Assalamu'alaykum...

Selamat Datang.... ^_^

Rabu, 13 April 2011

Merenung Sejenak, Yuk! (2)

Bismillah...

Pagi ini membaca TL Gurunda Salim A. Fillah dan menemukan 4 tweet berikut :

Pembenci tak pernah kurang alasan untuk berkata yang buruk walau kau Malaikat. Bukankah sayang kalau kau habiskan waktu berhargamu untuknya?

Pun, alangkah indah muhasabah. Keruhnya permukaan mungkin sebab ada yang bergumpal hitam di dalam sini; di jiwa kita yang mendaku para da'i.

Setiap mukmin ialah cermin. Maka mari berkaca. Jika di bayangan itu tampak cela, bukankah kita yang sedang mematut diri selayaknya berbenah?

Hidup paling bermakna; yang mengingat mati. Amal paling berharga; yang eling tanggungjawab. Cinta paling bahagia; yang sadar perpisahan.


Kali ini saya akan mencoba sedikit mengurai dari 4 tweet tersebut dengan segala keterbatasan dan kedangkalan ilmu saya. Maka tak menutup kemungkinan jika kemudian ada sahabat-sahabat sekalian yang akan mengoreksi, meluruskan pun menambahkan penjelasan yang coba saya uraikan ini. :)

Pembenci tak pernah kurang alasan untuk berkata yang buruk walau kau Malaikat. Bukankah sayang kalau kau habiskan waktu berhargamu untuknya?


Pembenci memang tak akan pernah kurang alasan untuk berkata buruk tentang kita. Meskipun mungkin kita telah menjadi orang paling baik ataupun serupa malaikat bagi mereka yang membenci kita pasti akan selalu mendapati cela atas diri kita. Lalu apa yang harus kita lakukan?

Mudah saja. Biarkan saja mereka puas mencari cela pada diri kita dan membicarakan kekurangan dan cela tersebut. Toh, itupun tidak akan merubah apakah kita akan menjadi lebih baik atau lebih buruk di hadapanNya. Langkah terbaik yang perlu kita lakukan adalah terus memperbaiki diri dan mendekat pada Illahi, pemilik sejati diri. Dan tak lupa untuk senantiasa mendo'akan mereka agar Allah SWT melembutkan hati mereka untuk menerima hidayahNya dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Bagaimana jika semakin lama kebencian mereka semakin kuat dan semakin menjadi hingga membuat kita tidak nyaman? Bagaimana jika ketidaknyamanan itu perlahan menghadirkan bibit benci di hati kita untuk ikut membencinya?

Bersabarlah sahabat, tidak ada keuntungan dari membenci. Pun tidak ada manfaat dari memelihara rasa benci di hati. Justru sebaliknya, kebencian itu akan menyiksa diri dan semakin menampakkan bahwa tidak ada beda antara kita dengan mereka.

Dan satu lagi alasan kenapa kita tak boleh memelihara rasa benci, yaitu kecintaan kita kepada Rasulullah SAW.

Bukankah Rasulullah SAW pernah bersabda sebagai berikut:

Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لا تَباغَضُوا وَلا تَحاسَدُوا ولا تَدابَرُوا ولا تَقاطَعُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْواناً. لا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ
يَهْجُرَ أَخاهُ فَوْقَ ثَلاثٍ

“Jangan kalian saling membenci, jangan kalian saling hasad, jangan kalian saling membelakangi, jangan kalian saling memutuskan hubungan, dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Tidak halal bagi seorang muslim untuk menjauhi saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR. Al-Bukhari no. dan Muslim no. 2559)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لا تحاسدوا ولا تَناجَشُوا ولا تباغضوا ولا تدابروا ولا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ,وكونوا عباد الله إخواناً. اَلْمُسْلِمُ أَخُو المسلمِ: لا يَظْلِمُهُ ولا يَخْذُلُهُ ولا يَكْذِبُهُ ولا يَحْقِرُهُ. اَلتَّقْوَى هَهُنا – يُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاثَ مَرَّاتٍ- بِحَسْبِ امْرِيءٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخاهُ الْمُسْلِمَ. كُلُّ الْمسلمِ عَلَى المسلمِ حَرامٌ: دَمُهُ وَمالُهُ وعِرْضُهُ

“Jangan kalian saling hasad, jangan saling melakukan najasy, jangan kalian saling membenci, jangan kalian saling membelakangi, jangan sebagian kalian membeli barang yang telah dibeli orang lain, dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim bagi lainnya, karenanya jangan dia menzhaliminya, jangan menghinanya, jangan berdusta kepadanya, dan jangan merendahkannya. Ketakwaan itu di sini -beliau menunjuk ke dadanya dan beliau mengucapkannya 3 kali-. Cukuplah seorang muslim dikatakan jelek akhlaknya jika dia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim diharamkan mengganggu darah, harta, dan kehormatan muslim lainnya.” (HR. Muslim no. 2564)

Najasy adalah seorang menawar suatu barang dengan harga yang tinggi -padahal dia tidak mau membelinya- untuk memancing orang lain agar menawar dengan harga yang lebih tinggi. Ini biasanya terjadi dalam proses lelang, dimana pelaku najasy ini adalah dari pihak yang melakukan lelang.

Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

“Tidak boleh hasad kecuali pada dua hal: (Pertama) kepada seorang yang dikaruniakan Allah harta kekayaan, lalu ia membelanjakannya dalam kebenaran. (Dan yang kedua) kepada seorang laki-laki yang diberi Allah hikmah (ilmu), hingga ia memberi keputusan dengannya dan juga mengajarkannya.” (HR. Al-Bukhari no. 73 dan Muslim no. 816)

Lalu setelah mengingat semua sabda Rasulullah SAW ini, masihkah kita akan membalas kebencian mereka dengan kebencian yang sama?
Ah, menurut saya itu terlalu menyia-nyiakan waktu dan energi. Jadi, kenapa kita tidak serahkan semuanya kepada Illahi, lalu kembali menyibukkan diri dengan amalan-amalan dan perbuatan yang dapat mendatangkan cinta dan ridhoNya pada diri?

Keputusan memang ada di tangan kita. Apa yang kita pilih itulah yang akan menjadi diri kita. Pilihan membenci akan menghinakan kita di hadapanNya dan di hadapan makhlukNya. Pilihan bersabar dan menyerahkan semua pada Illahi akan membuat kita lebih mulia dan mendatangkan sinta serta ridhoNya. :)


Pun, alangkah indah muhasabah. Keruhnya permukaan mungkin sebab ada yang bergumpal hitam di dalam sini; di jiwa kita yang mendaku para da'i.


Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah

Muhasabah (introspeksi) pada jiwa ada dua macam: sebelum beramal dan setelah beramal.

Muhasabah sebelum beramal yaitu hendaknya seseorang menahan diri dari keinginan dan tekadnya untuk beramal, tidak terburu-buru berbuat hingga jelas baginya bahwa jika ia mengamalkannya akan lebih baik daripada meninggalkannya.

Al-Hasan rahimahullah mengatakan: “Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berhenti (untuk muhasabah) saat bertekad (untuk berbuat sesuatu). Jika (amalnya) karena Allah, maka ia terus melaksanakannya dan jika karena selain-Nya ia mengurungkannya.”

Sebagian mereka (ulama) menjabarkan ucapan beliau seraya mengatakan: “Jika jiwa tergerak untuk mengerjakan suatu amalan dan seorang hamba bertekad melakukannya, maka ia (mestinya) berhenti sejenak dan melihat, apakah amalan itu dalam kemampuannya atau tidak? Jika tidak dalam kemampuannya maka tidak dilakukan, tapi kalau mampu maka ia berhenti lagi untuk melihat apakah melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya atau (bahkan) meninggalkannya lebih baik?

Kalau (keadaannya adalah) yang kedua maka ia tidak melakukannya. Kalau yang pertama maka ia berhenti untuk ketiga kalinya dan melihat: apakah pendorongnya adalah keinginan mendapatkan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pahalanya atau sekedar kedudukan, pujian dan harta dari makhluk? Kalau yang kedua maka ia tidak melakukannya walaupun akan menyampaikan pada keinginannya, agar supaya jiwa tidak terbiasa berbuat syirik dan tidak terasa ringan untuk beramal demi selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena seukuran ringannya dalam beramal untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, seukuran itu pula beratnya dalam beramal untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, hingga hal itu menjadi sesuatu yang paling berat buatnya.

Kalau ternyata pendorong amalnya adalah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka ia berhenti lagi dan melihat: apakah ia akan dibantu dan ia dapati orang-orang yang membantunya –jika amalan itu memang membutuhkan bantuan orang lain– atau tidak ia dapatkan? Kalau tidak didapati yang membantu, hendaknya ia menahan dari amalan tersebut. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menahan diri untuk berjihad ketika di Makkah hingga beliau mendapatkan orang yang membantunya dan punya kekuatan. Kalau ia mendapatkan orang yang membantu, maka lakukanlah, niscaya ia akan ditolong. Dan keberhasilan tidak akan lepas kecuali dari orang yang melewatkan satu perkara dari perkara-perkara tadi. Jika tidak, maka dengan terkumpulnya semua perkara itu niscaya takkan lepas keberhasilannya.”

Demikian empat keadaan yang seseorang butuh untuk memuhasabah jiwanya sebelum beramal. Tidak semua yang ingin dilakukan oleh seorang hamba itu mampu dilakukan, dan tidak setiap yang mampu dilakukan itu berarti melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya. Dan tidak setiap yang demikian itu ia lakukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak pula setiap yang dilakukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia akan mendapatkan bantuan. Maka jika ia bermuhasabah pada dirinya, akan jelas baginya apa yang dilakukan dan apa yang akan ditinggalkan.

Berikutnya adalah muhasabah setelah beramal, terbagi dalam tiga macam:

Pertama: muhasabah pada amal ketaatan yang ia tidak memenuhi hak Allah padanya, di mana ia tidak melakukannya sebagaimana semestinya.

Hak Allah Subhanahu wa Ta’ala pada sebuah amal ketaatan ada enam: ikhlas dalam beramal, niat baik kepada Allah, mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berbuat baik padanya, mengakui nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala padanya, menyaksikan adanya kekurangan pada dirinya dalam beramal.

Setelah itu semua maka ia memuhasabah dirinya, apakah ia memenuhi hak-hak itu dan apakah ia melakukannya ketika melakukan ketaatan itu?

Kedua: muhasabah jiwa dalam setiap amalan yang lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan.

Ketiga: muhasabah jiwa dalam perkara yang mubah atau yang biasa. Mengapa ia melakukannya? Apakah ia niatkan karena Allah dan negeri akhirat, sehingga ia beruntung? Atau ia inginkan dengannya dunia dan balasannya yang cepat sehingga ia kehilangan keberuntungan itu?

Orang yang membiarkan amalnya, tidak bermuhasabah, berlarut-larut serta memudah-mudahkan perkaranya, sungguh ini akan menyampaikan dirinya kepada kebinasaan. Inilah kondisi orang-orang yang tertipu. Ia pejamkan dua matanya untuk melihat akibat amalannya, membiarkan berlalu keadaannya dan hanya bersandar pada ampunan, sehingga ia tidak bermuhasabah dan tidak melihat akibat amalnya. Kalau ia lakukan itu maka akan mudah melakukan dosa, merasa tenang dengannya, dan akan kesulitan menghindarkan diri dari dosa. Kalau ia sadari tentu akan tahu bahwa menjaga (diri dari dosa) itu lebih gampang daripada menghindari dan meninggalkan sesuatu yang menjadi kebiasaan.

Pokok dari muhasabah adalah: ia memuhasabah dirinya. Terlebih dahulu pada amalan wajib, kalau ia ingat ada kekurangan pada dirinya maka segera menutupinya, mungkin dengan meng-qadha atau memperbaikinya. Lalu ia memuhasabah pada amalan-amalan yang terlarang. Kalau ia tahu bahwa ia (telah) melakukan sebuah perbuatan terlarang, segera ia susul dengan taubat, istighfar, dan melakukan amalan yang menghapusnya. Lalu memuhasabah dirinya pada kelalaiannya, kalau ternyata ia telah lalai dari tujuan penciptaan dirinya, segera ia susul dengan dzikrullah dan menghadapkan dirinya kepada Allah. Lalu ia muhasabah pada tutur katanya, pada amalan yang kakinya melangkah ke suatu tempat, atau pada apa yang dilakukan oleh kedua tangannya, dan pada perkara yang didengar oleh kedua telinganya; apa yang engkau niatkan dengan ini? Demi siapa engkau melakukannya? Bagaimana engkau melakukannya?

Hendaknya ia pun tahu bahwa pasti akan dihamparkan dua catatan untuk setiap gerakan dan kata. Yaitu untuk siapa kamu melakukannya dan bagaimana kamu melakukannya? Yang pertama adalah pertanyaan tentang keikhlasan dan yang kedua adalah pertanyaan tentang mutaba’ah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ. عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (Al-Hijr: 92-93)

فَلَنَسْأَلَنَّ الَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِينَ. فَلَنَقُصَّنَّ عَلَيْهِمْ بِعِلْمٍ وَمَا كُنَّا غَائِبِينَ

“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami). Maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka).” (Al-A’raf: 6-7)

لِيَسْأَلَ الصَّادِقِينَ عَنْ صِدْقِهِمْ وَأَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا أَلِيمًا

“Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka dan Dia menyediakan bagi orang-orang kafir siksa yang pedih.” (Al-Ahzab: 8)

Jika orang-orang yang jujur ditanya dan dihitung amalnya, maka bagaimana dengan orang-orang yang berdusta?

Qatadah rahimahullah mengatakan: “Dua kalimat, yang akan ditanya dengannya orang-orang terdahulu maupun yang kemudian. Apa yang kalian ibadahi? Dengan apa kamu sambut para rasul? Yakni ditanya tentang sesembahannya dan tentang ibadahnya.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ

“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (At-Takatsur: 8)

Muhammad ibnu Jarir rahimahullah mengatakan: Allah mengatakan: “Kemudian pasti Allah akan bertanya kepada kalian tentang nikmat yang kalian mendapatkannya di dunia, apa yang kalian lakukan dengannya? Dari jalan mana kalian sampai kepadanya? Dengan apa kalian mendapatkannya? Apa yang kalian perbuat padanya?”

Qatadah rahimahullah mengatakan: Allah Subhanahu wa Ta’ala bertanya kepada setiap hamba tentang apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan berupa nikmat-Nya dan hak-Nya.

Kenikmatan yang ditanya itu ada dua macam:

Pertama, nikmat yang diambil dengan cara yang halal dan dibelanjakan pada haknya, maka akan ditanya bagaimana syukurnya.

Kedua, nikmat yang diambil tidak dengan cara yang halal dan dibelanjakan bukan pada haknya maka akan ditanya asalnya dan kemana dibelanjakan. Maka jika seorang hamba akan ditanya dan dihitung segala amalnya sampai pada pendengarannya, penglihatannya dan qalbunya sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلاَ تَقْفُ ماَ لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْيَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كاَنَ عَنْهُ مَسْئُولاً

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Isra: 36)

Maka sangatlah pantas ia bermuhasabah atas dirinya sebelum ditanya dalam hisab/ perhitungan amal.

Yang menunjukkan wajibnya bermuhasabah pada jiwa adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hasyr: 18)

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan: Seseorang dari kalian hendaknya melihat amalan-amalan yang ia lakukan untuk hari kiamat, apakah amal shalih yang menyelamatkannya ataukah amal jelek yang membinasakannya?
Qatadah rahimahullah mengatakan: Masih saja Allah mendekatkan hari kiamat sehingga menjadikannya seolah esok hari.

Maksud dari pembahasan ini adalah bahwa kebaikan qalbu adalah dengan muhasabah jiwa, dan rusaknya adalah dengan melalaikannya dan membiarkannya.

(Diterjemahkan dari Ighatsatul Lahafan, hal. 90-93 dengan sedikit ringkasan oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc) (sumber : asysyariah.com)


Setiap mukmin ialah cermin. Maka mari berkaca. Jika di bayangan itu tampak cela, bukankah kita yang sedang mematut diri selayaknya berbenah?


Yup, setiap mukmin adalah cermin. Jika ada cela maka sepatutnya kita segera berbenah. Bukan sebaliknya, justru ikut mencela dan menghujat. Jika begitu adanya, maka apalah beda yang dicela dengan yang mencela? Bukankah jatuhnya akan sama celanya?

Maka ketika kita melihat pada saudara kita ada cela, sepantasnya kita berbenah dan mengajaknya berbenah bersama agar ketika menuju pribadi yang lebih baik pun kita bisa berjalan beriringan. Sekali lagi setiap muslim adalah cermin. Maka jika satu baik bisa mempengaruhi yang lain untuk ikut baik. Jika satu buruk, maka bisa juga mempengaruhi menjadi buruk kepada yang lain. Maka langkah preventif yang paling baik adalah memperbaiki diri saat mendapati seorang mukmin dengan cela pada dirinya. Bisa jadi cela itu ditampakkan Allah SWt agar kita berbenah diri, lebih mendekat lagi dan bersungguh-sungguh mencintai tuk menggapai ridho dan jannahNya.

Bukankah Allah SWT telah menutupi sebagian aib kita? Lalu mengapa kita terkadang justru membuka aib diri? Itulah wujud dari ketidaksyukuran diri padaNya.
Lalu bagaimana jika Allah SWT menampakkan aib seorang hamba di dunia? Tentu saja tak ada yang sia-sia, agar selainnya dapat mengambil hikmah darinya dan berupaya untuk menghindari hal serupa dan terus memperbaiki diri.
Tentu kita yang akan jadi sia-sia jika setiap apa yang Allah SWT ajarkan kepada kita tapi kita justru melewatkan begitu saja tanpa sempat dan berkendak untuk mengambil hikmah dan pelajaran darinya.


Hidup paling bermakna; yang mengingat mati. Amal paling berharga; yang eling tanggungjawab. Cinta paling bahagia; yang sadar perpisahan.


Mengingat mati

Sesungguhnya kematian adalah haq, pasti terjadi, tidak dapat disangkal lagi. Allah s.w.t berfirman, ertinya, "Dan datanglah sakaratul maut yang sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari dari padanya." (QS. Qaaf:19)

Adalah salah bila ada orang yang menyangka bahawa kematian itu hanya kefanaan semata dan pengakhiran secara total yang tidak ada kehidupan, perhitungan, hari dikumpulkan, kebangkitan, syurga atau neraka padanya!!Sebab andaikata demikian, tentulah tidak ada hikmah dari penciptaan dan wujud kita. Tentulah manusia semua sama saja setelah kematian dan dapat beristirahat lega; samada mukmin dan kafir, samada pembunuh dan terbunuh, samada si penzalim dan yang dizalimi, samada yang taat dan maksiat, samada penzina dan yang rajin solat, samada ahli maksiat dan ahli takwa

Pandangan tersebut hanyalah bersumber dari pemahaman kaum atheis yang mereka itu lebih buruk dari binatang sekali pun. Yang mengatakan seperti ini hanyalah orang yang telah tidak punya rasa malu dan menggelarkan dirinya sebagai orang yang bodoh dan 'gila.' (Baca: QS. At-Taghabun:7, QS.Yaasiin: 78-79)

Kematian adalah terputusnya hubungan ruh dengan badan, kemudian ruh berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dan seluruh lembaran amal ditutup, pintu taubat dan pemberian masa pun terputus.

Nabi s.a.w. bersabda, "Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama belum sekarat." (HR. At-Turmuzi dan Ibn Majah, disahihkan Al-Hakim dan Ibn Hibban)

Lalu bagaimana cara kita mengingat Kematian?

1. Ziarah kubur. Nabi s.a.w. bersabda, "Berziarah kuburlah kamu, sebab ia dapat mengingatkanmu akan akhirat." (HR. Ahmad dan Abu Daud, disahihkan Syaikh Al-Albani)

2. Melihat mayat ketika dimandikan.

3. Menyaksikan orang-orang yang tengah sekarat dan menalqinkan mereka dengan kalimat syahadat.

4. Mengiringi jenazah, solat ke atasnya serta menghadiri pengkebumiannya.

5. Membaca Al-Qur'an, terutama ayat-ayat yang mengingatkan akan kematian dan sakratul maut seperti ayat 19 surat Qaaf.

6. Uban dan Penyakit. Kedua hal ini merupakan utusan malaikat maut kepada para hamba.

7. Fenomena alam yang dijadikan Allah s.a.w. untuk mengingatkan para hamba akan kematian seperti gempa, gunung meletus, banjir, badai dan sebagainya.

8. Membaca berita-berita tentang umat-umat masa lalu yang telah dibinasakan oleh maut.

Semoga Allah s.w.t. menutup akhir hayat kita dengan Husnul Khatimah dan menerima semua amal shalih kita, Amin.


Ingat Pertanggungjawaban Di Akhirat Kelak


Kita boleh berbuat apa saja, semau kita juga tak apa. Tapi satu yang perlu diingat bahwa semua akan dimintai pertanggungjawaban olehNya, bahkan kebaikan ataupun kejahatan sebesar dzarah pun tetap akan diperhitungkan.
Maka tak ada alasan bagi kita untuk mengelak dengan dalih hanya bercanda dan semacamnya.

Tentu tak lupa dengan firmanNya :

“Dan barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar biji dzarah niscaya ia akan menerima pahalanya, dan barang siapa melakukan keburukan sebesar biji dzarah niscaya ia akan menerima balasannya” (QS.Az-Zalzalah:7-8).

Allah SWT itu Maha Menepati Janji. Allah SWT itu Maha Adil dan Maha Teliti. Jadi masih mau main-main sama Allah SWT dan kehidupan abadi kita nanti?

Jika tak ingin menyesal maka lakukan segala hal yang baik dan mendatangkan kecintaan dan ridhoNya.

Jika ingin tertantang, silakan mencoba berbuat jahat sebanyak yang kalian bisa tapi jangan menyesal jika hal yang buruk pula yang akan Allah SWT berikan di akhirat kelak.

Pilihan ada di tangan kita! Ridho atau MurkaNya? Surga atau NerakaNya? :)


Cinta paling bahagia; yang sadar perpisahan.


Ya, tentu saja. Terlebih jika itu terkait dengan dunia dan seluruh isinya. Maka semua tak akan ada yang abadi. Cinta kepada keluarga, cinta kepada pasangan, cinta kepada anak, cinta kepada saudara, cinta kepada harta, cinta kepada jabatan, cinta kepada fisik semata dan sebagainya. Pada akhirnya semua akan berpisah, karena semua itu tak ada yang abadi.

Lalu apa yang abadi? Apa yang akan abadi menemani kita sampai nanti?

Tentu saja ada, yaitu cintaNya, ridhoNya, dan segala amal ibadah kita. Mereka lah yang akan abadi selamanya.



Sahabat, maafkan atas keterbatasa dan kedangkalan ilmu saya.
Sekian dulu yang bisa saya bagikan pada kesempatan ini. Saya mohon dengan segenap kesadaran diri atas kelemahan dan kekurangan diri, mohon dikoreksi jika ada yang salah, diluruskan jika ada yang berbelok dan dilengkapi jika ada yang kurang dan tak lengkap. Syukron... :)

Semoga bermanfaat... :)

Barakallahu fikum... :)


(Disela waktu yang tersisa di salah satu meja di ruangan full AC,
Bintaro, 13 April 2011)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar