Assalamu'alaykum...

Selamat Datang.... ^_^

Minggu, 18 September 2011

Korea, Cuka dan Cinta (1)



Hari ini bagi orang lain mungkin tidak ada bedanya dengan hari-hari lainnya. Tapi bagiku hari ini adalah hari yang aneh. Sangat aneh. Dimana semua yang baru saja terjadi seakan seperti mimpi. Aku terlalu bingung mengekspresikan apa yang ada di hatiku saat ini. Entah bagaimana seakan bumi berputar lebih cepat dari biasanya. Aku benar-benar pusing dengan apa yang baru saja kualami.

Lelaki berkulit putih dan bermata sipit di hadapanku terdiam, menatapku lama. Mungkin dia mencoba untuk memahamiku yang benar-benar terkejut dengan apa yang baru saja kualami. Sedangkan perempuan berusia 30 tahunan dengan kulit sawo matang di sampingnya hanya membisu. Tentu saja mereka bukan sepasang suami istri. Bunda Naira menjelaskan padaku sebelumnya bahwa laki-laki itu membawa pesan untukku dari ayah kandungku, sedangkan perempuan di sampingnya adalah seseorang yang bertugas menjadi jembatan komunikasi antara kami. Tentu saja, karena lelaki tersebut kentara sekali bukan orang Indonesia.

“Tuan ini menjelaskan bahwa beliau menyampaikan pesan terakhir dari ayah kandungmu. Beliau ingin mengajakmu ke Korea untuk bisa melaksanakan wasiat ayahmu,” jelas wanita itu.

Aku hampir gila menerima kenyataan bahwa ternyata aku bukan keturunan China seperti nama yang diberikan padaku oleh orang-orang.

Bunda Naira, pengasuh di panti asuhan tempat ku dibesarkan pernah menceritakan kepadaku tentang masa laluku. Ibuku meninggal setelah melahirkanku. Saat itu aku belum diberi nama. Akhirnya, Bunda Naira memutuskan untuk memberiku nama Bhakti Yudha seperti nama rumah sakit tempat aku dilahirkan. Bunda Naira yang kebetulan sedang menemui seorang temannya yang bekerja sebagai seorang dokter di RS Bhakti Yudha mendengar tentang kasusku. Akhirnya, Bunda Naira memutuskan untuk membawaku ke panti asuhan Al Amanah tempat dimana dia memang mengasuh beberapa anak yatim piatu lainnya.

Aku tumbuh berbeda dengan teman-temanku di panti asuhan. Kulitku lebih putih dan mataku lebih sipit. Tak heran jika kemudian mereka memanggilku “Cina”. Dan sejak saat itu, aku bahkan hampir lupa bahwa aku punya nama asli Bhakti Yudha. Hanya Bunda Naira yang tetap memanggilku Yudha.

Kini, setelah sekian lama aku mulai menerima panggilan Cina itu. Baru kuketahui bahwa aku bukan berdarah China, tapi Korea. Jadi, ibuku Bugis dan ayahku Korea? Sungguh memusingkan. Meskipun aku bahkan tidak mengenal ibuku selain nisannya yang kemudian rutin kukunjungi tiap bulan, tapi penjelasan Bunda Naira yang menjelaskan bahwa ibuku memiliki ciri-ciri keturunan Bugis. Hanya itu dasarku. Sekarang, baru kuketahui bahwa ayahku berdarah Korea murni.

Satu hal yang kemudian menyesakkan jiwaku adalah ketika lelaki di hadapanku menceritakan bahwa ayahku mengetahui keberadaanku sejak 17 tahun lalu, artinya sejak umurku menginjak setahun. Tapi entah kenapa dia membiarkanku tumbuh di tempat seperti ini sementara dirinya berbahagia di Korea sana.

“Kamu harus ikut dengannya ke Korea. Karena wasiat itu ada di sana,” wanita itu masih saja menerjemahkan kata-kata yang terucap dari lisan lelaki itu.

Aku masih terdiam. Aku masih belum bisa menjawab apapun. Ikut dengannya? Ke Korea? Bersama orang asing ke negeri asing? Apa jadinya aku nanti? Sementara selama di Depok ini saja aku tidak pernah kemana-mana. Kerjaanku sejak tidak lagi sanggup melanjutkan sekolah, hanya menunggu warung Mang Hamdan dan sesekali ikut jualan Siomay Mang Sabri. Atau hanya membantu Mang Ujang belanja sayuran di pasar pagi-pagi buta sebelum selanjutnya Mang Ujang keliling kompleks dengan teriakan khasnya, “Yuuuuurr… Sayuuuuuurrrr…!”

Dan besok aku harus ikut dengannye ke Korea? Aku bahkan tidak mengerti apa yang sedari tadi dikatakannya. Jika bukan karena keberadaan wanita di sampingnya itu, mungkin aku sama sekali tidak akan mengerti maksud kedatangannya.

Setelah keduanya berpamitan, Bunda Naira duduk di sampingku. Lembut membelai rambutku yang kusut. Entahlah, aku seakan tidak pernah dewasa di mata Bunda Naira. Bunda Naira selalu menganggapku sebagai Yudha kecil sekalipun usiaku kini telah 18 tahun.

“Bunda tahu perasaanmu, Yudha. Kamu pasti bingung dan terkejut dengan apa yang baru saja kamu alami. Tapi menurut hati Bunda, lelaki tadi menyampaikan kebenaran. Tidak ada sebersit pun tanda kebohongan di matanya. Coba kamu pikirkan lagi, jangan sampai kamu menyesal kemudian,” Bunda Naira seakan tahu semua yang sedang berkecamuk di dadaku.

Semua yang terjadi hari ini sungguh berhasil membuatku berjaga semalaman. Mata ini seakan enggan terpejam dan badan ini seakan tidak merasakan lelah meski pagi sebelum tamu “aneh” itu datang aku telah melakukan banyak pekerjaan berat seperti biasanya.
***

“Eotteohge?” tanya lelaki itu.

Sungguh, aku sama sekali tidak tahu apa maksud perkataanya. Aku benar-benar bisa gila jika satu jam saja aku harus berbicara dengan lelaki itu seorang diri. Beruntung, wanita di sampingnya segera menerjemahkan maksud perkataanya.

“Bagaimana?”

“Apa boleh buat. Saya akan ikut,” jawabku singkat.

Wanita itu segera menerjemahkan perkataanku. Tak berselang lama, ada senyum tersungging di bibirnya dan berbicara kembali dengan bahasa aliennya.

“Kalau begitu semua akan segera dipersiapkan. Persiapkan diri saja. Saya akan datang kembali ke sini jika semua sudah siap,” wanita itu menerjemahkan.

Aku hanya mengangguk.

Setidaknya hari itu semua telah selesai. Tidak akan ada lagi bahasa aneh yang kudengar.

Tapi baru kusadari pesannya tadi. Persiapkan diri? Persiapan macam apa yang harus kulakukan? Aku bahkan masih tidak mengerti, apa kira-kira yang akan terjadi padaku di Korea nanti? Sepenting apa wasiat itu hingga lelaki itu harus datang menjemputku? Sedemikian pentingnya kah keberadaanku di sana?

Begitu banyak pertanyaan yang kemudian menghujaniku tapi tak satupun yang mampu kujawab sekalipun itu sekedar untuk menenangkan hati.

“Kelak kamu akan sering berhungan dengannya. Kenapa kamu tidak mencoba untuk menyebut namanya?” Bunda Naira menatapku lembut.

Aku masih terpaku menatap kartu nama yang tampak mewah itu di tanganku. Nama yang aneh dan sekaligus sulit untuk diucapkan.

P-A-R-K-M-I-N-J-I

Itu nama yang dituliskan wanita yang kemarin mendampingi obrolan kami. Nama yang sebenarnya tidak bisa kubaca, hurufnya aneh, seperti kumpulan tanda garis, kotak dan entahlah aku tidak tahu apa sebutannya. Ah, mungkin memang itulah bacaan dari huruf aneh yang kubaca itu, pikirku.

Lalu setelah aku tahu namanya, bagaimana aku harus memanggilnya? Park Min Ji? Ah, masih saja otakku menerimanya sebagai sesuatu yang aneh sehingga lidahku pun sulit untuk menyebut namanya dengan fasih.

Sementara Bunda Naira hanya tersenyum melihatku yang terlihat bodoh, mengulang-ulang nama itu dengan berbagai intonasi. Aku masih tidak tahu cara memanggilnya yang benar. Sudahlah, yang penting aku sudah tahu namanya.
***

Dua minggu setelahnya, Tuan Park Min Ji itu datang lagi. Memberiku beberapa dokumen yang beberapa hari lalu sudah kutandatangani.

“Ini passport dan dokumen-dokumen yang kamu butuhkan nanti selama di Korea. Ini dari Tuan Park Min Ji. Katanya ini adalah silsilah keluarga ayahmu. Saya sudah menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia. Pelajarilah dulu sebelum kamu terbang ke Korea. Tiketnya sementara dibawa Tuan Park Min Ji. Tiga hari lagi, kami akan menjemputmu untuk ke bandara. Jam 7 kami sudah sampai di sini. Jadi sebisa mungkin sebelum itu, pastikan semua sudah siap dan dokumen-dokumen ini kamu bawa,” wanita yang kemudian aku mampu mengingat namanya, Bu Santi itu menjelaskan panjang lebar.
Aku hanya mengangguk dan menerima semua dokumen tersebut. Mereka segera berlalu meninggalkan panti.

Aku mencoba membuka buku yang menurut Bu Santi adalah silsilah keluarga ayah kandungku. Dan benar saja, begitu kubuka halaman pertama yang berisi foto keluarga dengan banyak sekali anggota membuatku pusing. Apalagi aku menganggap bahwa wajah mereka semua sama, atau mungkin nyaris sama. Aku memutuskan untuk menutupnya kembali.
Tapi rasa penasaran yang begitu besar memaksaku untuk membukanya kembali, melewati halaman berisi foto-foto itu dan membaca sebuah cerita perjalanan hidup ayahku. Yoon Sang Hyun, itulah nama ayahku. Ah, betapa rumitnya hidupku. Begitu banyak hal aneh yang terkait erat denganku. Belum lagi sebuah restoran yang menjadi kebanggaan ayahku, Yoon Sang Restaurant. Aku masih tak mengerti apa arti dari nama yang dipilih ayahku. Terdengar aneh memang, tapi mungkin seperti anehnya nama ayahku, nama restoran itu pun memiliki makna yang istimewa bagi si pemberi nama. Entahlah. Aku mulai pusing setelah semakin banyak nama-nama aneh bermunculan di buku kisah perjalanan ayahku. Aku memutuskan untuk segera menutupnya dan kembali bekerja di warung Mang Hamdan.


(bersambung...)


(Ternspirasi buku Madre karya Dee, drama korea Baker King Kim Tak Goo, dan drama korea Jewel In The Palace - Dae Jang Geum)

1 komentar:

  1. Assalamualaikum,, salam kenal.. Keke Wah, kayaknya seru ceritanya. Lanjut ke part 2..

    BalasHapus