Assalamu'alaykum...

Selamat Datang.... ^_^

Minggu, 18 September 2011

Korea, Cuka dan Cinta (2)



Sebelumnya :
Kehidupanku berubah total. Aku tak lagi sekedar anak yatim piatu yag besar di panti asuhan dengan keseharianku yang hanya terbatas di Depok saja. Aku baru tahu kalau dalam tubuhku ternyata bukan darah China yang mengalir melainkan darah Korea. Tak hanya itu, ada seorang bermata sipit yang menemuiku dan meminta untuk ikut bersamanya ke Korea. Ada wasiat ayah kandungku, Yoon Sang Hyun, menantiku di Korea.


Aku benar-benar meninggalkan Depok, duniaku selama ini. Dan hari ini aku menginjakkan kakiku di sebuah tanah asing. Hanya bersama Tuan Park Min Ji, tanpa Bu Santi. Sungguh, itu membuatku takut. Bagaimana jika Tuan Park Min Ji mengajakku bicara dan aku tidak mengerti apa maksudnya? Bagaimana aku harus menjawabnya? Kuputuskan untuk diam dan mengikuti saja kemanapun Tuan Park Min Ji melangkah.

Aku sempat membaca tulisan di bandara itu saat kami turun dari pesawat. Incheon, sepertinya itulah nama bandara ini. Bagus. Meskipun selama ini aku hanya hidup di duniaku yang kecil, Depok. Tapi setidaknya aku sudah melewati tiga bandara hari ini, Soekarno-Hatta, Changi dan Incheon.

Tiba-tiba Tuan Park Min Ji menepuk pundakku. Tersenyum dan menunjuk ke arah pintu. Kurasa, itu arah pintu keluar. Dan di sana banyak yang sudah menanti kami, termasuk seorang wanita berkulit sawo matang khas Indonesia. Aku merasa sedikit lega. Ternyata dugaanku benar. Namanya Rika, seorang penerjemah. Dia bertugas untuk mendampingiku dan membantu berkomunikasi dengan mereka yang kini menyambutku bagai seorang pelayan menyambut majikannya.

“Mereka ini adalah pelayan setia Tuan Yoon Sang Hyun. Mereka berada di sini untuk menjemput Anda,” Rika menjelaskannya padaku.

“Oh… Tolong sampaikan pada mereka, terimakasih,” kataku.

Rika pun segera menyampaikannya dalam bahasa yang masih tak kumengerti hingga kini.
Selanjutnya kami pun melaju ke rumah peninggalan ayahku, kata mereka. Aku sangat terkejut ketika mendapati sebuah bangunan yang lebih mirip seperti hotel dan mereka mengatakan bahwa itu rumah ayahku. Tak hanya itu, rumah itu hanya dihuni oleh para pelayan sejak ayahku meninggal. Aku mulai berfikir, sungguhkah ayahku ini tidak menikah lagi setelah berpisah dari ibu? Apakah benar bahwa dia hidup sendiri di rumah sebesar ini? Lalu apa enaknya tinggal sendirian? Seandainya rumah ini dekat dengan Depok, maka aku akan meminta Bunda Naira dan anak-anak panti lainnya menempatinya. Setidaknya rumah ini lebih layak dan nyaman untuk dihuni anak-anak panti daripada rumah kami di Depok yang sempit itu. Ah, tapi jarak Depok dan Korea sungguh sangat jauh.

Rika terus menerjemahkan setiap perkataan Tuan Park Min Ji yang mengajakku untuk keliling rumah itu. Melelahkan. Pasti. Hingga akhirnya sampailah aku di sebuah ruangan yang kata mereka itulah kamarku. Ruangan itu lebih tepat disebut rumah daripada kamar. Bagaimana tidak, luasnya kira-kira sama dengan salah satu rumah yang ditempati oleh anak-anak panti di Depok. Tapi meskipun demikian, aku tidak menemukan apapun di sana, selain kesunyian dan kesepian.

Akhirnya mereka meninggalkanku sendiri. Mungkin aku terlalu lelah hingga tak sadar sudah terlelap dalam mimpi.
***

Keesokan harinya, Rika dan Tuan Park Min Ji sudah menunggu ku di sebuah ruangan yang tak kalah besarnya dengan kamarku. Bedanya, di sana ada meja besar dan panjang yang penuh dengan berbagai macam makanan. Aku duduk ketika Rika mempersilakan. Lalu aku terdiam. Kupikir, masih ada lagi orang yang ditunggu mengingat banyaknya macam makanan yang tersedia.

“Silakan dimulai,” kata Rika setelah sekian lama aku terdiam.

“Maaf? Apanya yang dimulai?” tanyaku polos.

“Tentu saja sarapannya,” jawabnya.

“Heh? Saya? Bukankah masih harus menunggu yang lain?”

“Tidak ada lagi. Hanya kita bertiga,” Rika tersenyum.

“Eh… Tapi makanan ini terlalu banyak untuk dimakan kita bertiga. Saya rasa masih ada lagi yang ditunggu.”

“Tidak ada lagi yang ditunggu. Memang begini kebiasaan di rumah ini. Selalu ada sekian macam makanan setiap kali waktu makan telah tiba. Berapapun orang yang akan menikmatinya, tapi macamnya selalu sekian banyak,” jelas Rika.

Aku tercekat. Sebanyak ini? Dan hanya kami bertiga? Mubazir sekali, pikirku.
Tapi aku tidak bisa menolak dan tidak bisa berlama-lama menunda. Aku mulai mengambil makanan yang terdekat. Meskipun setelahnya aku menyesal telah mengambilnya. Aku benar-benar tidak tahu cara makannya. Maka aku hanya meletakkannya saja di piringku. Sejenak Rika dan Tuan Park Min Ji menatapku heran.

“Apa tidak ada masakan Indonesia saja? Saya tidak tahu cara makannya,” bisikku pada Rika menghindari kesalahpahaman mereka.

Rika tersenyum maklum. Mungkin dia cukup menyadari asal usulku sebelumnya yang dari daerah pinggiran kota di Depok. Rika menoleh kea rah Tuan Park Min Ji dan menjelaskan sebelum ada kesalahpahaman.

Tuan Park Min Ji tersenyum simpul.

“Ini namanya Gimbab. Nasi gulung dengan isi. Cobalah,” Rika menaruh beberapa makanan di piring dan meletakkannya di hadapanku menggantikan piringku sebelumnya yang hanya kudiamkan.

“Nah, yang ini Samgyetang atau sup ayam ginseng. Kalau yang ini Bulgogi, daging sapi panggang. Oh iya, satu lagi. Ini namanya Maeuntang, sup ikan pedas. Ini adalah menu andalan di restoran ayah Anda. Cobalah,” Rika semangat sekali memperkenalkan beberapa makanan dan menawarkannya padaku.

Aku penasaran dengan sup ikan pedas yang Rika bilang sebagai menu andalan di restoran ayahku. Aku mencicip sedikit… dan tersedak. Pedas dan rasa bumbunya aneh. Mungkin lidahku belum terbiasa saja. Selanjutnya aku memilih menikmati nasi gulung dan sup ayam.

Selesai sarapan, Rika menjelaskan padaku jadwal hari ini. Wah, sepertinya hari ini akan menjadi hari yang sangat berat melihat daftar jadwal yang dibacakan Rika.
Pertama, kami mengunjungi makam ayah di Gangbuk-gu, Seoul.

Kedua, kami menuju restoran kebanggan ayah, Yoon Sang Restaurant. Seperti di rumah, di sana pun semua pegawai sangat menghormatiku setelah Tuan Park Min Ji berbicara. Kurasa, dia mengatakan bahwa aku ini adalah putra dari Yoon Sang Hyun, pemilik restoran ini. Sedikit membuatku tak nyaman. Aku merasa begitu disanjung atas apa yang bukan milikku. Entahlah, semua masih begitu asing bagiku.

“Mereka meminta Anda untuk ke dapur. Ada yang ingin mereka tunjukkan untuk Anda,” Rika mempersilahkan ku untuk menuju dapur.

Di sini, aku lebih terkaget-kaget lagi. Tuan Park Min Ji membuka kulkas dan memberiku sebotol cairan.

“Ini adalah cuka kesemek yang telah disimpan selama 40 tahun. Yang di botol ini hanya sebagian. Sisanya masih ada beberapa botol lagi yang masih terpendam di suatu tempat. Wasiat Tuan Yoon Sang Hyun adalah memintamu untuk meneruskan usahanya di restoran ini, sedangkan beberapa bisnis lainnya diserahkan kepada saudaranya. Buatlah makanan yang lezat dengan cuka ini dan majukan usaha restoran ini,” Rika lancar sekali menerjemahkan semua perkataan Tuan Park Min Ji.

Aku? Memasak? Mengelola restoran? Cuka kesemek? Ah, apa yang bisa kulakukan? Selama di Depok aku tidak pernah menyentuh dapur. Aku selalu sibuk dengan pekerjaan berat kalaupun ada pekerjaan yang ringan maka hanya menunggu warung Mang Hamdan saja jawabannya. Dan kali ini aku dihadapkan dengan sebotol cuka kesemek berusia 40 tahun? Ah, ada-ada saja.
***

Bekerja dengan orang-orang yang tidak kumengerti dan tidak juga mengerti aku benar-benar pusing. Aku bahkan masih tidak mengerti kenapa aku mau-mau saja melaksanakan apa yang diminta tuan Park Min Ji? Kenapa aku mau saja berlatih memasak dengan koki-koki itu? Aku bukan chief dan tidak punya pengalaman memasak tapi kini sehari-hari mayoritas waktuku habis di dapur restoran.

Rika masih selalu mendampingiku. Menjadi jembatan komunikasi antara aku dan orang-orang di sekelilingku.

“Kamu tidak bisa seperti ini terus,” kata Rika suatu ketika.
Beberapa minggu bersama Rika, aku memintanya untuk tidak berbicara formal padaku. Setidaknya hanya dia seseorang yang sama-sama berasal dari Indonesia sepertiku. Sekalipun Rika bekerja di Korea, tapi ingin menganggapnya sebagai temanku layaknya di Indonesia.

“Apa maksudmu? Tidak seharusnya aku berbaur dengan mereka dan memasak masakan yang bahkan aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Aku memang tidak seharusnya berada di sini. Aku selalu merindukan Depok. Rindu Bunda Naira, Mang Hamdan, Mang Sabri, Mang Ujang dan teman-teman panti lainnya. Aku seharusnya…”

Buru-buru Rika memotong pembicaraanku,”bukan itu maksudku. Kamu tidak bisa bergantung padaku terus untuk berkomunikasi dengan mereka. Kamu harus mulai belajar bahasa Korea. Aku akan mengajarimu mulai hari ini. Bagaimana? Kau siap?”

Rika seakan tidak perlu menunggu jawabanku. Dia segera melesat meninggalkanku. Tapi tk lama kemudian dia sudah kembali duduk di sisiku dengan beberapa lembar kertas kosong.

“Aku akan mengajarimu huruf-huruf Korea atau disebut Hangul. Ini untukmu dan ikuti aku,” Rika mengulurkan kertas dan spidol.

Aku menerimanya, pasrah. Rika mulai menunjukkan cara menulis dan cara bacanya. Aku seperti murid yang patuh pada gurunya. Aku mengikuti caranya menulis dan mengulang cara baca huruf-huruf itu.

Hari itu aku memang masih belum bisa berkomunikasi dalam bahasa Korea, tapi setidaknya aku sudah mengenal huruf vocal dan konsonan yang diajarkan Rika. Rika memintaku menyimpan catatan tadi dan mempelajarinya setiap ada kesempatan.

“Sementara, itu dulu. Lumayan untuk pengenalan Hangul. Besok aku akan mengajarimu dengan tata bahasa dan kosa kata yang umum digunakan dalam percakapan sehari-hari. Setidaknya kamu bisa menyapa atau membalas sapaan pekerja di restoran dan pelayan rumahmu.”

Rika tersenyum penuh semangat. Ada binar indah di matanya yang jernih. Darahku terkesiap seketika. Terpesona pada sinar yang terpancar di wajahnya.

“Ayo, sudah waktunya kamu kembali ke dapur,” sapaannya menyadarkanku.

Aku segera berdiri dan melangkah ke dapur. Aku kembali ke meja dapur tempatku berlatih memasak. Aku difokuskan untuk menyiapkan masakan khas istana. Sejak melejitnya drama Dae Jang Geum, masakan istana yang sebelumnya hanya bisa dinikmati oleh para raja dan keluarganya menjadi sangat favorit di berbagai restoran di Seoul ini. Makanan ini terdiri dari berbagai jenis makanan yang memiliki harmonisasi yang memperlihatkan kontras karakter seperti panas dan dingin, pedas dan tawar, keras dan lembut, padat dan cair, serta keseimbangan warna. Masakan kerajaan yang sering dicari adalah Gujeolpan yang terdiri dari sembilan piring dengan sembilan macam masakan.

Semua masakan yang dihasilkan rata-rata menggunakan cuka kesemek peninggalan ayahku. Menurut beberapa pelanggan, rasa masakan kami sangat istimewa, lebih nikmat daripada masakan restoran sejenis. Mungkin benar jika cuka yang telah dipendam dalam tanah selama 40 tahun itulah sebabnya.

Menurut Tuan Park Min Ji, cuka kesemek itu dibuat ketika kakekku masih hidup. Beliau juga yang memilih tempat untuk menguburkan cuka tersebut. Barulah ketika ayahku menjadi penerus restoran ini, cuka itu mulai bisa dipakai dan ayahku pun melakukan hal yang samaseperti kakekku. Cuka yang dibuat ayahku pun disimpan di suatu tempat dimana hanya aku yang boleh tahu. Artinya, aku pun harus meneruskan tradisi itu juga nantinya. Tapi bagaimana caranya? Cuka kesemek? Sekarang saja aku masih tertatih mempelajari masakan-masakan yang begitu banyak jenisnya dan menurut Tuan Park Min Ji belum maksimal. Lalu aku harus mulai membuat cuka kesemek lagi untuk generasi selanjutnya? Aku benar-benar bisa gila.
***

“Hasil masakanmu enak. Sama seperti masakan koki yang lainnya. Tapi menurutku, kamu masih belum memaksimalkan seluruh kemampuanmu. Seandainya kamu melakukannya dengan segenap hati maka aku yakin hasilnya akan sama lezatnya seperti masakan ayah dan kakekmu,” komentar Tuan Park Min Ji ketika mencicipi hasil masakanku.

“Kalau kamu merasa tidak mampu melaksanakan wasiat ayahmu, kamu salah besar. Ingatlah ketika pertama kali kamu menyentuh dapur restoran ini. Kamu mampu membuat Samgyetang yang lezat. Padahal kamu baru sekali mencicipinya dan kamu sendiri bilang belum pernah bersentuhan dengan dapur. Itu artinya, jiwamu ada di sini. Di dapur inilah masa depanmu nanti,” Tuan Park Min Ji menepuk bahuku dan berlalu.

Masa depanku? Dapur? Restoran? Korea? Cuka Kesemek?

Aku bahkan belum menemukan titik terang tentang masa sekarang tapi Tuan Park Min Ji sudah memberiku harapan tentang masa depan? Harapan yang bahkan terlalu asing untuk kuterima dan kuyakini? Aku yang sebelumnya anak panti asuhan, seketika menjadi putra jutawan, pemilik restoran ternama di Seoul. Mungkin Tuhan sedang mempermainkanku, ah tidak, kurasa Dia sedang mengujiku.

Aku sering menghabiskan waktu sendiriku dengan mengunjungi makam ayahku. Seorang diri berbicara pada makam layaknya orang gila.

“Apa saya ini benar-benar anak Anda? Apa Anda tidak salah menunjuk orang? Apa Anda sedang mempermainkan hidup saya? Seandainya Anda tahu sejak 17 tahun lalu bahwa saya adalah anak Anda, kenapa tidak serta merta menjemput dan membesarkan saya? Kenapa membiarkan saya terlantar? Kenapa membiarkan saya tumbuh dengan kekurangan bahkan sekolah saja akhirnya tidak sanggup meneruskannya? Kenapa?”

Tapi sekeras apapun aku bertanya, makam itu tetap saja tidak akan bergeming. Tentu saja, kurasa aku sudah mulai gila karena semua hal aneh ini.

Selanjutnya aku akan menuruni bukit itu dengan lesu menuju mobil yang telah menungguku. Di rumah, aku pun merasa sendirian. Itulah alasanku kenapa lebih suka berlama-lama di restoran. Aku masih saja tak mengerti, bagaimana cara ayahku berfikir. Hidup sendirian di rumah sebesar dan semewah ini, apakah dia tidak pernah kesepian? Atau karena kesepian itulah dia berusaha menyembunyikan segala perasaannya di ruang-ruang kosong itu?
***

“Jadi kamu sudah mengambil keputusan?” tanya Rika lagi.

Aku menggeleng. Keputusan apa yang harus kuambil? Aku bahkan seperti tidak punya pilihan.

“Lalu kenapa kamu masih betah di sini?”

Pertanyaan itu seakan menusuk keras jantungku hingga berdarah, meninggalkan nyeri yang sangat.

Ya, apa yang kulakukan? Jika aku masih bingung mengambil keputusan lalu kenapa aku masih di sini? Sudah dua bulan berlalu dan aku masih tidak tegas mengambil keputusan. Aku masih mengambang antara mengiyakan atau menolak wasiat itu.
Apa mauku sebenarnya? Apa yang membuatku tetap bertahan di sini? Apa yang membuatku berat untuk meninggalkan tempat ini dan kembali ke Depok, bertemu dengan Bunda Naira, Mang Hamdan, Mang Sabri, Mang Ujang dan anak-anak panti lainnya? Apa alasannya?

“Aku tidak tahu, Rika.”

Kami berdua sama-sama diam. Merenung dan menjelajah pikiran serta hati masing-masing. Mungkinkah apa yang dikatakan Tuan Park Min Ji itu benar? Bahwa aku memang ditakdirkan untuk berada di sini? Benarkah bahwa masa depanku ada di sini? Bahwa hidupku akan dimulai dari sini? Benarkah bahwa di sinilah seharusnya aku berada?

“Mungkinkah di sinilah tempatku seharusnya berada, Rika? Mungkinkah aku nyaman karena ada rumah yang kutuju untuk pulang? Atau karena aku punya mereka yang sangat menghargaiku, menerima dan menunggu kedatanganku? Apakah karena aku sekarang menyadari bahwa kini kutahu siapa sebenarnya aku? Bahwa aku adalah separuh Korea dan separuh Bugis? Atau karena aku melihat foto ayah dan ibuku yang tersimpan rapi di kamar ayah? Setidaknya aku merasa ada yang menyayangiku dari jauh selama ini? Atau sekarang aku sudah berubah menjadi orang jahat, egois dan gelap mata karena materi?”
Rika menatapku dengan tatapan yang sulit untuk kuartikan. Ada iba, curiga dan bingung bergantian menghiasi wajah cantiknya.

“Mungkin kamu masih bingung saat ini. Pikirkan sekali lagi,” pinta Rika.

Ya, aku mungkin masih bingung. Bingung dengan diriku sendiri. Bingung dengan inginku sendiri.


(bersambung...)


1 komentar:

  1. Mungkinkah park min ji akan menjadi suaminya?? Keke, wah hebat dong baru nyicipi masakan sekali, udah bisa buat sendiri. Lanjut..

    BalasHapus