Assalamu'alaykum....
Selamat pagi... ^-^
Senin pagi orang cenderung menikmati waktu mereka bermacet-macet ria menuju tempat kerja, khususnya di Jakarta ini. Nah, untuk menemani yang mungkin masih terjebak macet di jalan, pagi ini aku akan sedikit berbagi tentang sebuah materi yang beberapa hari lalu kuperoleh saat mengikuti kajian. Seperti judul di atas, bahasan ini menegaskan tentang posisi wanita sebagai pemimpin di rumah suaminya... yah, rumah dia juga sih bersama anak-anak tentunya...hehehehe
Dalam Islam, wanita sangat dimuliakan. Hal ini terlihat bahwa salah satu nama surah dalam Al Qur'an adalah An Nisa' yang artinya adalah wanita. Jika pada zaman jahiliyah dulu peran wanita seakan tidak dianggap, dikerdilkan bahkan ada yang menganggap sebagai sebuah aib yang harus disembunyikan, berbeda halnya setelah syariat Islam ditegakkan, peran wanita semakin dimuliakan. Wanita dalam keluarga adalah sebagai tiangnya, yang kemudian perannya berkembang dari istri kemudian memegang peran ganda sebagai istri untuk suaminya sekaligus ibu dari anak-anaknya. Hal tersebut pun masih memungkinkan peran ganda lain yang harus diperankan oleh sosok wanita ini dalam keluarga, misalnya sebagai teman diskusi suami, penasehat suami, teman bercerita anak-anak, sahabat bermain bagi anak-anak, dan masih banyak lagi. Subhanallah.... Betapa mulia dan hebatnya bukan peran seorang wanita dalam keluarga. ^-^
Wanita sendiri dalam menyikapi sesuatu hal bisa bersikap reaktif namun akan lebih utama jika dia bisa bersikap proaktif. Jika wanita reaktif itu menunggu rangsangan dari luar berupa kejadian, peristiwa atau permasalahan dulu baru menyikapinya, berbeda dengan wanita proaktif yang jauh lebih aware terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada sebelum hal tersebut terjadi. Sehingga wanita proaktif lebih mengembangkan antisipasi bukan reaksi semata. Terlebih lagi peran wanita sebagai ibu adalah sebagai madrasah pertama untuk anak-anaknya, sehingga memegang peranan penting dalam mendidik anak-anaknya. Untuk itu, jika terdapat permasalahan dalam diri anak, jangan buru-buru menghakimi anak tersebut, tapi akan lebih utama jika melakukan evaluasi dan koreksi terhadap si ibu. Apakah kiranya ibu telah mendidik anak tersebut dengan semestinya? Apakah ibu telah melakukan antisipasi terhadap kemungkinan-kemungkinan permasalahan yang akan dihadapi anak dan bagaimana pemecahannya?
Mendidik anak tidak semata menyampaikan melalui ucapan namun akan lebih utama melalui sikap yang bisa menjadi teladan. Bukankah satu teladan lebih utama dibandingkan 1000 kata-kata? ^-^
Sebagai madrasah pertama, ibu tidak hanya mengajarkan tentang seluk-beluk kehidupan dunia, akademis dan lainnya. Namun, yang lebih utama adalah mempersiapkan anak tersebut dari segi rohaniyah dan akhlak terpuji agar kelak tetap kokoh berdiri di tengah banyaknya cobaan dan godaan dalam hidup ini. Agar anak tetap lurus melangkah ke depan tanpa tersesat dalam menentukan arah, karena tujuan akhirnya sama yakni ridho Illahi. Pendidikan rohaniyah terhadap anak ini seharusnya dimulai sejak proses sebelum anak ini hadir, artinya sejak kedua orang tuanya merencanakan untuk memiliki anak. Seharusnya kedua calon orang tua membekali diri dengan bekal rohani yang kuat. Demikian pula halnya ketika anak dalam kandungan, ibu harus membiasakan melakukan hal-hal yang baik dan mulai mendidik anak tersebut dalam ilmu agama, seperti membaca Al Qur'an, sholat, bersilaturahim, mentadzaburi Al Qur'an dan kebiasaan-kebiasaan baik lainya.
Setelah anak tersebut lahir, sebagai orang tua, terutama ibu, harus pintar-pintar memilih metode dalam mendidik anak. Tidak boleh otoriter apalagi kasar, tetapi tidak boleh juga terlalu memanjakan. Ibu harus memandu anak-anaknya dengan penuh kasih sayang, mengajarkan bagaimana berdemokrasi dalam keluarga serta mendorong anak untuk berani mengungkapkan pendapat. Sebagai seorang ibu, akan lebih sangat membantu dalam mendidik anak ketika ia bisa memahami bahasa non verbal anak, sehingga terdapat ikatan kuat antara ibu dan anak-anak yang insyaAllah akan lebih mudah dalam mengarahkan anak-anak untuk bisa lebih baik dari waktu ke waktu.
Sebagai istri, tugas wanita tak kalah penting dan utama. Wilayah kebijakan dan kekuasaan istri adalah dalam domestik keluarga sedangkan suami adalah di luar keluarga, khususnya dalam mencari nafkah untuk keluarga. Dengan adanya pembagian tugas dan teritori ini insyaAllah bukan untuk saling beradu kekuasaan dan saling menonjolkan melainkan untuk saling melengkapi dan menyeimbangkan. Istri dilarang untuk mengumbar keburukan suami. Lalu, bagaimana jika memang suami itu buruk perangainya? Coba evaluasi dan koreksi berdua, dengan bahasa cinta dari ke hati tanpa melukai hati masing-masing tanpa perlu mengumbar ke luar. Bagaimana ketika istri dan suami berselisih paham? Berselisih pahamlah di dalam kamar saat berdua, jangan di hadapan anak-anak. Dan ketika kembali di depan anak-anak, maka bersatu katalah. ^-^
Tugas istri di depan suami bukan sekedar menyenangkan suami, menjaga perut suami selalu dalam keadaan kenyang, memenuhi kebutuhan suami, menyenangkan untuk dilihat dan dalam pendengaran tetapi juga menunjukkannya dengan keadaan anak-anak yang terawat dan terdidik serta berbuat baik dengan orang tua, saudara dan kerabat suami. Sekilas kata, tugas istri seakan begitu bejibun, menumpuk, berat dan sulit, akan tetapi jika niat kita karena ibadah kepada Allah Swt niscaya kita akan senantiasa diberikan kekuatan dan kemudahan untuk melaksanakannya. Itulah kenapa, beberapa suami menginginkan istrinya untuk menjadi ibu rumah tangga saja daripada sibuk mengejar karir. Toh, di akhirat nanti yang pertama dimintai pertanggungjawabannya (setelah sholat dll) bukan bagaimana karirnya di dunia, tetapi bagaimana dia dalam menjalankan amanah sebagai ibu terutama dalam merawat dan mengurus suami dan anak-anaknya serta mendidik anak-anaknya.
Sepertinya pembahasanannya sudah terlalu panjang lebar deh... Jadi ga enak nih...hehehe
Demikian dulu yang bisa dishare, semoga bermanfaat ya...
Wassalamu'alaykum.... ^-^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar