Assalamu'alaykum...

Selamat Datang.... ^_^

Senin, 18 April 2011

Aku, Kamu dan Dia

Dia datang lagi... Ya, dia... yang dulu sudah sempat mencabik hatiku. Menghancurkan segala mimpiku dan memporak-porandakan seluruh perasaanku. Orang yang telah menyakitiku bersamanya.

Aku menyambutnya... Kuucapkan selamat datang dan tersenyum menyambutnya. Silakan saja, kataku, silakan saja jika kau ambil dia dariku. Aku tak peduli lagi. Aku sudah kebas dan rasa di hati sudah mati. Silakan saja jika kamu masih mengingkan dia kembali padamu. Aku tak lagi peduli. Ada rasa yang telah lama kubiarkan mati dan kubuang jauh-jauh dari diri.

Ambillah jika kamu bahagia dengan itu. Toh, jika dia bukan tercipta untukku maka aku akan mendapatkan yang lebih baik darinya.

"Ra, kamu baik-baik aja?" Tiba-tiba Kak Intan sudah di belakangku. Menatap curiga pada ekspresi wajahku.

Aku menoleh, menarik garis bibir dan tersenyum pada kakak perempuanku satu-satunya.
"Clara baik-baik aja, kak. Jangan khawatir," aku menggenggam jemarinya.
Kak Intan menatapku penuh selidik, mencari jawaban atas segudang pertanyaan yang tampak nyata di matanya.
Aku berbalik arah, memunggunginya. Hanya tak ingin Kak Intan menangkap sedikit gelisah di hatiku.

"Masih tentang Bayu? Kalau kamu ga yakin, Ra, putuskan saja. Batalkan saja. Kamu menikah untuk bahagia, bukan menyiksa diri dan batinmu seperti ini. Jika memang dia sungguh-sungguh padamu seharusnya dia tak lagi begitu. Kak Intan akan bantu kamu menjelaskan semuanya ke Abah dan Umi, Ra. Jangan khawatir," Kak Intan menepuk pundakku. Lalu melingkarkan tangannya memelukku dari belakang.

"Ga ada apa-apa, Kak!"

"Kamu bisa berbohong kepada orang lain, Ra. Tapi tidak padaku. Kita bersama sejak kecil, selalu berbagi dalam suka dan duka. Dan aku bisa tahu semuanya meski lisanmu tak bicara. Semua tergambar jelas di sana. Di matamu, Ra. Jujurlah, setidaknya pada hatimu. Bahagiakah kamu sekarang? Jika tidak lepaskan Bayu!" Kak Intan tegas memintaku memilih.

Aku ragu, menyadari bahwa beberapa waktu lalu Abah baru saja diopname di rumah sakit, kesehatan jantungnya kurang baik. Memang telah lama Abah mengidap lemah jantung. Dan itu juga salah satu alasanku mempertahankan semua meski menyakitkan bagiku. Demi Abah. Ah, lagipula bukankah menikah adalah ibadah, mungkin saja Tuhan memintaku bersabar dengan segalanya karena DIA akan menggantinya dengan yang lebih indah dan lebih baik lagi.

"Tidak, Kak. Clara akan berusaha untuk bersabar," aku tersenyum menatap lembut wajah Kak Intan.

"Ah, kamu terlalu naif, Ra. Kamu berkata akan bersabar tapi matamu sudah berkaca-kaca, airmatanu nyaris tumpah. Apa kamu masih akan bertahan begini? Aku sungguh tidak mengerti jalan pikiranmu, Ra!" Kak Intan memendam marah. Mungkin aku lah penyebab kemarahannya, aku yang memang lemah dan tak tegas terhadap semua rasa ini.

Ah, apakah sungguh demikian adanya? Bahwa aku naif, terlalu sok pahlawan. Padahal hatiku tersayat, sakit, hancur dan remuk di saat bersamaan dengan senyumku yang terkembang.

Aku mungkin memang tidak kuat, tapi memaksa kuat dan aku merasakan hancur sehancur-hancurnya. Ya Tuhan, aku harus bagaimana?

***

Aku melihatnya lagi, bercanda bersamanya, bersama dengan dia yang telah banyak membuat luka di dada. Senyum dan tawa itu seakan tanpa dosa. Ah, atau aku sungguh yang terlalu perasa?

Sudah, Ra... Lupakan saja dia... Ada banyak yang bisa menyembuhkan seluruh luka itu. Ada banyak yang sebenarnya menawarkan diri untuk menyembuhkanmu hanya saja kamu yang masih tak mau membuka hatimu, hibur diriku.

Aku berlalu meninggalkan pemandangan yang luar biasa di depan mataku. Ketika dia sedang bercanda mesra dengan dia yang selalu berkata hatinya hanya untukku saja. Ah, semua dusta, manis di bibir saja, sisanya bualan belaka.

Aku muak bahkan pada hatiku yang jua tak bisa membencinya ataupun mengusirnya jauh-jauh dari sana. Dari ruang hatiku. Ah, sepertinya Tuhan murka, lalu menghukumku sedemian rupa. Seluruh hatiku tercabik, semua berantakan bahkan mimpiku menjadi berkebalikan dengan realita.

"Kalau kamu sungguh tak bahagia bersamanya, tinggalkan saja, Ra. Kakak akan bantu kamu menjelaskan semuanya pada Abah," kata-kata kak Intan terngiang kembali.

Haruskah? Haruskah kuakhiri segalanya begini? Lalu bagaimana nanti dengan Abah dan Ummi? Kepalaku nyaris pecah tatkala semua pertanyaan itu beterbangan tak tentu arah di sana.

Handphone ku berbunyi. Nama Kak Intan muncul di layarnya.

"Ra, Abah masuk rumah sakit!" Kak Intan menjelaskan alamat rumah sakitnya dan memintaku segera ke sana.

Ya Tuhan, apalagi ini?
Aku berlari mencari taksi dan segera meluncur ke rumah sakit. Di sana, kudapati Abah sedang ditangani dokter dan para medis. Kak Intan menceritakan semuanya. Abah dan Ummi baru saja jalan-jalan pagi dan mampir ke tempat Om Herman, sepulang dari sana, Abah mendapati Bayu sedang bersenda gurau bersama seorang gadis. Abah terkejut dan belum sempat menyapa Bayu, mereka telah bersitatap dan entah apa yang terjadi hingga Abah jadi seperti ini.

"Ummi harap kamu pikirkan sekali lagi. Bayu pantas atau tidak untuk menjadi suamimu. Jika sudah bisa kamu putuskan dengan segenap pertimbangan dan kematangan hati. Beritahu Ummi," Ummi meninggalkanku termangu tak mengerti.

Ya Tuhan, mungkinkah Abah mengetahui semua yang terjadi? Mungkinkah Abah menyadari bahwa Bayu selama ini telah mengkhianatiku?

***

Aku berlari, terus berlari mencoba mencari Bayu. Aku hanya ingin menemuinya dan menanyakan segalanya. Ada apa sebenarnya hingga Abah harus menjalani perawatan di rumah sakit.

"Bayu...!" emosi sudah menguasaiku. Tak ada lagi basa-basi dan sopan santun saat itu.

"Apa yang sudah terjadi dengan kalian? Kenapa Abah sampai begini? Kamu tahu Abah sekarang di rawat di rumah sakit. Ummi bilang semua itu sejak bertemu denganmu. Apa yang kamu lakukan pada Abah?"

"Maafkan aku, Ra. Tadi aku baru pulang dari mengantar Cindy les, lalu bertemu dengan Nita, di sana kami mengobrol seperti biasa. Lalu Abah dan Ummi lewat, melihat kami berdua, Abahmu marah. Aku mencoba menjelaskan semuanya, tapi tiba-tiba Abahmu pingsan."

"Baiklah, Bayu maafkan aku tapi sepertinya kedua orang tuaku tak lagi memberi restu. Batalkan saja pernikahan kita. Selamat tinggal," Aku berlalu. Sejuta rasa berkecamuk di dadaku.

Tidak, Ra, jangan menangis. Bukankah kamu ingin Abah dan Ummi bahagia, jika sudah demikian maka relakanlah. Abah dan Ummi juga tak akan bahagia jika selamanya kamu ditipu dan disakiti olehnya. Lupakan segala rasa, lupakan segala mimpi yang telah susah payah kamu bangun dengannya, Ra. Hatiku berulang kali mencoba menenangkan dan meyakinkan diri.

(Bersambung kapan-kapan ya... ^_^ )






Tidak ada komentar:

Posting Komentar