Assalamu'alaykum...

Selamat Datang.... ^_^

Minggu, 20 Maret 2011

Lembayung Biru


Dia, yang dulu sempat mengambilmu dariku. Kulihat dia telah berubah. Merubah dirinya untuk memalingkanmu lagi dariku. Mungkinkah begitu? Atau hanya ketakutanku semata?
Buru-buru kubuang jauh-jauh pikiran itu. Kamu, dulu pernah mengkhianati hatiku, cintaku, cinta kita, janji kita. Tapi, tak mungkinkah kamu mengulangnya kembali, meski lisanmu telah berkata tidak?

Ya Allah, bagaimana mungkin aku meragukannya, suamiku sendiri. Bukankah Engkau yang telah mengikat kami dalam ikatan suci? Bukankah Engkau yang akan mejaga cinta kami, hati kami?

"Lembayung...!" suara itu membuyarkan lamunanku. Sosok seseorang yang sedari tadi memenuhi lamunanku telah berdiri di ujung pintu kamarku. Bersandar di pintu dengan senyum lembut ke arahku, dialah suamiku, yang sempat kuragu.

Aku beranjak ke arahnya. Meraih jemarinya dan mencium tangannya.
"Tumben ga nyambut di depan pintu seperti biasanya?" sapanya lembut. Aku tersipu malu, tak hanya kepadanya, suamiku. Tapi juga malu kepada Tuhanku, Tuhan kita.
Bagaimana mungkin aku menghabiskan waktuku hanya untuk memikirkan ketakutanku akan masa lalu, hingga lupa kewajibanku sebagai istri yang seharusnya menyambut suamiku dalam keadaan terbaik?

"Kenapa adindaku sayang? Adakah yang mengganggu pikiranmu?" tangan kokohnya membelai lembut pipiku.
"Eh, kok malah nangis??" Wajahnya berubah menjadi khawatir dan bingung seketika melihat tetesan air mataku yang mengalir lembut di pipiku.

Aku bingung, membisu dan semakin tergugu. Hanya memeluknya erat ketika rasa di hatiku semakin bergejolak, semua rasa itu seakan menuntut untuk diluapkan. Dan aku hanya tergugu dalam tangis hingga hatiku merasa tenang dan kembali nyaman. Dia, suami yang sempat kuragukan hanya terdiam, tetap memelukku erat. Menungguku untuk tenang dan menceritakan apa yang terjadi.

Aku menarik diri dari pelukannya. Masih tertunduk, tidak berani menatap wajahnya.
"Maafkan Lembayung, Mas!" hanya itu yang sanggup kuucapkan.
Biarlah, cukup aku saja yang menyimpan semua rasa ini. Rasa yang selalu takut dihantui bayangan masa lalu. Ya Allah, apakah ini artinya aku masih belum ikhlas? Hingga cemburu mudah sekali menyergap?

***
Malam itu, kami masih diam membisu, menikmati acara TV yang silih berganti. Entahlah tiba-tiba kebekuan menyergap kami. Dan tidak ada satupun dari kami yang berusaha mencairkan suasana.

Lama suasan begitu dingin dan seaka ada jarak yang memisahkan kami.

"Mas, masih marah sama Lembayung ya?" tanyaku memberanikan diri.

Dia hanya menoleh sesaat, lalu tersenyum seperti biasa. Tidak ada yang berbeda dalam senyumnya, tapi matanya memperlihatkan luka itu. Mungkinkah dia tahu bahwa aku masih sering meragukannya? Hingga dia terluka karenanya?

Aku menunduk semakin dalam, rasa bersalah seketika menyerangku kembali. Karena sikapku yang mendiamkannya sepanjang hari telah membuatnya bingung.

"Mas tidak marah. Hanya merasa bingung dengan sikapmu. Kenapa seharian ini kamu menghabiskannya dalam diam? Apa Mas melakukan kesalahan lagi yang melukai hatimu, Lembayung?"

"Mas, maafkan Lembayung ya. Bukannya Lembayung mau membuat Mas jadi bingung. Hanya saja, hari ini perasaanku sedang tidak terlalu baik. Mungkin karena Lembayung kecapekan hingga pikiran jadi melayang kemana-mana. Maafkan Lembayung..." Aku semakin tertunduk. Tak kuasa menatap wajahnya.

"Ah, harusnya Mas sadar. Bahwa sekali Mas melakukan kesalahan, selamanya akan dianggap salah. Jika memang demikian, kenapa kita masih bertahan dalam kondisi seperti ini? Mas tidak suka dengan keterpaksaan. Jika memang kamu tidak bisa lagi mempercayaiku, maka tinggalkan saja aku!" tegas dia mengatakannya. Seolah kalimat itu biasa tanpa kekuatan apa-apa.

Aku tersentak mendengar kata-katanya. Kata-kata yang keluar dari lisan suamiku. Secara tersirat, seakan dia menginginkan untuk mengakhiri semuanya saja.

"A.. Apa maksudnya, Mas? Bukan berarti kita harus bercerai kan, Mas?" suaruku nyaris hilang, tercekat di tenggorokan ketika aku mengucapkan pertanyaan itu.

"Jika memang itu yang terbaik! Karena Mas tidak bisa hidup dengan orang yang tidak mempercayaiku. Mas mungkin pernah salah, tapi apakah selamanya harus dianggap salah? Tidakkah sekali saja Mas dianggap benar ketika memang Mas bertindak benar?"

Suasana yang tadinya dingin membeku, kini mencair bahkan memanas. Aku merasa sangat tidak nyaman dengan suasana ini sekarang.

"Mas, mungkin kita sama-sama lelah hingga emosi mudah membuncah. Pernikahan bukan sesuatu yang ringan hingga mudah untuk mengatakan berpisah. Perceraian memang halal tapi dibenci oleh Allah SWT. Mari kita dinginkan kepala, memohon petunjukNya. Semoga kelak jawaban yang terbaik akan ditunjukkanNya pada kita. Agar tak melukai siapaun dan tidak memutus tali silaturahim diantara keluarga kita," ujarku mengakhiri semua suasana memanas itu.

***

Semalaman aku tak kuasa terpejam. Bayangan kehancuran rumah tanggaku seolah kian jelas. Aku semakin ketakutan.

Ya Allah, apakah ini takdir yang harus kujalani? Haruskah aku menjanda di usia pernikahan yang masih sangat muda, 8 bulan? Apakah ini hukumanMu atau ujianMu?

Aku menghabiskan malamku dengan bermunajat padaNya. Memohon ampun dan petunjukNya atas permasalahan yang sedang menghantui rumah tanggaku. Tapi dia, suamiku, masih terlelap dalam tidurnya. Seakan ringan tak ada beban, dimana aku bahkan tak bisa sejenak pun merasakan ketenangan sejak kalimat yang telah diucapkannya.

Ya Allah, aku pasrah padaMu. Aku berserah dengan kepasrahan yang sebenarnya, apapun kehendakMu itu yang akan kulakukan.

Mataku masih tetap terjaga di sela simpuhku nan berurai air mata, tak sekejap pun mampu kutepis semua bayang kehancuran rumah tanggaku. Hingga pagi menjelang, tak semenit pun mata ini sanggup terpejam.

Keesokan paginya, suamiku berangkat kerja seperti biasa. Masih tetap tak berbicara manis layaknya biasa. Aku sudah bersiap akan hal itu. Aku yakin masih ada kemarahan di hatinya. Ku tenangkan hatiku, agar bisa kuberikan waktu untuk suamiku, menyendiri hingga emosinya kembali terkendali.

Tapi ternyata semua tak kembali seperti yang kuingini. Hingga malam telah merangkak semakin larut, suamiku tak kunjung kembali. Sms dan telpon ku tak satupun ditanggapi.

Ya Allah, mungkinkah ia masih menyimpan marah itu? Hingga tak ingin sejenak saja mendengar suaraku atau membalas sms ku?

Hatiku semakin kelabu dan akhirnya air mata itu tak sanggup ku tahan tuk tetap di sana. Aku menangis, sejadinya dalam kesendirian di rumah kontrakan mungil kami.

Aku masih tergugu hingga kemudian lelah menyerangku dan aku tertidur masih dalam sujud penuh air mata.

***

Waktu terus berjalan, hatiku mulai kebas dengan ketidakpulangannya. Dan aku merasa telah benar-benar menjanda. Di saat pasangan lain melalui masa-masa membahagiakan kala kehamilan pertama, tidak demikian denganku. Aku melalui dalam kesendirianku, merasa diri telah benar-benar menjanda tanpa ada suami mendampingi.
Ya, suamiku telah lama pergi tanpa kabar. Hanya satu sms yang terakhir kali ia kirim sebelum menghilang tanpa jejak.

"Mungkin memang perlu waktu untukmu mengenalku seperti awal kita bertemu dan menikah seperti harapan kita. Ijinkan aku menyendiri, memperbaiki diri hingga kelak aku pantas menjadi suami yang bisa kamu percayai dan banggakan. Suamimu - Biru."


Biru, suamiku telah lama keluar dari tempat kerjanya. Meninggalkan aku dan bayi dalam kandunganku tanpa jejak. Bahkan sekedar memberi tahunya bahwa aku hamil pun aku tak mampu. Nomor handphone nya tidak aktif lagi. Keluarga ku dan juga keluarga suami tiada yang tahu. Kami semua menunggu, tanpa pernah kehilangan harapan ataupun berhenti berdo'a. Aku masih sah sebagai istrinya, maka kewajibanku lah menjaganya dengan do'a di tiap sujudku.

Hingga tiada terasa berapa lama aku sendiri tanpa suami. Kapan terakhir aku merasa rindu dan menunggu kepastiannya tuk kembali pun aku telah lupa. Hingga akhirnya aku merasa biasa dalam kesendirian dan hidup bak janda.

Aku sibuk dengan pekerjaanku sebagai editor di salah satu majalah mingguan. Tetap kupaksakan diri untuk bekerja meski perutku kian membesar, semata karena aku harus menabung untuk biaya persalinanku. Teman-temanku begitu baik, hingga sering membantu menyelesaikan pekerjaanku.

Aku yakin, Allah SWT tak pernah sedetik pun meninggalkanku. Itulah keyakinan yang menguatkanku. Hingga akhirnya sampailah aku pada masa di mana waktu memintaku untuk melahirkan bayi mungil dari kandunganku. Dan saat itu aku masih sendiri, masih tanpa suami.

Aku mensyukuri tiap episode kehidupan yang diberikannya padaku. Tanpa menyesal atau pun berkeluh, bagiku janjiNya itu pasti. Allah SWT tak akan ingkar janji, maka kuikat diri dalam sabar menghadapi segala yang terjadi. Termasuk saat ini, ketika suami yang dulu hilang telah kembali.

"Lembayung, maafkan Mas baru kembali. Mas memang telah meninggalkanmu sekian lama. Tapi tak sekali pun Mas melupakanmu. Alhamdulillah, sekarang Mas telah benar-benar berubah. Sekian lama Mas menghilang, melepaskan pekerjaan dan pergi menyantri. Saat ini Mas telah mengajar di Madrasah Ibtidaiyah Pesantren tempat Mas menuntut ilmu. Inilah Mas, suamimu, kembali tuk menjemputmu dan kita bangun kembali cinta kita yang baru. Mas hanya ingin menjadi suamimu, imam bagi keluarga yang bisa menggandeng tanganmu menuju ridho dan surgaNya."


Aku terharu, melihat sosok suamiku yang begitu berbeda dari sosok yang terakhir kali kulihat setahun lalu. Dan saat ini, dialah suamiku, kekasihku yang kutunggu. Alhamdulillah segala puji bagiMu yang telah melimpahkan begitu besar nikmat hidayah kepada suamiku, yang dulu sempat kuragu akankah ia mencintaiMu.

Kini, kulihat ia telah berubah, bukan sosok yang sering membuatku cemburu dan menangis pilu. Inilah suamiku yang akan menggenggam erat tanganku dan anak-anak ku menyusuri jalan nan lurus penuh uji dan coba menuju ridho dan jannahNya.



(produk iseng, hingga masih kurang matang mungkin... ^-^)
*ditulis di sudut ruang, di depan TV di rumah orang tua tercinta di Gunungkidul Handayani ;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar