Assalamu'alaykum...
Selamat Datang.... ^_^
Selamat Datang.... ^_^
Selasa, 27 Desember 2011
Hafalan Sholat Delisa
Akhir Tahun ini bioskop benar-benar dipenuhi film-film bermutu. Selain film-film barat seperti Mission Imposible dan Sherlock Holmes, ada sederet film karya anak negeri yang berjajar di sana. Setelah kesusksesan Sang Penari, kini perfilman dalam negeri menghadirkan Hafalan Sholat Delisa. Film yang diangkat dari novel karya Tere Liye ini sukses menguras airmata. Sebelumnya saya sudah membaca novelnya dan berhasil membacanya meski penuh tetesan airmata. Kini, kisah itu ditampilkan dalam visualisasi yang lebih menyentuh jiwa.
Hafalan Sholat Delisa berkisah tentang seorang anak yang berusaha menyelesaikan hafalan sholatnya. Namun ketika sedang menjalani ujian hafalan sholat, gempa dan tsunami meluluhlantakkan desanya, Lhok Nga, Aceh. Kenyataan pahit yang dihadapinya tak membuatnya lantas bersedih hati. Kehilangan kakak-kakaknya - Fatimah, Zahra dan Aisyah - kemudian umminya yang tidak diketahui keberadaannya serta kakinya yang harus diamputasi tidak langsung merenggut sifat cerianya. Namun, ketika Delisa merasa bahwa semua orang meninggalkannya, jiwa kecilnya memberontak dan merasa bahwa itu semua tidak adil.
Secara garis besar, penyajian visualisasi dari novel karya Tere Liye ini cukup bagus. Mulai dari pemilihan pemainnya yang menurutku cukup memuaskan, setting tempat yang memang mendukung dan juga alur cerita yang meskipun berbeda dengan novelnya tapi masih bisa diterima. Seperti apa yang pernah disampaikan oleh Salman Aristo dan Aditya Gumay bahwa wajar jika film itu berbeda dengan novel karena ada beberapa penyesuaian. Bahasa tertulis itu berbeda dengan bahasa tubuh dan bahasa lisan yang disajikan dalam film. That's right! Itulah kenapa sulit untuk membuat film yang sama persis seperti di novel.
Dalam film ini, sekali lagi saya memuji kemampuan akting Reza Rahadian. Setelah kesuksesannya di film Emak Ingin Naik Haji dan Alangkah Lucunya Negeri Ini, kali ini Reza Rahadian kembali membuktikan kemampuannya. Reza Rahadian berhasil mempertahankan imej sebagai tokoh utama yang mampu all out. Berakting sepenuh jiwa dan dengan segenap cinta sehingga tokoh yang diperankannya seakan benar-benar hidup dan mewujud dalam dirinya. Two Thumbs up deh buat Reza Rahadian. :)
Tapi di sisi lain, terdapat beberapa hal yang menurut saya sedikit mengganggu. Ada beberapa hal yang sempat membuat saya harus berekspresi tidak puas dengan penggarapan film tersebut. Pertama, efek tsunami yang disajikan menurut saya masih kurang bagus. Akan lebih memuaskan para penonton jika efek tsunami yang dihadirkan di sana mampu mengembalikan ingatan para penonton terhadap bencana gempa dn tsunami aceh tujuh tahun silam. Efek yang disajikan masih kurang hebat sebagaimana hebatnya bencana tersebut pada kenyataannya. Kedua, adegan dimana Delisa berkomunikasi dengan Sofie dan Mr. Smith juga sedikit aneh. Kenapa mereka bisa berkomunikasi dengan amat mudahnya padahal terdapat perbedaan bahasa. Dan untuk seumuran Delisa yang belum mengenal Bahasa Inggris seharusnya membutuhkan waktu lebih lama untuk memahami apa yang dimaksud oleh keduanya. Tapi di film itu seolah-olah Delisa sanggup memahami maksud dari keduanya lebih mudah dan lebih cepat dari yang seharusnya atau pada umumnya.
Ketiga, penggunaan percakapan Bahasa Inggris yang sedikit janggal dimana para pemain mengucapkannya dengan pelan. Terlebih ketika adegan Ustad Rahman berbicara dalam Bahasa Inggris yang teramat pelan seakan membaca teks di depannya. Juga pemilihan kata yang kurang tepat dalam beberapa percakapan antara Ustad Rahman, Abi, Sofie dan Mr. Smith. Keempat, pemeran Koh Achan yang kurang menghadirkan sosok China dalam dirinya. Sehingga agak sulit untuk mempercayai bahwa dia sedang memerankan tokoh pedagang emas yang berdarah China. Kelima, rumah Delisa yang kembali terbangun lebih cepat dari yang terpikir, bagaimana bisa Abi membangun rumah itu sedemikian cepatnya sedangkan yang lainnya masih bertahan di tenda darurat? Keenam, adegan ketika Delisa menemukan kalung di tangan umminya. Di dalam novel, kalung itu berada di genggaman jemari yang sudah menjadi tulang belulang dari sesosok mayat yang tersangkut di rerimbunan semak belukar. Tapi di dalam film itu, kalung itu ditemukan oleh Delisa dalam genggaman tubuh umminya yang masih utuh dan sebagian tubuhnya tertutup pasir.
Ketujuh, adegan percakapan antara Delisa dan umminya yang berlatar belakang berupa penggambaran taman surga. Sebenarnya penggambaran taman surga sudah bagus. Sayangnya, ketika diclose up lagi Delisa di taman itu, tampak janggal dan seakan ada gap antara settingnya dengan Delisa. Seolah-olah keduanya terpisah bahwa setting itu hanya gambar yang sengaja diletakkan di belakang Delisa. Kurang menyatu. Mungkin kita masih perlu belajar masalah penggunaan teknologi dalam memberikan efek ini ke pakar perfilman di Hollywood. Sehingga ketika kelak kita menciptakan film yang menggabungkan animasi dengan shooting manusia beneran, atau pemberian efek dalam perfilman kita akan lebih terlihat nyata dan mampu memukau penonton.
Oke, secara garis besar penggarapan film ini cukup bagus dan mampu membuat penonton berurai airmata sepanjang pemutarannya. Berharap bahwa perfilman Indonesia ke depannya akan didominasi oleh film-film bermutu yang serupa. Sehingga semakin tergeser dan kelak hilanglah film-film sexy horor yang lebih cenderung mengarah pada pornografi yang saat ini masih sering menghiasi layar bioskop di seantero negeri ini.
Semangat berkarya anak negeri... Optimis bahwa kita kelak bisa melahirkan karya-karya spektakuler. Mari tambah lagi deretan film yang mampu menarik minat produser besar kelas dunia seperti Laskar Pelangi... Kita pasti bisa... :)
Oh iya, ini ada bocoran trailernya. Bagi yang belum nonton biar semakin penasaran dan tertarik untuk segera menonton. Ayo dukung karya anak negeri... :)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar