Rika,” jawab Bunda.

Aku tersenyum. Sudah kuduga. Pasti Rika yang diminta Tuan Park Min Ji.

Kami menikmati hidangan malam itu. Bunda Naira berkali-kali memuji hasil masakanku.

“Bunda masih tidak percaya bahwa ini adalah hasil masakanmu. Seorang Yudha yang tidak pernah menyentuh dapur ternyata bisa membuat masakan yang sangat lezat,” puji Bunda.

“Ini saja menurut Tuan Park, masakanku masih belum selezat masakan kakek dan ayah. Jika aku bisa memasak dengan segenap hati, maka hasilnya akan lebih lezat lagi. Atau karena aku memasak untuk Bunda kali ini dengan segenap hati, maka masakannya lebih lezat dari biasanya?”

“Kalau kamu memasak hanya asal memasukkan bahan dan mencampurnya dengan bumbu hingga matang, maka itu hanya akan menjadi makanan yang mengenyangkan tapi tidak memberi efek manfaat lainnya selain perut penuh makanan. Tapi jika kamu memasak dengan segenap hatimu, mereka yang menikmati hasil masakanmu akan merasakan maksud hatimu. Tidak hanya itu, makanan yang dimasak dengan segenap cinta akan membuat orang yang menikmatinya merasa bahagia dan sehat. Itulah kenapa makanan itu merupakan hal yang sangat diperhatikan juga dalam islam. Asalnya harus dari yang halal, memasaknya harus dengan mengucap Basmallah, dengan segenap cinta, memperhatikan nilai gizi dan nutrisi. Maka tidak sekedar membuat perut kita penuh makanan, tapi juga membuat perasaan kita lebih nyaman, bahagia dan tubuh kita menjadi sehat.”

Aku mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasan Bunda Naira.

“Baiklah, kalau begitu mulai besok aku akan memasak dengan segenap hati, penuh cinta dan mengikuti semua saran Bunda.”

Bunda hanya membalas dengan tawa renyahnya. Aku pun ikut tertawa bersamanya.

Aku mengajak Bunda Naira ke ruang tengah.

“Ini Metteok, kue dari tepung beras, isinya ada macam-macam Bunda tinggal pilih, kacang hijau, kacang merah, madu, kismis, atau wijen. Kalau yang ini namanya Yugwa, kue beras tapi digoreng. Nah, yang satu paket ini namanya Hahngwa,” kataku sambil menjelaskan beberapa kue camilan yang ada di meja.

“Ini kamu juga yang memasak?” tanya Bunda takjub.

“Bukan, Bunda. Ini pelayan yang menyiapkannya.”

Kami belum mulai menikmati hidangan itu ketika tiba-tiba pelayan menyampaikan ada tamu untukku. Rika sudah berdiri di belakang pelayanku sebelum aku sempat bertanya siapa tamu itu.

“Rika, kemarilah.”

Rika tersenyum, menunduk hormat kepada Bunda Naira dan duduk di kursi sebelah Bunda.

“Maaf jika mengganggu. Aku hanya ingin menyampaikan buku ini,” Rika menyerahkan sebuah buku kepadaku.

“Kulihat kemampuanmu dalam bahasa Korea semakin baik. Buku ini akan sangat membantumu. Ada beberapa percakapan umum dan kosa kata yang akan bermanfaat untukum,” Rika menjelaskan maksudnya memberikan buku itu.

“Oh.. terimakasih, Rika.”

“Ini Rika yang tadi sama Bunda itu, Yudha,” Bunda menengahi percakapan kami.

“Iya, aku tahu waktu Bunda menyebut namanya. Setahuku hanya ada satu Rika yang sering dipercaya Tuan Park untuk menjadi penerjemah bahasa.”

Aku melirik Rika dan tersenyum. Rika tertunduk, tersenyum malu.

Tanpa kusadari ternyata Bunda Naira memperhatikan kami.

“Kalian ini sepertinya sangat akrab ya. Kalau begitu, Bunda akan semakin tidak mengkhawatirkanmu lagi Yudha, selama ada Rika maka kamu akan baik-baik saja. Setidaknya Rika akan membantumu bertahan di sini,” Bunda menepuk punggung tanganku.

Aku menatap wajah Rika yang terkejut mendengar ucapan Bunda Naira.

“Bukan, Bunda. Itu semua karena kebaikan dan kemurahan hati Rika makanya tidak sekedar menjadi penerjemah untukku tapi juga mengajari bahasa Korea,” jawabku berusaha menetralkan kembali suasana.

Malam itu adalah malam terindahku selama di Seoul. Ada Bunda Naira dan Rika bersamaku, membicarakan banyak hal hingga tak terasa malam semakin larut.


(bersambung...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar