Assalamu'alaykum...

Selamat Datang.... ^_^

Kamis, 24 Februari 2011

Hadiah Cinta


Ruang kerja ini semakin sepi, beberapa rekan kerjaku telah lebih dulu pulang ditengah rintik hujan sore itu. Aku masih berkutat dengan pekerjaanku.
“Sebaiknya segera kuselesaikan semua pekerjaan ini agar aku bisa lebih fokus mempersiapkan pernikahanku bulan depan,” pikirku.
Tiba-tiba Mia, rekan kerjaku yang kebetulan sama-sama belum beranjak meninggalkan kantor, menepuk bahuku.
“Zahra, kamu masih ingat Fahmi, teman kuliah kita dulu? Aku tadi lihat di facebooknya lho, teman-teman lagi heboh membicarakan gosip kedekatannya dengan Viona, anak kedokteran itu yang ayahnya punya perusahaan mebel terkenal,” Mia menjelaskan sembari duduk di sebelahku.
Deg…! Fahmi? Teman kuliahku? Bukankah itu adalah Fahmi calon suamiku, yang 2 minggu lalu datang meminangku? Ah… Tidak Zahra, jangan terlalu mempercayai apa yang kamu dengar sebelum kamu bertabayun, meminta penjelasan dari Fahmi sendiri, batinku berontak.
“Hmmm…. Iya, aku ingat. Lalu kenapa tiba-tiba kamu membicarakannya? Menurutku, tidak baik kalau kita ikut campur urusan pribadi orang lain. Apalagi jika itu menyangkut berita yang belum jelas kebenarannya,” jelasku pada Mia. Semoga, Mia tidak melanjutkan pembicaraan ini, batinku.
“Iya, sich, kamu benar. Masalahnya aku baru saja mendengar kabar kalau Fahmi itu akan segera menikah, dan katanya calon istrinya itu bukan Viona. Makanya teman-teman jadi heboh. Yah, kamu kan tahu, Fahmi itu dari dulu banyak yang naksir dan sering gonta-ganti pacar. Bisa jadi dia memang punya hubungan khusus dengan Viona secara diam-diam, meskipun di lain sisi dia telah mempersiapkan pernikahannya dengan orang lain. Duh, kasihan sekali ya calon istrinya itu. Kalau aku jadi calon istrinya, sudah kubatalin dech rencana pernikahan itu. Males banget kan punya suami yang suka tebar pesona? Makan hati dech,” Mia masih serius membahasnya.
Aku sudah tidak tahan lagi mendengar kata-kata Mia. Aku bisa memaklumi Mia, karena dia belum tahu bahwa calon istri Fahmi adalah aku. Entah berita di Facebook itu benar atau tidak, yang pasti hatiku sudah mulai terbakar. Apakah ini? Cemburukah? Ayolah Zahra, dia bahkan belum menjadi suamimu, kenapa harus cemburu? Zahra, yakinlah akan janjiNya, jika memang Fahmi adalah yang terbaik untukmu, Allah SWT pasti akan menunjukkannya kepadamu, begitu juga sebaliknya, hibur hatiku.
“Mia, tidak seharusnya kita membicarakan orang lain seperti ini. Pekerjaanku sudah selesai dan aku akan segera pulang sebelum malam semakin larut. Lagipula aku merasa lelah dan harus segera istirahat. Bagaimana dengan pekerjaanmu? Bisakah kita pulang bersama?” tanyaku mengalihkan perhatiannya.
“Hmm… Aku juga sudah selesai. Baiklah, mari kita pulang,” ujar Mia seraya mengambil tas kerjanya dan beranjak menghampiriku.
Malam itu kami pulang dalam lelah. Syukurlah sepanjang perjalanan Mia tidak lagi membahas masalah tadi.
---------------------------------------0---------------------------------------------

“Assalamu’alaykum….,”
“Alaykumsalam… Nduk*, kamu sudah pulang?” Ibu membukakan pintu dan menyambutku dengan senyuman hangatnya.
“Alhamdulillah, Bu. Akhirnya Zahra sampai di rumah juga. Tadi Zahra masih menyelesaikan sedikit pekerjaan, Bu. Zahra tidak mau menunda pekerjaan agar nanti saat Zahra harus cuti, tidak lagi terbebani hutang pekerjaan,” paparku menjawab kecemasan di wajah ibu.
“Syukurlah kalau begitu. Oh iya, tadi Fahmi datang kesini, menyampaikan ini,” Ibu mengulurkan contoh undangan pernikahanku. Aku menerima dan melihatnya sekilas. Sedikit malas berkomentar.
“Lho, kok diam saja tho, Nduk? Tadi nak Fahmi bilangnya minta pendapatmu. Jadi gimana?” Ibu menahanku sejenak dan menatap wajahku.
“Kenapa, Nduk? Kok jadi murung begini? Ada masalah di kantor?”
Ah, selalu saja begini. Lagi-lagi aku membuat ibu cemas.
“Tidak apa-apa, Bu. Zahra hanya merasa capek saja. Nanti biar Zahra sampaikan langsung kepada Fahmi tentang contoh undangan ini, Bu. Jangan khawatirkan Zahra,” aku tersenyum menatap ibu.
“Eh, kamu itu kok kebiasaan tho. Meski nak Fahmi itu teman kuliahmu, mulailah belajar memanggil nak Fahmi dengan ‘Mas’. Dia kan nanti jadi suamimu. Ndak sopan kalau kamu langsung sebut nama. Nanti dikira ibumu ini ndak pernah ngajarin sopan-santun sama kamu,” Ibu kembali protes dengan kebiasanku memanggil Fahmi dengan namanya. Jujur, masih belum terbiasa untuk meletakkan embel-embel “Mas” di depan namanya.
“Nggih*, Bu. Maaf tadi Zahra lupa,” aku tersenyum, meraih tangan ibu dan menciumnya. Aku pun bergegas masuk kamar dan bersiap untu mandi dan sholat isya.
----------------------------------------0--------------------------------------------
Pagi itu, kantor masih sepi. Hanya beberapa pegawai yang sudah datang dan mulai sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Aku menyalakan komputer kerjaku, dan entah kenapa tiba-tiba aku merasa penasaran dengan apa yang dikatakan Mia tadi malam. Aku membuka akun facebook ku dan menjelajah di sana. Entah apa yang sedang aku pikirkan, aku masuk ke wall Fahmi dan melihatnya di sana.
Astaghfirullah…. Status itu… “Fahmi Erlangga in a relationship with Viona Nalita”
Sudah Zahra, tinggalkan wall itu, batinku teriak. Tapi entah kenapa, mataku semakin lincah membaca satu demi satu komentar di bawahnya. Ya Allah, apa maksud semua ini? Benarkah aku harus membatalkan pernikahan itu? Lalu bagaimana dengan orangtua kami?
Aku membayangkan reaksi ibu jika aku membatalkan pernikahan itu. Aku pasti akan sangat menyakiti beliau, membuat malu keluarga. Ya Allah, kuatkan aku dan berikan petunjukMu.
Kriiiinnngggg……..
Telepon di mejaku berdering. Aku segera menguasai semua emosi yang tadi mulai meninggi. Kututup wall itu dan segera aku meninggalkan koneksi internet itu, sebelum syaitan lebih kejam lagi meracuni pikiranku.
“Halo?” sapaku.
“Zahra, tolong ke ruangan saya. Ada proyek yang harus dipertimbangkan, tolong dianalisis dulu ya,” ujar suara dari seberang yang tak lain adalah Pak Bagus, manajerku.
“Baik, pak,” segera kututup sambungan telepon itu dan beranjak menuju ruang manajer.
------------------------------------------0------------------------------------------
“Assalamu’alaykum.. Dik Zahra, kemarin saya sudah menitipkan contoh undangan pernikahan kita kepada ibu. Apakah Dik Zahra sudah menerimanya? Ada masukan untuk desainnya ga?
Wassalamu’alaykum…
Fahmi”
Sudah entah ke berapa kali aku membaca sms dari Fahmi tersebut, tapi masih belum juga aku menuliskan balasannya.
Lama aku menatap pesan di layar handphone Nokia E 71 di tanganku itu, akhirnya aku memutuskan untuk menulis balasan atas sms tersebut.
“Alaykumsalam… Alhamdulillah sudah saya terima tadi malam. Menurut saya tidak ada lagi yang perlu ditambahkan atau dikurangi. Itu sudah cukup bagus.
Afwan, bolehkah saya tahu apa hubungan Mas Fahmi dengan Viona? ….”
Aku terhenti ketika mengetik kalimat terakhir. Ah, jangan kekanakan Zahra, batinku.
Tapi sisi lain hatiku berontak. Tidak apa-apa Zahra, kamu perlu tahu yang sebenarnya. Bukankah dia kelak akan menjadi suamimu, imammu? Lalu apa jadinya jika kamu sudah tidak mempercayainya lagi? Lebih baik kamu tahu yang sebenarnya sekarang, sebelum terlambat.
Aku bingung…
Kupejamkan mataku dan entah bagaimana akhirnya pesan itu pun terkirim.
Harap-harap cemas aku menunggu balasan dari Fahmi. Tiba-tiba nada sms masuk, tak sabar aku membuka dan membaca pesannya.
“Apakah itu terkait dengan status di Facebook, Dik Zahra? Itu adalah keisengan teman-teman saya. Nanti akan segera saya jelaskan bahwa itu tidak benar. Mohon maaf jika itu sudah mengganggu Dik Zahra.”
Deg….!!
Astaghfirullah… Kenapa tadi aku harus bertanya? Apa yang sudah kulakukan? Kenapa aku meragukan orang yang telah bertaubat dan berusaha untuk memperbaiki diri? Kenapa aku meragukan calon suamiku sendiri? Bodohnya aku.
-------------------------------------------0-----------------------------------------
Hari ini adalah hari yang telah lama dinantikan. Ya, hari ini adalah hari pernikahanku. Degup jantungku semakin tidak beraturan. Rasanya jantungku akan keluar saking kerasnya degupan itu.
“Tenangkan dirimu, Nduk. Bismillah saja.. Semoga Allah memudahkan ya, Nduk. Dulu ibu juga deg-degan sama seperti kamu,” hibur ibu sambil memelukku dan membelai lembut punggungku.
Ya, dan aku merasa lebih baik. Mungkinkah ini energi dari seorang ibu yang mengalir ke dalam tubuhku dan memberiku rasa tenang? Semoga, batinku lirih didalam senyumku.

Alhamdulillah acara pernikahan itu pun berjalan lancar. Dan tiba saatnya dimana kami, mempelai, menyambut ucapan dan do’a dari para tamu, termasuk Viona, seseorang yang dulu sempat aku cemburui.
“Zahra, selamat ya. Kamu benar-benar mengejutkan. Rupanya kamu lah yang dipilih Fahmi untuk mendampinginya. Aku benar-benar kagum padamu. Kupikir kamu tidak akan menerima Fahmi meskipun dia selalu bilang kalau sekarang dia telah berubah. Selamat ya, semoga kalian bahagia,” ujar Viona ketika kami bersalaman.
“Allah Maha Tahu, Viona. Taubat itu adalah perkara antara Allah dan hambaNya. Sebagai seorang manusia tentunya kita tidak boleh menghalangi seseorang untuk bertaubat dan berupaya memperbaiki diri. Aku berserah kepadaNya, Viona. Terimakasih,” aku tersenyum menjawab pernyataannya.
“Baguslah kalau kamu berpikiran demikian. Tapi kamu harus tahu, Zahra. Aku dan Fahmi pernah punya masa lalu yang indah. Dan aku rasa Fahmi tidak akan begitu mudahnya melupakan kenangan kami. Semoga itu tidak mengganggumu, Zahra,” Viona melenggang meninggalkanku di pelaminan.
“Viona itu maunya apa sich? Kenapa dia berbicara begitu kepadamu, Zahra? Dasar nenek sihir,” tiba-tiba Mia telah berada di sampingku.
Aku tersenyum, “Biarkan saja Mia. Apapun yang dikatakannya adalah bagian dari masa lalu suamiku. Itu tidak akan menggangguku. Karena yang akan aku hadapi adalah hari ini dan hari esok, bukan masa lalu.”
“Wah, kamu hebat Zahra. Aku bangga padamu. Benar juga sich, perkataan nenek sihir tidak perlu ditanggapin. Ga usah diladenin dech. Oh iya, kok kita jadi ngomongin si nenek sihir sich. Selamat ya Zahra yang cantik, semoga bahagia selalu dan menjadi keluarga sakinah mawadah wa rahmah… Amin…” Mia memelukku erat.
“Amin.. Terimakasih Mia yang cantik.”
-----------------------------------------0-------------------------------------------
Enam bulan sudah perjalanan pernikahan kami. Alhamdulillah tidak ada permasalahan yang berarti. Kerikil-kerikil tentu ada, tapi kata orang itu adalah bumbu dalam kehidupan rumah tangga dan menjadi jalan pendewasaan kami.
Hari ini aku dan suamiku, Mas Fahmi akan menghadiri acara reuni akbar di kampus kami. Semua yang pernah menimba ilmu di kampus kami akan datang, tidak memandang fakultas dan tahun kuliah. Ga kebayang seberapa ramainya.
“Dik Zahra ga pakai jilbab yang ini saja?” Tanya Mas Fahmi sembari mengulurkan jilbab warna biru muda itu kepadaku.
Aku terdiam sejenak. Apakah paket itu sudah diterima Viona ya? Semoga saja bermanfaat, batinku. Mengingat bahwa aku pernah mengirim paket jilbab untuk Viona.
“Lho?? Kok malah bengong? Iya dech, Mas Fahmi mu ini memang perhatian kok, memilihkan jilbab untuk istrinya. Tahu ga, kenapa Mas pilihkan jilbab ini?” gurau Mas Fahmi membuatku tersipu.
“Memangnya kenapa, mas?” tanyaku
“Kenapa ya? Ah, sudahlah, Mas lupa tadi mau bilang apa,”
“Ah, Mas Fahmi suka gitu. Bikin Zahra penasaran aja. Alasannya apa, Mas? Ayo, atau Zahra gelitikin nich,” ancamku manja.
“Eh, eh…. Sudah, sudah.. Geli, bidadariku. Iya dech, Mas ngaku. Karena saat pertama kali Mas jatuh cinta dengan bidadariku ini adalah saat bidadariku mengenakan jilbab birunya yang menambah kecantikannya ini,” akhirnya Mas Fahmi menyerah juga.
“Jadi bagaimana? Mau memilih sendiri atau mengikuti pilihan suami?” lagi-lagi Mas Fahmi menggoda.
Aku tersipu, meraih jilbab biru itu dan bergegas bersiap.
----------------------------------------0--------------------------------------------
Kampus sudah ramai oleh hiruk pikuk peserta reuni akbar. Aku jadi pusing melihat lautan manusia ini. Tiba-tiba aku merasa terkejut saat ada yang meraih tanganku.
“Zahra, apa kabar?” Sapanya.
“MasyaAllah, Viona?! Subhanallah, kamu cantik sekali dengan jilbab ini,” pekikku kaget. Viona kini telah berhijab. Segala puji bagiMu, ya Rabb.
“Hmm… Zahra, terimakasih atas hadiahnya ya. Aku malu sama kamu. Dulu, aku sering mengganggumu bahkan di hari bahagiamu, hari pernikahanmu. Aku malu mengingat apa yang pernah aku katakana kepadamu. Dan lebih malu lagi saat aku menerima paket hadiah darimu. Terimakasih ya, Zahra dan tolong maafkan aku,” Viona sudah berkaca-kaca ketika berkata demikian.
Aku memeluknya erat, menghilangkan segala rasa sakit dan luka masa lalu karena Viona. Memaafkan semua kesalahan Viona dan terlebih menghapus semua benci dan kesal di hatiku.
“Sama-sama, Viona. Aku juga bukan manusia tanpa salah. Aku juga sempat merasa tidak menyukaimu atas apa yang telah kamu lakukan padaku. Tapi sudahlah, itu masa lalu. Kita tidak akan pernah maju jika kita terpaku pada masa lalu.”
Saat itu, Viona terlihat semakin cantik dan anggun dengan busana muslim dan jilbab yang dikenakannya.
Duh, kenapa aku tiba-tiba jadi cemburu dengan kecantikannya?? Astaghfirullah… Untunglah Mas Fahmi segera menyadarinya dan menarikku pergi menghampiri teman yang lain.
“Hmm… Memangnya Viona pernah bilang apa padamu, Dik? Terus, kapan Dik Zahra mengirim hadiah kepada Viona? Kok Mas ga tahu?” Tanya Mas Fahmi.
“Maaf, Mas. Bukannya Zahra mau merahasiakan sesuatu. Tapi apapun yang dikatakan Viona dulu, itu adalah bagian masa lalu. Yang jelas, saat ini Zahra masih disamping Mas Fahmi dan selalu mencintai Mas Fahmi karena Allah SWT. Dan tentang hadiah itu, ternyata benar apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Saling memberi hadiahlah maka akan tumbuh cinta di antara kalian. Saat Zahra mendengar kabar kalau Viona telah berhijab, maka Zahra membeli beberapa jilbab dan mengirimkannya kepada Viona sebagai hadiah dan mewakili ucapan selamat. Ternyata itu juga membuat Zahra lebih bahagia, Zahra bisa berdamai dengan masa lalu dan menghapus semua rasa sakit serta benci di hati. Hmmm… Mas Fahmi, terimakasih telah memilihku menjadi pendampingmu. Do’akan semoga Zahra bisa menjadi istri yang sholehah ya, Mas,” jelasku.
“Amin.. InsyaAllah, Dik Zahra, bidadariku,” Mas Fahmi meraih tanganku dan menggenggam lembut jemariku.
Ya Allah, terimakasih. Inilah jawaban atas do’aku. Aku ingin selalu sabar menghadapi cobaan dunia karenaMu. Aku yakin Engkau akan selalu membimbingku.


*Nduk : sebutan untuk anak perempuan di Jawa.
*Nggih : Iya


(Naskah ini pernah di bawa ke pelatihan menulis bareng mb Asma Nadia, dikritik habis-habisan karena idenya yang sudah terlalu biasa. Hiks...
Tapi ga apa-apa, lain kali harus lebih kreatif lagi... :) )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar