Assalamu'alaykum...

Selamat Datang.... ^_^

Selasa, 26 April 2011

Hujan, Ella Dan Shea (3)


Shea menatap lembut pada langit yang berwajah mendung. Sementara manusia pada umumnya memasang wajah kusut dan cemberut.

Ketika hujan perlahan turun, ramai komentar yang keluar dari lisan manusia-manusia itu.

"Yah, kok hujan sih?"

"Yah, ga bawa payung pula..."

"Gimana pulangnya nih?"

"Kapan redanya nih?"

"Hujannya nanti aja dunk kalau aku sudah sampai rumah..."

Dan banyak komentar lain yang secara langsung ataupun tidak menunjukkan ketidaksukaan terhadap datangnya hujan. Tapi sebaliknya bagi Shea, hujan adalah sesuatu yang sangat ia rindukan. Hujan adalah obat dari segala kerinduan yang menggunung. Hujan sungguh berharga dalam kehidupan Shea. Seandainya ia terlahir kembali pun, ia ingin bahwa di kehidupan selanjutnya setiap hari adalah hujan. Everyday is rainy day. ^_^

Shea, menatap langit yang mulai basah, menangis, meneteskan airmata cintanya untuk bumi. Tak sekejap pun Shea melewatkan semuanya. Dia menengadah, lebih fokus dari sebelumnya, ada yang ditunggu dari sana, dari perut langit.

Wajah Shea berseri, ada kilatan cahaya indah membelah perut langit. Di sana, Shea melihat sesosok bayangan, menari indah dengan sayap cantik yang senantiasa basah. Sosok itu semakin mendekati bumi, mendekat pada Shea. Di sana, Shea perlahan dapat menatap jelas wajahnya. Cantik, gumamnya.

Sosok itu semakin mendekat, semakin jelas kecantikannya, semakin nyata senyuman manisnya. Dia, Ella, kekasihnya.

Lembut, Ella menjejakkan kaki mungilnya di hadapan Shea. Lama, keduanya hanya saling memandang, menatap dari ujung rambut hingga ujung kaki. Saling mengerling dan melempar senyum. Keduanya kembali saling menatap.

"Sheaaaa.....!" Ella berlari menuju pelukan Shea.

Keduanya menyatu dalam peluk hangat dalam basah air hujan. Keduanya tertawa bahagia, ada selaksa rindu yang coba mereka tumpahkan dan ungkapkan di sana. Rindu berjumpa antara keduanya.

"Bagiku, setiap hari yang kulewati adalah neraka, tanpamu sungguh menyiksa," Ella tergugu di dalam pelukan Shea.

Shea hanya tersenyum, membelai lembut rambut panjang Ella yang terurai indah. Ia tersenyum menatap lembut pada sayap indah yang senantiasa basah, tapi kokoh.

"Bagiku, setiap hari tanpamu adalah mati," Shea memeluk Ella lebih erat lagi seakan takut bahwa semua harus segera diakhiri dan Ella akan menghilang kembali.

"Jangan khawatir, Raja Auberon mengijinkanku tinggal di bumi selama tiga hari. Untukmu aku di sini, menemani hari-hari yang akan kau lalui. Kita akan bersama lebih lama kali ini," seakan tahu akan kekhawatiran Shea, Ella menjelaskan tugasnya.

Dan benar, hujan mengguyur bumi selama tiga hari tanpa henti. Selama itu pula, Shea dan Ella menghabiskan waktu bersama, membayar selaksa rindu yang mulai membeku dan menyesakkan hati.

"Kau suka?" tanya Shea ketika mengulurkan sekuntum mawar putih basah kepada Ella.

Ella tertawa, menerima bunga itu dan berlari sambil menari, menjauhi Shea.

"Shea, kau tahu? Aku suka apapun tentangmu dan apapun yang kau berikan untukku," Ella berteriak sambil melambaikan tangannya.

Shea tersenyum, ada semburat merah di pipinya. Sebersit rasa malu membumbui cinta dan rindu yang berbunga di hati. Tapi seketika semua berubah, wajahnya memerah marah.

"Amaroooooooookkkkk!!" Seketika Shea melompat, menarik tubuh Ella seketika sebelum cakar tajam Amarok mencabik tubuh Ella.

Ella, terkejut tapi seketika pasrah dalam pelukan Shea. Keduanya terlalu kecil dan terlalu lemah untuk melawan monster sekuat dan sebengis Amarok.

Hujan masih deras mengguyur, Ella dan Shea masih terengah-engah mencoba lari dari amukan Amarok.

"Kepakkan sayapmu Ella, kita terbang!" kata Shea.

Ella berhenti, menarik tangan Shea dan mengepakkan sayapnya. Keduanya terbang bersama.

"Percuma Shea, sayap Amarok jauh lebih kuat. Dia bisa dengan mudah mengejar kita," Ella kembali memijakkan kakinya di tanah.

"Lalu?"

keduanya saling bersitatap.

Ella menarik tangan Shea, mereka kembali berlari diantara semak-semak yang basah oleh derasnya air hujan.

Amarok semakin dekat, keduanya semakin panik. Langkah mereka tak lagi secepat sebelumnya, lelah mulai menjalar di tubuh mereka.

"Aaahh...!" Ella terjatuh.

Di belakang mereka Amarok siap mencengkeram keduanya. Ella segera bangkit dan menarik tangan Shea.

"Ssssrrrkkkk!" ketika kuku-kuku Amarok bergesekan dengan semak-semak, darah seakan mengalir lebih kencang pada dua peri mungil itu.

"Bluuurrrpppp!!!"

Ella menarik Shea dan menceburkan diri ke danau di sebelah semak-semak itu. Amarok murka, melompat ke danau, tapi naas, danau itu lebih dalam dari dugaannya.

Sekuat tenaga Amarok mengepakkan sayap kokohnya. Berhasil, Amarok berhasil keluar dari danau itu. Lengkingan kemarahannya memekakkan telinga. Dia merasa marah karena gagal menangkap dua peri yang telah diincarnya sejak lama.

"Peri hujan itu akan kutangkap suatu saat nanti. Aku akan menjadikannya hiasan baru di istanaku. Tunggu saja!"

Amarok mengepakkan sayapnya dan berlalu pergi.

"Shea, kau tak apa?"

Ella menarik Shea ke tepian danau. Shea terbatuk-batuk, memuntahkan air yang masuk ke mulutnya selama menyelam tadi.

"A...a...aku baik-baik sa..saja...uhuk..."

Ella merasa bersalah memaksa Shea ikut menyelam ke danau itu. Tapi hanya itu satu-satunya cara menghindari kejaran Amarok.

Ella memapah Shea, duduk di tepian danau yang mulai sedikit terang oleh cahaya mentari. Ella menatap ke arah mentari, tersenyum pahit. Saatnya untuk berpamitan, pikirnya.

Hujan perlahan reda. Shea masih mengkondisikan diri setelah sebelumnya menyelam bersama Ella. Seketika disadarinya bahwa hujan perlahan reda. Shea menatap Ella yang mencoba tersenyum padanya. Shea menarik tubuh Ella ke dalam pelukannya.

Ella mulai menangis. Selalu demikian saat tiba waktunya berpamitan dan meninggal Shea pergi. Ada rasa sakit yang lebih mengiris dari semua rindu yang pernah membeku dan menyesakkan hati. Ada rasa yang berusaha berontak terhadap takdir diri karena harus menaruh hati dan mencintai seseorang yang sangat berbeda dan tak bisa berdampingan sepanjang hari. Tapi, inilah hidup. Inilah takdirnya, mencintai tanpa bisa sepenuhnya memiliki. Bukankah pada hakikatnya cinta itu memang tak memiliki, tapi mencintai adalah memberi lebih tanpa minta diberi kembali, tanpa mengharap imbal balik dari kekasih hati.

"Aku harus kembali," hanya itu yang mampu diucapkan Ella ditengah derai airmata yang semakin membasahi wajahnya.

Shea masih tak bergeming, tetap memeluk erat Ella. Tak berniat melepaskannya meski sejenak.

"Jangan pergi lagi, Ella!" pintanya.

"Aku tak bisa, Shea. Ini harus. Kita pasti akan bertemu kembali. Yakinlah pada janji Raja Auberon. Jika aku tak kembali saat ini, maka kita mungkin tak akan saling bertemu kembali," bujuk Ella.

Perlahan, Shea melepaskan pelukannya. Meanatap dalam-dalam wajah cantik di hadapannya. Kembali memeluknya lalu melepaskan kembali. Matanya mulai basah.

Ella berdiri, mulai mengepakkan sayap mungilnya. Lalu perlahan mulai terbang meninggi, menjauhi Shea, meninggalkan bumi. Ella kembali ke langit, kembali ke istana peri, kembali meniti hari nan menyiksa hati, tanpa cinta di sisi.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar